"Kak.... Kak Dika..... bangun Kak nanti terlambat," kata Nadya. Dia datang ke kamarku sambil menggoyangkan kakiku.
Pagi hari yang mendung disambut dengan udara dingin yang berhembus, membuat badanku tidak mau bangun dari tempat tidur. Aku beruntung mempunyai Adik perempuan yang selalu perhatian. Aku hanya tinggal berdua dengannya di rumah yang sederhana ini. Sepuluh tahun yang lalu, orang tua kami mengalami insiden kecelakaan, dan pada saat itulah kami kehilangan mereka.
Beruntung aku sudah memiliki pekerjaan, juga kami memiliki seorang Paman yang selalu membantu kami dalam hal ekonomi, beliau juga yang mengurus kami saat masih kecil. Aku bersyukur dengan gajiku, aku masih bisa melanjutkan kuliah, juga membiayai sekolah Adik. Dari dulu keluarga kami diasingkan oleh kerabat yang lain, dikarenakan derajat kami yang menurut mereka rendah dan tidak setara seperti mereka. Bahkan saat pemakaman orang tua kami, tidak ada kerabat yang datang. Hanya Paman, Adik dari Ibuku yang peduli pada kami.
"Kak, cepetan bangun ih... terus sarapan, aku beli bubur tadi," kata Nadya cerewet.
"Iyah, bawel," kataku sambil berusaha membuka mata.
[Alisa POV]
Secangkir teh hangat menemaniku pada pagi hari ini. Sembari memandang langit yang kelabu, terlintas dalam pikiranku akan tujuan. Langkah selanjutnya yang harus aku jalani setelah kuliah. Ayahku selalu memintaku untuk meneruskan usaha yang telah dibangunnya, Ibuku juga demikian. Alasannya adalah hidupku akan lebih terjamin, kata mereka. Mungkin itu memang benar, tapi aku mempunyai hal lain. Aku tidak mau sukses dengan jalan pintas. Aku ingin menjadi seorang desainer, dari kecil aku memang suka menggambar. Namun, hobiku itu tidak pernah didukung oleh orang tuaku. Mereka lebih suka jika aku menuruti kemauan mereka.
Orang tuaku selalu sibuk, sejak masih balita aku sudah diasuh oleh Bi Uni, asisten rumah tangga di rumahku. Bahkan, bagiku Bi Uni sudah ku anggap seperti Ibuku sendiri. Karena, Bi Uni yang telah merawatku hingga sekarang. Terkadang aku berharap, aku bisa memeluk kedua orang tuaku, juga aku ingin sekali kepalaku ini diusap oleh tangan Ayahku. Harapan terbesarku adalah, aku bisa mendengar mereka berkata "Wah kamu hebat nak, kami bangga padamu" tapi realitanya, Bi Uni yang selalu berkata demikian ketika aku mendapat prestasi.
"Neng... Neng Alis..." Bi Uni memanggil, kemudian dia perlahan menghampiriku yang tengah melamun di teras. "Neng Al... (*Menepak pundak Alisa)"
"EH SUSU MANYUN!" Alisa terkejut, "E-eh Bi Uni..."
"Eh si Eneng mah, ngapain ngelamun disitu?"
"Hehehe iya Bi," kataku. "oh iya ada apa Bi?"
"Ini Neng, Bibi mau pamit belanja ke depan, persediaan makanan udah pada menipis."
"Ohh, kalo gitu mah Eneng aja atuh yang belanja, Bibi di rumah aja."
"Gak usah Neng, Biar Bibi aja."
"Gapapa Bi, biar Bibi gak cape, lagian hari ini Eneng libur," kataku memaksa.
"Ya udah kalo gitu mah," Bi Uni mengalah, "Tapi ntar Neng gapapa pergi sendiri?" tanyanya.
"Aku ntar sama Dika Bi, biar gak keluar ongkos hehe," jawabku.
"Ya sudah... Bibi beres-beres dulu yah."
"Oke Bi."
...
"Oh iya, hari ini Dika ada jadwal ngampus enggak yah? Hmm... Aku coba chat aja deh."
~
Hey
Lg ngapain?
✓✓Lg sarapan, kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhikalisa
Teen FictionSepasang... inilah kata yang kerap diaplikasikan untuk kedua insan yang saling memiliki, saling menyayangi, dan saling mencintai. Sayangnya, kita hanyalah dua orang anak yang saling akrab. Hubungan kita juga abstrak, mungkin untuk sebagian orang hu...