pregnancy

454 84 25
                                    


Dugaan Jiyeon benar adanya. Sesuatu yang memang ia harapkan tumbuh di dalam sana, satu minggu usia kehamilannya membuat Chanyeol senang bukan kepalang. Baru saja pria itu kembali dari Ilsan mengurus cabang restorannya, Chanyeol lekas menemani Jiyeon untuk memeriksa kepastian dugaannya.

Sebelumnya Jiyeon sudah memastikannya dengan testpack, namun itu saja tentu belum cukup. Ia juga butuh tahu berapa usia kandungannya yang terbilang baru.

"Kapan dia lahir?"

pertanyaan Chanyeol membuat Jiyeon merotasikan mata. Meletakan hand bag-nya di atas sofa, gadis itu berjalan ke dapur. "Sembilan bulan lagi. Kau tidak dengar tadi? Usianya baru satu minggu."

Chanyeol mengikuti Jiyeon menuju dapur, memperhatikan gadis itu yang menuangkan air dingin ke dalam gelas dan meneguknya hingga tandas.

"Tidak usah bekerja dulu, ya? Dokter tadi bilang kandunganmu masih sangat muda, rentan sekali keguguran, Sayang."

Jiyeon tidak langsung menjawab, berjalan menuju tempat pencucian dan mencuci gelas yang baru saja ia gunakan.

"Tidak bisa, jadwalku penuh untuk bulan ini, Chan."

"Tapi aku takut kau kelelahan, itu sangat beresiko," ujar Chanyeol. Masih mencoba untuk membujuk Jiyeon tidak bekerja selama kehamilannya.

"Tidak apa-apa, Sayang. Aku bisa menjaga diri."

Chanyeol menghembuskan napas lelahnya, Jiyeon memang keras kepala. "Aku akan memberitahu ibu tentang kehamilanmu, ibuku dan juga ibumu."

Jiyeon melirik pria itu setelah mengeringkan gelas yang baru dicucinya. "Lalu kita dipaksa menikah."

Pria itu berdiri, berjalan menghampiri Jiyeon dan memeluk gadis itu dari belakang. Bertepatan dengan Jiyeon yang baru saja menutup cabinets.

"Kau masih belum mencintaiku?" tanyanya. Suara berat itu terdengar letih di telinga Jiyeon.

Jiyeon tidak bisa menjawab sebab, ia pun tidak tahu apa ia sudah mencintai Chanyeol atau belum. Semua masih terasa abu-abu, dan Jiyeon tidak ingin tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu.

"Setelah apa yang kita lakukan, kau masih belum bisa membuka hatimu?" Chanyeol kembali bertanya.

Jiyeon merasakan usapan begitu lembut pada permukaan perutnya. Tangan Chanyeol yang besar hampir menutupi bagian yang kini terdapat calon anaknya di dalam sana.

"Bukannya aku belum membuka hati, tapi aku belum bisa memastikannya. Kita masih terbilang baru saling mengenal. Aku tidak ingin menyimpulkan sesuatu dalam waktu secepat itu."

"Kau masih ragu dengan perasaanku? Aku tulus mencintaimu, dan sekarang pernikahan tidak lagi mengerikan untukku. Yang kuinginkan hanya hidup bersamamu, dan calon anak-anak kita kelak."

Jiyeon tersentuh, pria yang sama sekali tidak menginginkan pernikahan dulunya, kini malah berbalik menginginkannya. Tapi Jiyeon bisa apa jika rasa itu belum bisa ia pastikan? Rasa takut untuk mencintai kembali, membuatnya berpikir ribuan kali. Takut dikhianati dan rasa sakitnya membuat Jiyeon nyaris depresi.

"Apa tinggal bersama masih belum cukup?" Tidak ada emosi di dalamnya. Jiyeon hanya bertanya dengan suara lembutnya.

"Aku mulai takut kehilanganmu, aku takut tiba-tiba kau pergi dan meninggalkanku sendiri. Aku ... juga ingin memiliki keluarga kecil. Dan aku ingin kau menjadi bagian di dalamnya."

Jiyeon memejam, Chanyeol semakin mempererat pelukannya meski tetap berhati-hati dengan perut Jiyeon yang masih rata.

Ingatannya kembali terlempar pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Di mana pernikahan di depan mata tiba-tiba hanya tinggal angan. Karena pria yang ia cintai, memilih menikahi wanita lain yang telah ia hamili. Jiyeon menanggung semua rasa sakit atas pengkhianatan yang ia terima.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang