02. Jaga dirimu, Ice

2.5K 277 26
                                    

Namanya Ice

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namanya Ice.

Siswa baru yang tidak sengaja bertemu dengan Gempa minggu lalu. Oknum yang begitu misterius karena hampir tidak ada interaksi sedikit pun sejak pertama kali dia memasuki kelas. Ice selalu tampak minim ekspresi—lebih tepatnya seperti tidak ada ketertarikan khusus dalam mengikuti pelajaran. Dia tampak acuh tak acuh dan terkadang lebih memilih menghabiskan waktu pelajaran dengan menatap ke arah hutan dari tempat duduknya yang berada di pojok kelas dekat jendela.

Walaupun begitu, setiap kali guru bertanya kepada Ice tentang mata pelajaran yang sedang dibawakan, Ice selalu berhasil menjawabnya. Itu artinya, telinganya masih dia gunakan untuk mencerna pelajaran walaupun dia sedang fokus ke lain hal. Tak ayal, Ice di cap sombong oleh satu kelas. Namun, sepertinya dia juga tidak peduli—begitulah menurut Gempa.

Gempa duduk di deretan kursi tengah. Sesekali dia mengalihkan atensinya ke belakang di mana Ice duduk sembari menikmati waktu favoritnya—menatap hutan di sana. Sialnya, saat itu tatapan mereka berdua saling bertemu. Kedua mata coklat mereka saling beradu sebelum Gempa memutuskan sepihak pandangannya. Apa selama ini dia sadar kalau Gempa lihat?

Batinnya tak karuan sekarang. Bagaimana jika Ice berpikiran buruk tentangnya? Dadanya berdebar tidak karuan—namun bukan karena tertarik—Gempa lebih merasa panik sekarang.

Tanpa sadar, Ice tersenyum tipis di sana. Dia mengambil tas ranselnya saat bel pulang sekolah berbunyi. Tanpa banyak bicara, dia beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari kelas itu.

"Fokus dengan pelajaranmu, Gempa."

Ice mengucapkan itu tepat di telinga Gempa saat dirinya melewati tempat duduk Gempa. Tubuh tingginya terpaksa menunduk karena Gempa masih duduk sembari membereskan perlengkapan sekolahnya.

Dia akhirnya beranjak keluar dari kelas itu—meninggalkan kelas yang masih ricuh—dan Gempa yang kini merasakan bahwa wajahnya memanas karena malu.

Selama ini dia tahu!

***

Gempa berjalan pelan saat dirinya sudah berada di halaman sekolah. Sudah lumayan sepi di sini mengingat bahwa sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi. Sedangkan Gempa sendiri baru selesai dengan piket kelasnya. Tanpa sengaja Gempa melihat Ice yang mengendap-endap ke arah hutan yang sebelumnya selalu dia lihat dari jendela. Gempa heran, kenapa harus mengendap-endap hanya untuk menuju hutan itu? Tidak ada larangan untuk siswa yang ingin memasuki hutan selagi mereka tidak masuk terlalu dalam ke sana. Atau ... mungkin Ice memang punya alasan lain kenapa dia masuk ke sekolah ini?

Tanpa sadar, kaki mungil Gempa ikut-ikutan mengikuti Ice. Awalnya, Gempa merasa hutan itu biasa saja seperti hutan biasanya. Namun, saat dia masuk lebih dalam, suasananya sedikit berubah. Lebih lembab, lebih gelap—suram.

Ada sebuah dinding tinggi yang mengitari wilayah sekolah dan sebagai batas di mana wilayah hutan itu dapat dijelajahi. Di balik tembok itu hanya ada hutan yang sepertinya nyaris tidak berujung. Anehnya, Ice terlihat biasa saja dan seolah ingin melewati tembok tinggi itu. Dan ya, matanya melotot seketika saat Ice benar-benar melompati dinding itu—dalam satu lompatan.

"Huh?" Beneran sekali lompat doang?!

Matanya mengerjap beberapa kali—bahkan sempat mencubit pipinya untuk meyakinkan bahwa dia tidak bermimpi sekarang. Dengan langkah tergesa, dia menuju pintu darurat yang ada. Sepertinya sudah lama tidak digunakan mengingat engsel pintu itu yang sudah berkarat.

Suara daun kering yang dia pijak terdengar di antara sunyinya hutan itu. Kakinya terus melangkah walaupun jantungnya berdetak tak karuan karena dia sadar bahwa dirinya tertinggal oleh Ice. Ingin rasanya dia kembali, namun rasa penasarannya terlalu tinggi. Gempa meyakinkan diri bahwa dia akan baik-baik saja. Gempa terus mengikuti jalan setapak itu—sampai pada akhirnya, kakinya berhenti bergerak ketika dia mendengar suara lain di dalam hutan.

Matanya mengedar ke sekitar, mengabaikan detak jantungnya yang semakin tak karuan, dia berusaha tetap tenang walaupun dia sudah sangat ketakutan sekarang.

"Tidak sopan mengikuti orang lain seperti ini," ucap Ice dari belakang tubuh Gempa. Tangannya dia gunakan untuk membekap mulut Gempa agar pemuda mungil itu tidak berteriak. Sedangkan Gempa yang masih shock dengan kehadiran Ice, kini berusaha untuk menetralkan detak jantungnya.

Merasa bahwa Gempa tidak akan berteriak, Ice melepaskan bekapannya. Dia bersedekap dada, menatap datar ke arah Gempa.

"I-Ice?" cicit Gempa saat tatapan datar itu dia terima. Untuk pertama kalinya, dia merasa takut dengan tatapan teduh milik Ice—tatapan yang sangat mengintimidasi dirinya.

"Di sini berbahaya, kenapa ke sini?"

Gempa diam. Tidak merespon pertanyaan Ice. Dia menunduk seketika, memutuskan sepihak kontak mata di antara mereka.

"G-Gem hanya penasaran," cicit Gempa pelan—bahkan sangat pelan jika Ice tidak memfokuskan pendengarannya sekarang ini, "l-lagi pula, jika memang berbahaya ... kenapa Ice datang ke sini?"

Ice menaikkan sebelah alisnya. Dia berpikir bahwa Gempa sedang mencari alasan untuk tidak disalahkan dan berujung menyalahkan dirinya karena masuk ke dalam hutan ini juga. Dia tersenyum miring, "bukankah ini urusan pribadiku?"

Gempa kembali bungkam.

Benar katanya. Jika Ice dalam masalah nantinya, atau pun jika Ice dalam bahaya nantinya, itu urusan pribadi Ice. Tidak ada alasan yang logis yang membenarkan Gempa untuk mengikuti Ice. Jika dilihat-lihat, bahkan Ice punya kesempatan selamat lebih tinggi jika salah satu di antara mereka dalam bahaya.

Ice sendiri hanya menghela napas pelan, Gempa terus-terusan menunduk beberapa menit tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Ice yang tidak pandai mencairkan suasana dan Gempa yang dirundung rasa takut yang ketara. Ice kemudian mendekat ke arah Gempa—mengangkat pelan dagu pemuda itu agar mereka saling bertatapan.

"Kamu bisa saja terluka jika gegabah seperti ini, Gempa."

Suara Ice benar-benar datar ditambah dengan raut wajah tanpa ekspresi itu—terlihat menyeramkan. Namun satu hal yang Gempa tahu, Ice sama sekali tidak bertindak kasar padanya walaupun bisa Gempa rasakan bahwa Ice sedang menahan emosinya.

"G-Gem ...," ucapnya terputus saat Ice mencubit pelan pipi tembam miliknya.

"Kembalilah, di sini terlalu berbahaya untukmu."

Ice menutup matanya sejenak sembari menarik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, Ice kembali membuka kedua matanya—menatap lurus ke arah Gempa sembari tersenyum tipis.

"T-tapi ...,"

"Aku bisa menjaga diriku sendiri, Gempa. Jangan mengkhawatirkanku. Kembalilah," ucap Ice sembari mengusak pelan puncak kepala Gempa.

Gempa mengangguk kaku, "baiklah."

Untuk terakhir kalinya, Gempa menatap pemuda itu. Ice masih tidak bergeming, senyuman tipis itu masih terpatri di wajahnya.

"Jaga dirimu, Ice."

Ice mengangguk kecil. Tatapannya masih terpaku ke arah Gempa yang perlahan berjalan menjauh darinya. Senyuman tipis itu berubah menjadi datar ketika Gempa sudah jauh dari pandangannya. Ice berbalik, melanjutkan apa yang seharusnya dia lakukan sebelumnya.

Jaga dia ... mereka ... sudah mulai bergerak. Aku akan sedikit memeriksa keadaan.[]

Bloodbound | ✔ (On Remake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang