It's a Girl !

647 83 12
                                    

Dua bulan berlalu semenjak pertemuan dengan Hashimoto yang berakhir dengan Hinata dan Yachi diizinkan menjadi orangtua. Bunga-bunga sakura mulai berguguran, tergantikan dengan tumbuhnya daun-daun hijau. Liburan musim panas telah tiba, dan perut Yachi semakin membesar. 

Semenjak pertemuan dengan Hashimoto dan keluarga Yachi, orangtua Yachi akhirnya luluh untuk kembali mengizinkan putri semata wayang mereka kembali tinggal di apartemen mereka meskipun hanya untuk tiga hari, karena tanggung jawab terhadap Yachi masih di tangan Hinata. Semenjak hari itu pula, setiap beberapa hari sekali Yachi diizinkan pulang ke apartemennya.

Saat ini, usia kandungan Yachi telah memasuki minggu ke-23. Sesuai kesepakatan, mereka akan melakukan cek ke dokter kandungan hari ini.

"Coba tebak, apa jenis kelamin bayinya ?" Dokter kandungan wanita berwajah ramah itu berteka-teki. "Perempuan !" Sahut  Hinata, bersamaan dengan Yachi yang berseru, "Laki-laki !". "Yang benar adalah....." Jantung pasangan muda itu berdetak cepat, ingin mengetahui jenis kelamin bayi mereka.

"Selamat, Yachi-san. Kau sedang mengandung bayi perempuan. Sho Kun benar." Mata Hinata berbinar, mulutnya terbuka lebar tak percaya.

"YOSHAAAA !!!" Hinata bersorak riang seperti saat Karasuno mencetak poin, merasakan kemenangan karena tebakannya benar.  "Pasti putriku nanti akan cantik seperti ibunya !" Kata Hinata dengan polos, membuat Yachi tersentak. Wajah Yachi memerah. "Duh, yang namanya anak muda, ya, penuh gombalan receh." Sang dokter tertawa kecil.

Yachi, Hinata, dan ayah Hinata pulang dari klinik kandungan. "Jadi, apakah sekarang kita bisa pergi ke toko perlengkapan bayi ? Mungkin kita bisa membeli piyama pink, boneka, atau kereta bayi untuk anak kita nanti." Hinata bersemangat.

"Eh ? Aku baru saja mau bilang...." Yachi tertawa canggung. "Kalian beruntung. Kebetulan kita akan lewat toko perlengkapan bayi sebentar lagi." Ujar Ayah Hinata yang sedang menyetir.

Hinata melihat-lihat boks-boks bayi berwarna pastel. "Yang ini harganya berapa, Mas ?" Hinata menunjuk sebuah boks bayi dengan penutup tirai putih tipis di atasnya. "Kakak ini mau cari yang sedang diskon musim panas ? Yang sedang diskon yang sebelah situ." Hinata mengekor di belakang penjaga toko.

Yachi hanya bisa geleng-geleng kepala. Yang hamil dirinya, namun sepertinya malah Hinata yang sangat antusias untuk membeli kebutuhan bayi. Yachi melihat-lihat celemek dan kaos kaki bayi.  Yachi memilih celemek dan kaos kaki berwarna pink pastel bermotif polkadot yang sangat lucu, pasti cocok untuk putri kecilnya nanti.

"Yang ini harganya berapa ? Yang ini berapa ? Hah, mahal sekali !" Yachi mati-matian menahan malu. Hinata benar-benar heboh dalam memilih boks bayi dan bak mandi bayi. Dalam situasi seperti ini, Yachi amat malu mengakui Hinata sebagai suaminya. 

"Sho Kun !" Panggil Yachi, mencoba menghentikan kehebohan Hinata sebelum rasa malunya benar-benar memuncak. "Eh, Hitoka ? Iya, kenapa ?" Hinata menghampiri istrinya.

"Piyama yang ini lucu, deh. Celemek yang ini juga." Yachi mengangkat piyama pink bergambar kupu-kupu dan celemek bermotif garis-garis merah. "Ini, kaos kaki sama sarung tangan yang satu set lagi diskon juga." Yachi menunjukkan satu set tiga pasang sarung tangan dan kaos kaki putih tipis yang sedang diskon musim panas.

"Diskon ? Kalau yang ini, jadinya harganya berapa ?" Oke, Yachi yakin bahwa penjaga toko itu sedang menahan diri untuk tidak mengusir Hinata karena lelah ditanyai soal harga terus. Keranjang belanja mereka sudah berisi dot bayi, selimut bayi, dan perlengkapan mandi bayi. Yachi tak perlu cemas soal harga, karena Hinata sudah menabung dengan uang hasil kerja paruh waktunya, ditambah kartu kredit milik Ayah Hinata untuk membayarnya. 

Pada akhirnya, Yachi-lah yang menyeret Hinata keluar ( padahal Hinata bersikeras masih ingin membeli kereta dorong netral yang sedang diskon ) karena malu Hinata bertanya ini-itu dengan sangat heboh pada penjaga toko. "Shoyo, kamu lain kali jangan heboh begitu ya kalau berbelanja." Nasihat ayahnya, entah untuk keberapa kalinya karena malu akibat sikap anaknya yang 'masih junior dalam menjadi suami'. 

"Mumpung lagi diskon, Yah. Lagian juga kereta dorong sama boks bayinya lucu-lucu, cocok buat bayi perempuan." Ujar Hinata. Yachi menarik napas, tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi kepolosan suaminya ini. Pada akhirnya, mereka hanya membeli bak mandi bayi, dot, celemek, satu set piyama dengan sarung tangan dan kaos kaki, selimut, dan perlengkapan mandi. 

Setibanya di rumah, Hinata membantu ayahnya menurunkan belanjaan. Hinata mengizinkan Yachi untuk masuk rumah duluan karena tahu pasti istrinya keletihan. "Sudah membeli perlengkapan bayi ? Duh, bahkan kita belum menyiapkan kamar bayi." Keluh Ibu Hinata.

"Biarkan bayinya tidur di kamar Shoyo saja, Bu. 'Kan, Shoyo ayahnya." Hinata nyengir kuda. Ibu Hinata hanya geleng-geleng mendengar ucapan anaknya yang terdengar bercanda, namun benar adanya. "Oiya, Bu, bayinya perempuan, lho, Bu ! Jadi nanti bisa main boneka bareng Natsu !" Hinata mulai berceloteh tentang apa yang dialaminya tadi, mulai dari mengetahui bayinya perempuan, berbelanja di toko perlengkapan bayi, dan lain sebagainya.

Yachi POV

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Sho Kun berceloteh terus sambil mengangkut barang-barang belanjaan kami. Energi Sho Kun memang tiada habisnya. 

"Eh ?!"

Perutku bergerak. Bukan, bukan bergerak, lebih tepatnya... ditendang. Tadi dinding perutku rasanya ditendang pelan sekali dua kali dari dalam. Aku kaget, namun aku justru tertawa kecil. Kubelai perutku. Putriku mulai menendang-nendang perutku lagi.

"Kamu benar-benar tidak bisa diam seperti ayahmu, ya." Aku tertawa kecil mendengar gumamanku sendiri. 

"Sho Kun ! Kemari ! Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu !" Aku menyahut, memanggil Sho Kun. "Ha ? Iya, kenapa ?" Persis seperti dugaanku, dia meninggalkan aktivitasnya sejenak dan langsung berlari menghampiriku.

"Coba kamu elus perutku." Bisikku. Sho Kun menatapku terheran-heran, namun tetap melakukan apa yang kuminta. "E-eh ?! Eh ?! Hi... Hitoka... ba... bayinya...." Mata Sho Kun berbinar, menatapku tak percaya.

"IBU ! AYAH ! BAYINYA SUDAH BISA MENENDANG !" Sho Kun langsung heboh. "Hah ? Apa benar, Hitoka-Chan ?" Aku mengangguk malu-malu. Nn.Hinata membelai perutku, dan mahkluk mungil di dalam perutku kembali menendang. Nn. Hinata tersenyum lembut.

"Aktif sekali dia bergerak. Seperti ayahnya." Aku tertawa. Rupanya Nn.Hinata sepemikiran denganku. "Hitoka... sudah sejak kapan ? Hah ? Apa kamu tidak kesakitan perutmu ditendang anak kita ?" Hinata menghujaniku dengan sejuta pertanyaan. Bahkan sebelum aku sempat membuka mulut untuk menjawab satu pertanyaan, dia sudah mengajukan pertanyaan lagi tanpa jeda.

"Sudah, Shoyo. Hitoka bahkan belum sempat menjawab satu pertanyaan pun." Nn.Hinata terkikik melihat kehebohan putra sulungnya. "Emmm.... baru saja tadi dia mulai menendang. Aku... aku senang anak kita sudah mulai bergerak." Jawabku malu-malu.

Malam harinya, saat acara makan malam keluarga, kami semua membicarakan mahkluk mungil di dalam perutku. Natsu amat sangat kegirangan, mengetahui nantinya dia akan punya teman untuk bermain boneka dan masak-masakan. Aku tidak bisa berhenti membayangkan nantinya aku akan mendandani putriku dengan gaun-gaun lucu, mengajaknya berbelanja, dan mengajarinya bersih-bersih rumah. 

"Dia menendang lagi..." aku terkikik kecil. Saat aku mengunyah ramen, lagi-lagi putriku menendang dinding perutku, menumbuhkan sepercik perasaan yang sulit dijelaskan dalam dadaku. 

Fakta bahwa putriku sudah bisa menendang disambut dengan hangat oleh keluarga Hinata membuatku seolah lupa bahwa beberapa bulan lalu aku dan Sho Kun benar-benar dipukul habis-habisan oleh kekecewaan keluarga.

"Oh iya, Hitoka, mumpung tempat kerjaku sedang memberiku cuti dua minggu untuk liburan musim panas, kamu boleh membuat daftar hal-hal yang ingin kamu lakukan bersamaku selama musim panas." Ujar Sho Kun, membuatku terkejut.

"E-eh ?! Apa saja ?!" Sho Kun mengangguk mantap, matanya terpejam dan tersenyum. Astaga, lagi-lagi ekspresi manis itu. Sungguh, aku tak kuat terus menatap wajah manisnya. Refleks, aku mencubit pipinya, gemas. 

"Apa saja untukmu, istriku tercinta. Kamu tidak boleh stress." Sungguh, rasanya aku benar-benar ingin ditelan bumi melihat senyuman manis itu.

TBC !

BTW, udah cukup UwU belum nih ? Hehehehe....

Jangan lupa tinggalkan jejak !

Young Love {COMPLETE}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang