Dean masih tidak bisa berkata apa-apa. Semua yang ia pikirkan masih abu-abu. Belum tampak kenyataannya bagaimana. Ia tak bisa begitu saja menuduh mama melakukan hal itu meski beberapa bukti kini berada di tangannya.
Terlalu sakit rasanya meski ini hanya dugaan. Dean kecewa, sangat. Jika memang benar mama selingkuh, Dean tak bisa memaafkannya. Tidak bisa. Sela ini mereka baik-baik saja. Tidak ada yang salah dari hubungan kedua orang tuanya. Mereka baik-baik saja.
Tapi mengapa? Apa alasan mama berbuat sejauh itu?
Apa salahnya? Salah Dian? Salah Ayah? Hingga mama lebih memilih bekerja, bekerja dan bekerja daripada melihat anak-anaknya tumbuh dewasa dalam awasannya.
Dean bahkan lupa, kapan terakhir kali mereka duduk bersama selama lebih dari satu jam. Selama ini mama selalu mementingkan pekerjaan yang Dean sendiri tak tahu apakah wanita itu benar-benar bekerja atau justru menghabiskan banyak waktunya dengan pria di foto itu.
Dengan gerakan brutal, Dean segera merobek kertas foto itu menjadi bagian-bagian yang kecil, bahkan sangat kecil. Entah kenapa ia ingin marah, ia ingin berteriak bahwa meski telah berjuang melahirkannya, mama tak pantas disebut sebagai ibu. Tapi detik itu juga Dean sadar, ia tak bisa. Ia tak bisa mengatakan semua itu. Yang ia lakukan kini hanya diam. Memandangi kertas-kertas foto tak beraturan tadi.
"Dean benci Mama."
🌼🌼🌼
Alih-alih berteriak dan mengatakan membenci Mama seperti niatnya tadi, yang Dean lakukan saat ini hanya diam. Saat mama pulang 10 menit yang lalu dan mengajak Dean serta ayah makan bersama, Dean masih diam. Tidak banyak menanggapi. Sambil memikirkan kotak berisi apa yang akan Dean terima esok hari. Mungkinkah pria itu mengirimkan lebih banyak bukti? Berupa pesan suara atau video-video kebersamaan mereka selama ini. Dean tak lagi peduli.
Dan ia baru saja menyadari kebodohannya. Harusnya Dean tetap membuat utuh foto-foto itu tadi, alih-alih merobeknya menjadi bagian-bagian kecil. Kini Dean kehilangan bukti dan berharap semoga besok akan ada kotak yang akan datang, entah isinya apa, Dean berharap semoga bukti yang jauh lebih kuat. Agar ia bisa segera memberitahu ayah dan membuat pria itu segera meninggalkan mama.
Dean benci mama. Meski kenyataannya belum benar sepenuhnya, Dean tetap benci mama. Otaknya sendiri yang menyakinkan ia, apa yang mama lakukan di belakang mereka memang benar adanya.
Benar kata orang yang mengirimkannya foto-foto itu, tinggal tunggu tanggal mainnya. Dan Dean penasaran, akan seperti apa kejutan yang orang itu beri untuknya setelah ini. Yang jelas, Dean tidak akan terkejut lagi.
"Dean mau makan apa malam ini? Kayaknya kita udah lama banget nggak makan di luar. Gimana, Mas? Mau makan di luar?" tanya Mama dengan nada biasa. Seolah tidak tertarik tapi tetap menawarkan.
"Nggak usah, aku makan di sini aja." Dean menjawab dengan nada ketus. Demi apa pun, ia sudah tidak lagi tertarik pada semua omongan mama. Sama seperti sikap palsunya selama ini, omongannya juga pasti palsu. Dean tak lagi percaya.
"Ya udah, kita makan di sini aja." Ayah akhirnya memutuskan mereka tetap makan di rumah dan memesan makanannya lewat online.
Dean tersenyum sinis. Baru sadar kalau selama ini, mama tak pernah memasakkan makanan untuk mereka. Mungkin memang pernah, tapi Dean tak ingat saking lamanya.
Diingat-ingat kebelakang lagi, selama ini Dean dan Dian memang menghabiskan banyak waktu hanya berdua. Dan dibanding bersama mama, kebersamaan mereka dengan ayah jauh lebih intens. Saat SD dulu, setiap akhir pekan ayah akan mengajak mereka jalan-jalan. Sekedar ke kebun binatang, ke taman atau bermain di pusat perbelanjaan. Sedangkan mama? Entah, Dean tidak begitu ingat tapi sepertinya pernah. Hanya sekali atau dua kali.
Timbul lagi pikiran negatif di benak Dean. Apa jangan-jangan mama berselingkuh dengan pria itu sejak lama? Tiga tahun atau empat tahun? Dean tidak bisa membenarkan.
Dan dalam hening yang menyapa, Dean hanya bisa memerhatikan kegiatan kedua orang tuanya. Ayah masih sibuk memesan makanan dan bertanya apa sekalian saja pria itu membeli bahan makanan instan seperti bumbu nasi goreng instan atau tidak, tapi mama menjawab tidak usah karena ia sendiri yang akan membelinya besok. Lalu keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Dean jengah, ia baru menyadari kalau hubungan orang tuanya tidak seharmonis yang selama ini ia pikir.
Untuk itu Dean memilih pergi dari sana. Pamit akan belajar saja daripada hanya diam melihat mereka sibuk dengan benda persegi panjang itu. Sambil diam-diam berpikir apa seperti ini yang Dian rasakan? Kenapa adiknya itu lebih memilih untuk bungkam. Demi mempertahankan keluarga mereka atau justru karena hal lain?
Dean baru sadar di saat seperti ini yang paling Dean butuhkan hanyalah Dian. Dan kini Dian tak ada di sini, tak ada yang menemaninya lagi. Haruskah Dean pergi saja? Menyusul Dian sekolah di sana? Dean masih tak tahu. Ia masih tidak mengetahui alasan sebenarnya dari Dian.
🌼🌼🌼
"Lo kenapa, sih? Kalau ada masalah larinya ke gue mulu. Temen-temen lo kan banyak, kenapa harus gue?" Dean ingin sekali menggeplak mulut pedas Ali. Dean juga sebenarnya tak mengerti mengapa akhir-akhir ini Ali selalu jadi pelariannya.
Seperti saat ini, pulang sekolah Dean tiba-tiba datang ke sekolah Ali yang memang jaraknya tidak begitu jauh dari sekolahnya dan memaksa cowok itu untuk menemaninya pergi ke cafe dekat sekolah.
"Ya, karena gue nggak percaya sama mereka."
"Kalau nggak percaya kenapa ditemenin, sih."
"Mulut lo tuh, pengen gue kasih sambel level 100. Biar tambah pedes. Kan biasanya ada Dian yang selalu nemenin gue, sekarang nggak ada. Karena lo sama Dian itu deket banget, ya gue anggap aja lo itu Dian. Lagian harusnya lo tuh bersyukur karena sekarang gue percayanya sama lo aja."
"Gue nggak bersyukur, tuh. Eh, bentar. Lo udah berani ngomongin Dian berarti lo udah maafin dia?"
Dean menyeruput es jeruknya pelan, sembari mengangguk. "Thank's, itu juga berkat lo. Kalau lo nggak ngomel-ngomel mulu, pikiran gue nggak bakal terbuka."
"Bagus kalau gitu. Gue kasihan banget, tiap ada kesempatan nelfon. Dia selalu nelfon gue habis nelfon bokap lo."
Dean mengangguk. Ia tahu itu, setiap selesai mengobrol, ayah akan menelfonnya dan mengatakan banyak hal tentang apa yang Dian bicarakan. Juga kadang menasehati Dean agar mau kembali bicara dengan Dian.
"Al, kalau gue salah ingetin lagi, ya. Cuma lo yang bisa buat gue sadar. Nggak tahu kenapa. Karena mungkin lo sama Dian sering sama-sama, jadi kadang gue liat ada diri Dian waktu bareng sama gue. Gue butuh orang buat nyadarin gue kalau gue salah. Lo mau kan?"
Ali diam saja. Ia tak mengerti dengan sikap kakak sahabatnya ini. Untuk itu Ali memajukan kursinya, lalu meletakkan punggung tangannya ke dahi Dean. Sambil terdiam kemudian bergumam, "Nggak panas, kok."
"Lo kira gue kenapa, heh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear D
Teen Fiction#TeenficProject2 Dean dan Dian selalu bersama sejak masih dalam kandungan hingga beranjak remaja. Bahkan selama sembilan tahun bersekolah mereka selalu berada di kelas yang sama dan tetap berada di bangku yang sama. Namun saat masa putih abu-abu aka...