Simpati

7 1 0
                                    

Alhamdulillah, malam ini hotel cukup penuh. Meskipun bukan hari libur, cukup banyak tamu yang check in. Ada seorang tamu yang tak asing datang pada malam ini. Dia adalah keluargaku, lebih tepatnya adalah sepupuku. Dia datang ke hotel bersama seorang gadis. Sepertinya gadis itu adalah kekasihnya.

"Check in atas nama Prasetya mas," ujarnya sebelum dia memandang wajahku. Ketika dia melihat ke arahku, dia hanya diam.

"Mas Pras, apa kabar?" kataku. "Uwa di sana sehat-sehat mas?"

Dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Seolah-olah dia tidak mengenaliku. "Kamu kenal sama dia beb?" tanya si gadis tersebut kepadanya.

"Enggak kok, aku gak tau dia siapa," selepas berkata demikian, dia langsung pergi ke kamarnya. Sepertinya aku memang tidak dianggap oleh kerabat yang lain. Hanya karena status sosialku.

Ayahku adalah seseorang yang berasal dari panti asuhan. Beliau tidak pernah diadopsi oleh siapa pun. Sehingga pemilik panti menetapkan beliau untuk tinggal dengannya di sana. Ayahku sangat bersyukur, dia bisa mengejar impiannya menjadi seorang guru. Beliau mengajar Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Saat itu juga beliau bertemu dengan Ibuku.

Saat itu Ibuku begitu kagum padanya. Karena selain seorang guru, Ayahku juga bekerja di panti asuhan sekaligus yang menjadi tempat tinggalnya. Beberapa bulan berlalu, Ayahku berhasil membeli rumah dengan hasil kerja kerasnya. Beliau lalu memberanikan diri untuk melamar Ibuku. Tapi sebelum pergi melamar, beliau pergi ke panti asuhan. "Aku harus memberitahu Pak Madi soal ini," pikirnya.

Pak Madi adalah pemilik panti asuhan tersebut. Ketika Ayahku tiba di sana, suasana berubah menjadi kelabu. Dalam perjalanan Ayahku melihat asap hitam yang tebal berasal dari tempat yang dituju. Tapi beliau berpikir positif, "Ah mungkin ada orang yang membakar sampah," ujarnya. Namun, setibanya di sana, banyak warga yang berbondong-bondong memadamkan api besar yang melahap panti. Ayahku seketika membeku, melihat api yang memakan habis tempat itu.

Anak-anak berhasil diselamatkan semua, walaupun ada beberapa anak yang terluka. Beberapa saat pemadam kebakaran datang, mereka langsung dengan cepat memadamkannya. Tapi perasaan Ayahku tidak tenang, karena beliau belum melihat Pak Madi dimana pun. Mengingat seorang warga berkata, masih ada satu orang yang terjebak di sana, petugas pemadam yang melakukan pencarian pun akhirnya keluar bersama orang itu. Air mata Ayahku keluar begitu saja, ketika menyadari bahwa orang yang terjebak adalah Pak Madi. Nyawanya, tidak bisa tertolong.

Seminggu setelahnya, Ayahku jadi pergi melamar Ibuku, dan lamarannya ditolak. Mereka tidak menerima latar belakang Ayahku. "Kita ini orang yang jauh berbeda, kita berasal dari keluarga kelas atas, kita tidak harus bergaul dengan kalangan rendah," ujar Kakek ku saat itu. Namun Ibuku bersikeras meyakinkan Ayahnya, jikalau Ayahku dapat memberikan kebahagiaan.

Perselisihan antar orang tua dan anak itu berlangsung lama. Hingga akhirnya Ayahku diperbolehkan menikahi Ibuku. Tapi semenjak kejadian tersebut, Ibuku mulai diasingkan oleh keluarganya sendiri. Bahkan Kakaknya berkata, "Jika kamu tidak bisa hidup mewah, jangan panggil aku keluargamu."

...

Itulah yang diceritakan Ibuku saat aku bertanya, "Mengapa kita dibenci oleh saudara sendiri?" Saat ada acara-acara keluarga, hanya Paman yang selalu mengajak kami. Karena ajakan dari Paman itulah, aku bisa mengenali wajah-wajah kerabatku.

Ibuku selalu mengajarkan, meskipun mereka tidak menyukai kita, kita jangan ikutan membenci seperti mereka. Ibuku adalah sosok yang baik, dan selalu ramah. Saking ramahnya, sampai-sampai marah pun dengan kalimat yang halus.

"Oh iya, aku belum mengecek handphone dari tadi," kataku dalam hati. Setelah ku lihat, banyak miss call dari Alisa. Aku baru ingat, aku harus menjemputnya sore tadi.

DhikalisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang