Hinata mengulurkan tangan. Jemarinya bercanda dengan rintik hujan. Ujung-ujung saraf menggelenyar tertimpa tetes air mata langit. Hamparan langit mendung serupa karpet kelabu.
"Sudah lama tidak turun hujan," gumam Hinata lirih. Matanya berkilat kala berserobok dengan pantulan diri di genangan air.
"Aku tidak suka hujan." Suara Rei terdengar bosan. Dentang logam beradu menemani deras hujan di luar. Harmoninya menenangkan di telinga Rei dan Hinata.
"Kenapa?"
"Hujan rawan membuat keropos. Pekerjaanku jadi dua kali lipat jika besi-besi ini terus rusak digerus air." Rei memutar baut dengan lincah.
"Bukankah itu bagus? Uangmu bisa terkumpul banyak--"
"Tapi waktuku bersamamu jadi berkurang." Rei menjawil hidung mancung Hinata. Senyumnya menari riang. Sorot matanya teduh menatap sang kekasih hati.
"Aku tak mau membuatmu terus datang ke sini. Tempat ini berbahaya. Seharusnya akulah yang menemuimu."
"Tak apa-apa. Selama aku bisa terus bertemu denganmu, apa pun akan kulakukan." Hinata mengangguk tegas.
"Termasuk membantuku memasang baut dan mur ini?" goda Rei.
Hinata menggeleng. "Kecuali yang itu."
"Dasar!" Lelaki itu mengacak rambut merah Hinata.
"Daripada memasang mur dan baut, aku lebih suka memasang cincin di jarimu."
Rei tertegun. Gerakan obeng di tangannya terhenti. "Kamu melamarku?""Apa ada yang salah dengan gadis melamar seorang lelaki?"
Hinata merogoh kantung roknya. Dia mengeluarkan kotak mungil berlapis kulit. Gadis itu berjongkok hanya agar sejajar dengan lelakinya yang tengah duduk menghadap lonjoran besi panjang.
"Rei, maukah kamu menikah denganku?" pinta Hinata sepenuh hati.
-O-
KAMU SEDANG MEMBACA
Writing Prompt | one shot
Random~ Budayakan follow author sebelum baca ~ • • • Kumpulan cerita mini. Tidak berkesinambungan. Bisa baca dari part berapa pun. Berpotensi jadi ide cerita baru. Have a enjoy time. 💜💜