Status Baru

13 0 0
                                    


Naomi mengerjap beberapa kali saat cahaya terang menelusup melalui korden kamarnya. Kepalanya berdenyut nyeri, pandangannya berkunang, efek kurang tidur semalam. Ya, hampir semalaman ia menangisi keputusannya melepas Bara. Ia sendiri merasa dilema. Keteguhan hatinya untuk berpisah, menjadi penyesalan tak terduga. Namun, apa mau dikata saat semua telah terjadi di depan mata. Status barunya menjadi seorang janda.

Trrt ... trrt ...

Nama 'Husband' tertera di layar, ia merasa enggan mengganti nama Bara di ponselnya. Entahlah ... bagaimana caranya ia menghadapi dirinya sendiri dan Bara nanti. 

"Iya," jawabnya langsung seraya menghenyakkan punggung pada kepala ranjang. 

Melihat jam di dinding pukul 06.17, jika tak bersiap secepatnya, ia bisa terlambat menghadiri penyambutan Dokter Spesialis Anak yang baru. 

"Bibi mengantar Hachika ke unitku. Bibi bilang, kamu belum bangun. Apa semua baik-baik saja?" tanya Bara terdengar khawatir. 

"Ah ... ya, aku ... baik-baik saja," ucap Naomi terjeda. Ia beringsut turun dari ranjang dan mematung di depan cermin meja riasnya. Wajahnya terlihat pucat, matanya sembab dan terdapat lingkar hitam di sekitarnya. 

"Baiklah kalau begitu. Oh ... ya, payungmu aku taruh depan pintu. Bawalah, berguna saat musim penghujan begini."

Setitik hangat membasahi pipinya, ia meredam suara agar Bara tak mendengar isakannya. Tanpa menjawab, Naomi segera mematikan sambungan teleponnya dan mengirim pesan ke Bara. 

[Terima kasih, maaf aku harus bersiap.]

Naomi menghela napas perlahan, membuang pandangan, malah berakhir pada bingkai foto pernikahan. 

"Haruskah, aku juga melepasmu dari zona itu?" 

Ia bergegas ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap bekerja. Pekerjaan Naomi menjadi kepala perawat di rumah sakit terbesar di Kota Zusoi. 

Kerja keras dan kegigihannya selama ini membuahkan hasil, saat usianya 32 tahun, ia sudah menjabat sebagai kepala perawat. Itu sungguh mengagumkan baginya, keluarga dan juga Bara.

Sebagai seorang suami, Bara selalu mendukung penuh karir Naomi. Sebisa dan semampunya akan ia lakukan untuk kebahagiaan Naomi. Hingga Naomi mengira, apa yang Bara lakukan hanya semata-mata kewajibannya sebagai seorang suami. Sulit bagi Naomi untuk membedakan perasaan dan perlakuan Bara terhadapnya. 

Hingga egonya mengalahkan rasa, Naomi memilih mengakhiri semua tanpa pernah bertanya apa yang dirasa oleh Bara. Cinta atau hanya kewajiban.

Naomi teringat akan tingkahnya yang mencoba memancing emosi Bara. Namun, nihil, raut wajah Bara tak pernah menandakan rasa cemburu atau marah. 

"Apa, kamu nggak mau tahu alasanku pulang malam?" tanya Naomi ketika itu. 

Bara menggeleng, "kan sudah kamu jelaskan tadi, kalau kamu sedang merayakan pesta perpisahan temanmu di rumah sakit."

"Apa ... kamu, nggak takut aku berbohong? Hingga pulang selarut ini?" tanyanya lagi, menelisik expresi apa yang di tampakkan Bara.

Nyatanya Bara hanya menjawab datar, "yang penting, kamu sudah pulang dengan selamat."

Naomi membuang napas berat, melihat Bara berlalu ke kamar.

"Kenapa kamu nggak pernah marah, atau bahkan cemburu melihatku pergi sendiri," keluhnya seraya ingin menangis. 

Naomi mematung memandang payung bening miliknya, seperti pesan yang diucapkan Bara tadi. 

"Perhatianmu, tak pernah berubah. Kuharap, keputusanku tak pernah salah."

Sahabatku, mantan suamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang