Desa ini sangat jauh dari bayangan Namira. Daerah persawahan memang ada. Udara segar pun berlimpah. Namun, sudah tak ada lagi sapi pembajak sawah. Andong menghilang berganti mobil-mobil keluaran terbaru yang katalognya sering mejeng di showroom penyedia kreditan.
"Mana suasana tradisionalnya?" gerutu gadis itu. Tangannya yang mengempit kuda-kuda dan kanvas jadi lunglai.
"Kan, bisa ambil obyek yang lain, Dek?" Adit nyengir ke si bontot yang kolokan.
"Namira maunya ada anak mainan di sawah sambil naikin kebo!" Si cantik berwajah Arab yang baru selesai perayaan sweet seventeen minggu lalu itu mengentakkan kaki kesal.
Bram tertawa. Dicoleknya bahu si bungsu. Sebagai anak nomor dua, dia lebih terkoneksi secara batin dengan Namira. Jarak usia mereka juga tak jauh. Maklum, Namira lahir akibat Mama sundulan pasca melahirkan Bram.
"Desa kelahiran Papa ini memang sudah modern. Kita aja yang jarang banget mudik. Makanya, ekspektasimu kelewat rendah sama daerah ini," komentar Bram.
"Kok, rendah?" Adit kebingungan.
"Yah, Bang. Ini udah 2020. Mesin banyak menggantikan segala hal. Akses informasi juga lebih bebas dibanding delapan tahun lalu. Ya, kali, beneran masih ada kebo buat bajak sawah. Kalo ada pasti buat obyek wisata doang. Para petani kan, juga udah manfaatin teknologi." Bram menjelaskan panjang lebar.
Namira masih merengut. Disimpannya lagi peralatan lukis ke dalam rumah. Hasrat seninya yang semula melonjak jadi padam. Bisa saja dia melukis dengan membayangkan obyek. Namun, jauh-jauh dia datang dari Jakarta ke Pulung dengan harapan bisa melihat obyek secara langsung dan mengabadikannya ke kanvas lukis.
"Jangan sedih gitu, ah. Entar Mbah Putri tersinggung cucunya yang langka datang malah cemberut aja." Adit mengusap puncak kepala sang adik.
"Udah enggak mood buat ngelukis," keluh gadis itu. "Lagian Papa juga kenapa jarang banget ngajak kita pulkam sih, Bang?"
Adit tak menjawab pertanyaan adiknya. Usia Namira belum cukup untuk mengetahui fakta yang ada. Pengusiran Papa oleh Mbah Kakung tak boleh diketahui Namira sekarang. Pernikahan orang tua mereka memang jauh dari kata restu sang kakek.
Seingat Adit, hanya sekali mereka diajak ke kampung halaman Papa di Ponorogo. Saat Mbah Kakung pergi haji delapan tahun lalu. Kini, mereka bisa bakal lebih sering mudik karena pria sepuh itu sudah meninggal.
Adit meringis mengingat kesedihan sang papa. Bahkan hingga akhir hayatnya, kakek mereka itu masih belum merestui pernikahan Papa dan Mama. Masih misteri hal apa yang membuat Mbah Kakung begitu keras menolak kehadiran Mama.
"Ke sungai aja, yok?" ajak Bram.
"Emang ada sungai?" Namira penasaran. Maklum saja, mereka belum sempat jelajah lingkungan karena baru semalam datang dari Jakarta.
"Kata Mbah Putri ada sungai di timur sana. Kecil, deket sawah, tapi bagus banget. Mau liat?"
Namira langsung mengangguk. Semangatnya kembali muncul. Bram mengingatkannya untuk membawa kamera dan gadis itu patuh. Dia lari ke dalam mengambil peralatan fotografi abangnya.
Adit menyodok siku Bram. "Di sungai timur kan, ada ...."
"Sstt, aku bakal jaga Namira, kok." Bram memotong saat melihat bayangan adiknya berlari mendekat.
Sungai itu tak jauh dari rumah nenek. Bisa ditempuh jalan kaki lima menit. Gemericik air sudah terdengar. Hawa segar di awal musim penghujan mengirimkan aroma tanah basah yang menenangkan. Namun, Bram memisahkan diri sebentar karena panggilan alam yang tak bisa ditahan, meninggalkan Namira sendirian menyusur sungai.
"Ketemu di balik batu besar sana, Dek." Bram buru-buru pergi.
Namira mendecih. Kakinya kembali terayun. Tangannya memainkan kamera yang tergantung di leher. Siulannya terdengar pelan memainkan melodi milik BTS. Hingga langkahnya terhenti demi melihat pemandangan tak biasa di depannya.
"Masak ada yang masih mandi di sungai, sih?" Namira geli. Diangkatnya kamera, iseng meletakkan mata di balik view finder, dan tertegun.
Itu bukan bidadari, melainkan malaikat super tampan dengan tubuh separuh terendam air. Pipi Namira merona. Jemarinya menekan tombol shutter, menangkap keindahan Tuhan yang tersaji di depan mata.
Mendadak Namira dihinggapi rasa jahil. Pandangannya menyapu pinggiran sungai. Batinnya bersorak menemukan benda yang dicari.
"Loh, Dek, mau ke mana?" Bram muncul dari balik pepohonan. Pandangannya bingung melihat sang adik yang berjalan cepat ke arah mereka datang.
"Pulang," jawab Namira cepat.
"Enggak jadi liat sungai?"
Namira menggeleng. Senyumnya terukir lebar. "Namira lagi mau jadi Jaka Tarub. Udah ya, Bang. Aku cabut dulu."
Bram keheranan melihat tingkah sang adik. Baru saja hendak mengekor Namira, telinganya menangkap teriakan bernada jengkel dari arah hulu.
"Woey, sopo sing nyolong klambiku?"
-O-
![](https://img.wattpad.com/cover/247902492-288-k409758.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing Prompt | one shot
Random~ Budayakan follow author sebelum baca ~ • • • Kumpulan cerita mini. Tidak berkesinambungan. Bisa baca dari part berapa pun. Berpotensi jadi ide cerita baru. Have a enjoy time. 💜💜