Pada akhirnya mereka berdua hanya diam di starbuck dalam waktu yang cukup lama. Mengenang kembali kisah masa kecil mereka dan tak menyangka jika sebentar lagi mereka berdua akan sama-sama beranjak dewasa. Saling berterima kasih karena selama ini, mereka berdua selalu ada saat satu sama lain saling membutuhkan.
Meski kata orang, tak mungkin dua manusia berbeda jenis kelamin bersahabat dalam waktu yang sama. Salah satunya pasti akan menyukai yang lain. Dan Dian tentu menolak anggapan itu mentah-mentah. Ia dan Ali tak ada perasaan apa pun. Meskipun kata Ali mungkin belum. Mereka berdua sama-sama ingin mengejar cita-cita mereka impian mereka.
"Di, ntar kalau udah berangkat jangan lupa main, ya. Sedih nih, ditinggal pergi. Lama banget lagi." Keduanya tertawa kecil.
"Aku nggak akan pernah lupa kamu, Ali. Janji."
"Awas, ya. Pulang-pulang dari sana tiba-tiba pura-pura nggak kenal."
Dian menggeleng. "Nggak akan."
Lagipula mana bisa Dian melupakan Ali. Mereka bersahabat mungkin sejak umur satu tahun hingga sekarang. Dian hanya punya Ali sebagai satu-satunya teman dekat. Semua kegelisahan yang ia rasakan pasti akan ia ceritakan pada Ali. Dan Ali pun sama. Mereka sama-sama saling membutuhkan satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.
"Di, pulang dari Cairo jadi jodoh aku mau nggak?"
Kali kedua Dian terbatuk tiba-tiba. Ali dan mulut lemesnya itu sepertinya memang minta dicium pantat ayam. Sangat-sangat mengesalkan.
🍀🍀🍀
Tiba di hari yang paling penting bagi Dian. Hari di mana ia meninggalkan semua yang ada di sini untuk waktu yang tidak sebentar. Dean masih mendiamkannya berhari-hari lamanya. Hampir satu bulan dan Dian lebih memilih untuk berangkat dua minggu lebih awal sebelum pendaftaran pertama. Banyak hal yang masih harus ia siapkan setibanya di sana.
Beberapa waktu lalu, ia mama dan Dean sibuk membeli perlengkapan sekolah. Meski Dean tak lagi mau berbicara panjang lebar dengannya dan meski hampir satu bulan lamanya Dean tak lagi mau sekamar dengannya. Setidaknya Dean masih mau berbicara satu dua patah kata padanya.
Hari ini ia akan berangkat lebih siang. Setelah kemarin hampir seharian sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam satu koper berukuran besar, kini ia memiliki waktu luang yang tak lama mengunjungi Ali. Semalam ia juga sudah mengatakan hanya akan memiliki waktu tak lebih dari setengah jam dan Ali menyetujui untuk bertemu meski tak lama.
Hari ini juga merupakan hari perdananya mengenakan kerudung di luar rumah. Dan Ali akan menjadi orang pertama yang melihatnya. Sedangkan Dean sendiri pergi entah ke mana, hanya ada Dian sendiri di rumah saat ia akan pergi menemui Ali.
Dari kejauhan, Dian melihat Ali yang tengah berdiri bersandar pada pohon besar sembari memainkan ponselnya.
"Wih, Bu Haji udah mau berangkat aja, nih." Baru satu detik bertemu dan mulut Ali sudah menyebalkan seperti ini.
Dian ingin sekali memukulnya tapi urung karena ia memakai kerudung. Dian tidak akan pernah mau mengotori pakaian yang dipakainya ini dengan berbuat yang tidak seharusnya. Menyentuh bukan mahram maksudnya.
"Nyebelin banget, sih. Mau pamitan, nih. Sesekali tanyain kabar Dean mau nggak? Aku nggak yakin setelah ini dia bakal mau aku hubungi apa nggak."
"Siap, Bu Haji. Aku siap mengomeli saudara tirimu itu dengan berbagai macam petuah baik," katanya dengan nada bicara yang lagi-lagi membuat Dian kesal.
"Jangan nakal-nakal, jangan sering bolos. Kamu nggak bakal bisa jadi kayak Chanyeol kalau kamu nggak berusaha sejak sekarang."
"Aku dengernya kok kayak pesan terakhir, sih."
"Bisa nggak sehari aja nggak usah nyebelin." Ali malah tertawa.
"Kan udah dibilang, Ali tanpa nyebelin itu bukan Ali."
Dian terdiam. Memang benar apa yang ia katakan. Ali tanpa kata menyebalkan memanglah bukan Ali. Tapi entah mengapa Dian malah merasa lebih sedih. Hari ini, akan menjadi hari terakhir ia mendengar Ali berbicara mengesalkan seperti itu. Dan entah kapan akan terdengar lagi.
"Nggak usah sedih, Bu Haji. Ntar juga pasti ketemu lagi. Baik-baik di sana, belajar yang giat biar bisa beneran pergi ke Cairo. Nggak usah peduliin temen yang bakal kamu nggak suka. Dean bakal aman di sini, aku bakal ngawasin dia dari jauh tenang aja. Dan...." Ali menyerahkan sebuah kotak berukuran besar pada Dian. "Ini, dibuka nanti pas nyampe di sana aja. Jangan lupa dipakai. Aku nggak tahu ini bakal berharga apa nggak. Tapi aku tetap berharap semoga ketika kamu pakai ini, kamu tetap ingat pesan-pesan yang aku bilang. Jangan berhenti berjuang untuk mimpi yang mungkin akan benar-benar tercapai. Semangat, Dian!"
Dian menerima kotak itu dengan tangan sedikit bergetar. Ali, akan menjadi teman terbaiknya sampai kapanpun. Ali, akan jadi terbaik dari yang terbaik dari Tuhan untuknya. Dan boleh Dian berharap jika suatu hari, yang berada di sampingnya menggantikan peran sang ayah adalah Ali?
"Makasih banyak, Ali."
🍀🍀🍀
Dean masih diam saja saat Dian memeluknya untuk waktu yang lama. Tidak membalas, juga tidak memberontak. Harusnya hari ini, Dean melepas Dian dengan penuh rasa bahagia dan juga tangis tidak terima. Tapi Dean hanya diam saja. Ia sedih, sangat sedih. Karena setelah hari ini, Dean benar-benar akan sendiri. Tak lagi ada Dian yang mau membantunya mengerjakan PR, tak lagi ada Dian yang mau membantunya diam-diam membeli baju yang ia inginkan. Tak lagi ada Dian di sisinya dan Dean merasa sangat kehilangan. Namun ia hanya bisa diam saja. Menangis tanpa air mata, juga suara.
"Jaga Mama baik-baik, jaga Ayah juga. Jangan telat makan. Baik-baik di sini. Belajar yang rajin. Belajar mandiri. Jangan tergantung sama siapa pun lagi. Aku berangkat, Dean. Jangan lupa dibaca," katanya sembari menyerahkan satu buah surat di tangan Dean yang masih diam saja.
"Mama akan lebih sering ada di rumah. Kamu tenang aja. Ada Ayah yang bakal jagain Dean. Kamu nggak usah khawatir. Kami semua akan baik-baik saja. Belajar yang rajin." Mama memeluk Dian lama dan cukup erat. Saat itu, Dian hanya mengangguk.
"Anak Ayah udah besar. Udah bisa ke mana-mana sendiri. Baik-baik ya, Nak. Belajar yang rajin. Gapai semua yang kamu mau di sana. Salam buat Bibi, maaf kami nggak bisa mengantar kamu sampai di sana." Ayah juga memeluk Dian erat. Tak rela rasanya membiarkan putrinya yang masih berusia 15 tahun itu pergi menggapai mimpinya di tempat yang jauh.
"Ayah juga baik-baik di sini. Dean perhatiin lebih lagi. Dian berusaha baik-baik di sana dan berusaha membuat kalian bangga. Ayah jangan kerja terlalu keras. Istirahat juga jangan lupa. Dian pamit, ya, Yah, Ma. Assalamualaikum."
Tiba saatnya untuk pergi dan Dian berharap semoga saat ia kembali nanti, semua akan baik-baik saja sesuai harapannya.
🍀🍀🍀
211220
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear D
Teen Fiction#TeenficProject2 Dean dan Dian selalu bersama sejak masih dalam kandungan hingga beranjak remaja. Bahkan selama sembilan tahun bersekolah mereka selalu berada di kelas yang sama dan tetap berada di bangku yang sama. Namun saat masa putih abu-abu aka...