Bab 17

6 0 0
                                    

Sampai saat ini, Dean masih kepikiran pesan-pesan yang Ali beri. Semua yang Ali katakan jujur membuat hatinya tercubit. Ia merasa tersinggung. Tapi apa yang Ali katakan, memang benar adanya. Dean terlalu kekanak-kanakan. Selama ini, ia selalu menghindar saat Dian menelepon dan berbicara panjang lebar. Harusnya Dean bersyukur, karena hanya dengan cara seperti itu komunikasinya dengan Dian bisa terlaksana. Dan Dean malah menyia-nyiakan semua.

Ali, walaupun mulutnya pedas dan tak segan-segan membuat siapa saja tersinggung akan perkataannya, tapi dia satu-satunya orang yang bisa menyadarkan Dean selama ia berbuat salah. Dulu sekali, mereka pernah bertengkar hebat sampai-sampai Dian tak bisa melerai mereka. Ali dengan mulut pedasnya itu menyebutnya pecundang hanya karena tidak ingin meminta maaf kepada teman yang pernah ia kerjai. Hingga membuat hubungan keduanya merenggang hingga sekarang.

Dean dan Ali definisi Tom and Jery dalam dunia mereka. Dean yang selalu saja kesal pada ucapan dan kelakuan Ali, sedangkan Ali senang sekali mengerjai Dean. Benar kata dirinya sendiri, Ali tanpa menyebalkan memang bukan Ali.

Mungkin setelah ini, ia harus berterima kasih pada cowok itu karena telah menyadarkannya. Mulai saat ini, Dean akan mencoba menerima keputusan Dian. Bersikap lebih baik, atau mungkin melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka. Hanya itu yang bisa ia lakukan di tengah kejadian akhir-akhir ini yang membuatnya bingung setengah mati.

Setelah ini, ia akan bersikap sebaik mungkin, hingga akhirnya Dian kembali. Atau semua yang terjadi akhir-akhir ini memiliki titik terang. Karena jujur, Dean masih belum menemukan benang merah dari semua ini. Sikap mama belakangan tidak bisa menjawab semua. Meski kenyataannya Dean tahu, ada yang salah dari hubungan kedua orang tuanya.

🍀🍀🍀

"Lo yakin banget cerita masalah ini ke gue? Nggak takut gue bocorin keluar?" Ali bersidekap. Menunggu respon dari Dean.

Mereka selama ini seperti tikus dan kucing, tak pernah akur. Aneh rasanya tiba-tiba Dean memintanya bertemu di cafe biasa ia dan Dian bersama. Lalu menceritakan hampir semua hal-hal yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Tidak, tidak. Dean tidak menyebarkan masalah keluarganya. Ia hanya menceritakan mengapa isi surat Dian mencurigakan sekali. Dean tentu tahu, ia tak bisa menyebarkan apa pun yang belum pasti. Apalagi menyangkut keluarganya.

"Kalau gue nggak yakin, gue nggak akan ke sini. Gue yakin, lo bisa jaga rahasia."

"Kenapa bisa? Gue bisa aja nyebarin ini ke siapapun yang gue mau."

Dean berdecak. Ali ini memang banyak omong sekali. Tapi hanya dia yang bisa membuatnya tenang. Maksud Dean, kata-kata yang Ali lontarkan bisa membuatnya berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Gue nggak peduli, ya, Ali. Gue cuma mau cerita. Kalau lo mau nyebarin, terserah. Ah, nyesel gue cerita sama lo," katanya bohong.

"Bercanda, elah. Gue cuma agak kaget aja, lo tiba-tiba minta gue dateng ke sini cuma buat curhat masalah surat Dian. Kan gue juga udah bilang, nggak ada gunanya lo sok ngambek begitu. Toh, lo sendiri yang bakal repot. Itu surat ditulis pake tangan dan otak Dian, ya mana gue tahu maksudnya apaan. Tunggu aja dia pulang, terus lo tanya-tanya, deh."

"Serius lo nggak tau apa-apa? Dia nggak pernah cerita gitu? Lo kan paling deket sama dia. Dian nggak pernah cerita masalah dia ke gue."

"Dia nggak pernah cerita apa-apa. Gue enggak tau kenapa, tapi sejak sebulan sebelum UN, dia tiba-tiba tertutup. Lo tau sendiri, selama itu gue sama dia nggak pernah ketemu langsung. Gue juga nggak pernah mau maksa dia cerita."

Dean terdiam. Ia masih tidak puas dengan jawaban Ali.

"Lo nggak percaya?"

Dean menggeleng dengan wajah polos. "Mulut lo tuh sebelas duabelas sama mulut buaya darat."

"Citra gue di mata lo buruk banget, ya. Beda banget sama kembaran lo."

"Ya bedalah, makanya gue selalu berdo'a semoga kalian berjodoh." Ali tersedak, untuk pertama kalinya di depan Dean yang saat ini tengah tertawa puas.

Sialan.

🍀🍀🍀

Dean tertegun cukup lama saat baru saja tiba di depan gerbang rumah. Lagi, satu kotak berukuran sedang berada tepat di depan gerbang rumahnya. Dengan tulisan tangan yang sama dan tujuan yang sama, untuk dirinya. Gadis itu segera masuk ke dalam, bergegas sampai-sampai terkejut begitu melihat sang ayah yang membukakan pintu.

"Kamu kenapa? Kok panik banget gitu."

Dean memutar otak, mencari alasan yang bagus untuk segera pergi dari hadapan sang ayah. "Anu, Yah. Kebelet," katanya sembari terkekeh, berusaha sebisa mungkin terlihat meyakinkan.

"Ya udah sana. Tapi itu ... apa?" Dean yang telah masuk ke dalam seketika berhenti.

Gagal sudah. Padahal ia berharap sang ayah tidak bertanya-tanya meski melihat kotak itu. Untung saja Dean bisa berkilah dan menjawab kalau itu paket dari belanja online yang baru saja datang ketika ia tiba tadi. Sehingga ayah hanya diam lalu membiarkan Dean pergi.

Dean juga lupa kalau ayah libur bekerja hari ini, mengingat sekarang hari libur. Mengingat itu, gadis itu juga teringat mama. Harusnya saat hari Minggu begini, mama ada di rumah. Menghabiskan waktu bersama mereka seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi sepertinya tahun ini merupakan tahun yang paling sibuk bagi mama. Hingga hari Minggu seperti ini saja, wanita itu tetap tidak bisa meluangkan untuk keluarganya.

🍀🍀🍀

Dean membuka paket itu beberapa saat setelahnya. Ia mengunci pintu, memastikan ayah tidak tiba-tiba masuk saat ia membuka paket. Perlahan, paket itu terbuka. Seperti sebelum-sebelumnya, hanya ada beberapa foto di sana. Kali ini tidak ada keterangan berarti. Tapi Dean belum berani membukanya. Bagaimana jika foto-foto kali ini lebih gila dari sebelumnya, ia tidak bisa membayangkan.

Namun semakin lama, ia semakin penasaran setelah hanya memerhatikan bagian belakang foto. Dengan jantung berdegup lebih cepat dan tangan sedikit gemetar, Dean membalikkan foto tersebut.

Tiga foto biasa dan satu foto berbentuk polaroid dengan keterangan 'tunggu tanggal mainnya' menggunakan spidol merah. Dean semakin terkejut lantaran foto itu menampakkan mama bersama pria lain dengan pakaian yang cukup sexy. Pria di foto itu tidak memakai kacamata. Cukup jelas terlihat wajah pria itu, tapi Dean sama sekali tidak mengenalinya. Bertemu saja mungkin tidak pernah.

Satu pertanyaan kini menggantung dengan tanda tanya besar di dalam benaknya.

Semua foto ini hanya menjurus pada satu kemungkinan.

Apa mama selingkuh dengan pria ini? Pria di foto ini?

Apa segitu buruknya ayah di mata mama hingga memilih lelaki lain yang mungkin lebih baik dari ayah? Tapi mengapa? Dean tak pernah menyangka mama akan berbuat sejauh itu jika semua ini benar. Gadis itu kecewa, benar-benar kecewa.

Dean seketika kepikiran Dian. Jangan-jangan selama ini Dian tahu segalanya? Segala yang diperbuat mama di belakang mereka?

🍀🍀🍀

140121

Dear DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang