Perpisahan

17 0 0
                                    

"Apa kamu yakin?" tanya Bara di balkon apartemen.

Naomi yang berada di sampingnya mengangguk mantap. Tak mampu mengeluarkan suara, karena menahan sesuatu di pelupuk mata.

Pikirnya, tak akan sesulit ini untuk berpisah. Namun, nyatanya, ia pun merasa kehilangan pria yang membersamainya hampir sepuluh tahun.

Bara tersenyum, membuang pandangan jauh ke depan. Nampak gedung tinggi menjulang, dengan lampu yang berkelap-kelip menampilkan keindahan. Hatinya nyeri, mencoba menutupi kesakitan yang terjadi. Tak mau bila menambah pikiran Naomi.

"Tidurlah, sudah larut malam," perintahnya pada Naomi, istrinya yang sebentar lagi menjadi mantan istri.

Naomi mengangguk, "kamu juga, jangan terlalu lama di sini. Nanti masuk angin."

"Jangan menggoda, bukankah, sekarang aku masih sah suamimu," ucap Bara. Ia menoleh sekilas lalu tersenyum.

Naomi mencebik, "apa yang bisa kamu lakukan terhadap istri yang esok jadi mantan istri?"

Sebelum Bara menjawab, Naomi beranjak pergi.

Dengan lirih Bara menjawab, "aku bisa membuatmu jatuh cinta lagi."

💞

Rintik hujan menghias pagi ini. Seakan berduka akan sesuatu yang akan terjadi terhadap pernikahan dua sejoli yang tampak indah dulunya.

Perpisahan menjadi solusi saat hati dan ego menguasai. Merasa cinta telah sirna karena kenyamanan yang tersisa, bukan karena permasalahan hebat yang biasa mendera.

Pernikahan Bara dan Naomi terbilang cukup bahagia, tanpa ada polemik prahara rumah tangga. Semua berjalan sempurna, saling menghargai, saling mencintai, saling melengkapi, hingga mereka tak sadar, bumbu-bumbu cinta telah terkikis perlahan.

Apa yang mereka lakukan semata hanya menjalankan kewajiban. Memberikan kebahagiaan dan kecukupan materi, tanpa ada rasa curiga, cemburu, sakit hati, atau tangisan.

Naomi melangkah mengekori Bara. Beberapa pengacara terlihat lebih dulu memasuki ruangan. Saat masuk ruangan itu, mereka masih sah suami istri.

Saat putusan sidang dibacakan, semua menatap Naomi meminta keputusan.

Naomi mengangguk mantap. "Iya."

Setelah putusan dibacakan, mereka bukan lagi sepasang suami istri. Pernikahan itu berakhir dalam selembar kertas yang ditanda tangani berdua.

Mereka bukan siapa-siapa sah secara hukum dan agama.

Naomi terlihat meneteskan air mata, bukan karena menyesali keputusannya berpisah, melainkan merasa kehilangan sosok yang membersamainya selama delapan tahun lalu. Sedang Bara, matanya berkaca-kaca merasakan kecewa pada dirinya sendiri. Tak mampu menolak keinginan orang yang paling ia cintai.

"Maaf," ucap Naomi di sela tangisnya.

"Sudahlah, bukankah ini yang terbaik menurut kita?" tanya Bara sambil menepuk lembut bahu Naomi. "Kita masih bisa merawat Chika bersama."

Naomi mengangguk dan tersenyum, kemudian memeluk Bara untuk terakhir kalinya.

Semua biasa saja baginya.

Tak ada yang perlu dipermasalahkan atau diungkit. Entah harta gono gini atau hak asuh. Mereka melakukan secara bersama. Bahkan, Bara tinggal di depan unit apartemen miliknya dulu bersama Naomi.

Bara hanya ingin agar Chika tak merasa kehilangan sosok Mama atau Papanya. Keputusan itu telah disepakati bersama. Walau hubungan mereka bukan lagi sepasang suami istri, tapi mereka punya kewajiban untuk membahagiakan Chika, buah cinta mereka.

Naomi melangkah beriringan dengan Bara, sesekali senyumnya terlepas tanpa tekanan seperti beberapa bulan terakhir. Ia merasa tertekan telah membohongi Bara, perasaan cintanya telah lama sirna. Bukan karena pihak ke tiga atau permasalahan yang rumit. Namun, ini tentang hati dan egonya. Ia tak ingin terus menyakiti Bara atau menyakiti dirinya sendiri. Bila terus memaksa untuk bertahan, ia yakin akan menghancurkan semua, termasuk Chika.

Perlahan Naomi mencoba menjelaskan tentang isi hatinya, ia yakin Bara mengerti apa yang ia rasakan.

"A-aku mau bicara," ucapnya kala itu setelah makan malam bersama.

"Sebentar, biar kubereskan ini." Bara membersihkan meja makan lalu membersihkan piring kotor yang menumpuk.

Naomi terlihat gelisah, ia memilin blouse yang membalut tubuhnya. Keringat dingin mulai membasahi kening. Wajar, ia tak pernah berbicara seserius ini.

Setelah selesai, Bara menarik kursi yang berhadapan dengan Naomi. Ia mulai membaca mimik wajah istri tercintanya. Ada yang salah, pikirnya.

"A-aku ...."

"Aku sudah tau, tak perlu kamu sembunyikan lagi."

Naomi mendongak, lalu menunduk lagi.

"Apapun yang terjadi, ini salahku," ujar Bara.

Naomi terdiam, menunggu kalimat Bara selanjutnya.

"Seharusnya, aku ...."

Naomi mendongak, menyadari semua ini juga salahnya. "Kita semua salah, terlalu bahagia, terlalu datar, terlalu cinta, hingga tanpa sadar rasa cinta itu perlahan memudar. Tersisa rasa nyaman layaknya saudara. Hanya melakukan kewajiban tanpa adanya rasa yang menggebu-gebu seperti dulu. Hambar," jelas Naomi. Kalimatnya jelas padat dan menohok. Memberikan rasa sakit di hati Bara.

Naomi menghela napas, "Mari kita berpisah."

Bara terkejut, dengan berat ia mengangguk memberikan kebebasan kepada orang yang ia cintai. Mungkin dengan begitu ia bisa merasa bahagia melihat Naomi juga bahagia.

🔥

Sahabatku, mantan suamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang