Dean masih terdiam beberapa saat. Berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat. Sebenarnya foto itu terbilang foto biasa, tak ada foto menyeramkan atau menjurus pada hubungan yang lebih dari sekedar teman. Di sana hanya terdapat mama dan seorang pria memakai kacamata hitam.
Bisa saja staff yang bekerja dengan mama bukan? Iya, pasti jawabannya iya.
Dean mengangguk. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau foto itu bukan apa-apa. Tidak berarti apa-apa.
Tapi pertanyaannya. Jika memang foto itu bukan untuk apa-apa, mengapa si pengirim repot-repot mengirimkannya pada alamat ini? Untuk dirinya pula. Dean masih tak mengerti. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Namun Dean memilih untuk percaya pada mama. Dean yakin mama setia. Mama tidak mungkin berani mengkhianati ayah dan juga anak-anaknya. Meski tergolong wanita yang sibuk dan hampir menghabiskan 24 jam waktunya di luar rumah, mama tetap ibu yang baik.
"Dean di mana? Kok ruang tengah gelap begini?" Suara ayah tiba-tiba terdengar membuat Dean sesegera mungkin merapikan paket yang baru saja ia terima.
Dan tepat ketika Dean baru saja menutup kardusnya, ayah datang membuka pintu kamar. Ia berusaha sedemikian mungkin agar terlihat biasa saja. Seolah tak pernah terjadi apa-apa yang raut wajah bingungnya hilang seketika. Ya, semoga saja.
"Kamu ngapain? Ayah pulang, ruang tengah masih gelap. Kirain tidur."
Dean terkekeh kecil meski terdengar canggung. "Dean lupa, Yah. Bentar, Dean hidupin dulu."
"Udah Ayah hidupin barusan. Kamu mau makan? Kayaknya Mama pulang malam lagi, kalau kamu mau makan duluan biar Ayah pesankan. Atau mau makan di luar?"
Mendengar tawaran menggiurkan dari ayahnya, Dean seketika mengangguk. Sudah lama semenjak Dian pergi, ayah tak pernah mengajaknya keluar. Karena pekerjaan rumah telah dimudahkan oleh asisten rumah tangga yang baru saja mereka pekerjaan, mereka jadi lebih sering berada di rumah. Jarang sekali jajan di luar. Tapi sayang, mereka hanya bisa mempekerjakan ART mereka itu hanya sampai jam empat sore. Tapi tak apa, menurut Dean itu sudah sangat membantu.
"Ya udah. Kamu siap-siap dulu, gih. Ayah mandi dulu." Dean mengangguk lagi.
🍀🍀🍀
Selama 15 tahun Dean hidup. Ia hanya beberapa kali makan di amperan begini. Biasanya ketika Ayah atau Mama baru mendapatkan gaji, mereka sekeluarga pergi ke restoran kalangan menengah ke atas. Menikmati hasil jerih payah mereka selama ini. Tetapi bagi Dean, makan di amperan seperti ini juga merupakan kenikmatan.
Di mana makanan yang disajikan jauh lebih nikmat dibanding restoran-restoran mahal. Harganya murah dan meskipun tempatnya tak seapik restoran mahal, tetap saja makanan-makanan ini lebih bisa Dean nikmati dengan penuh perasaan senang.
Mama memang seorang presenter yang cukup dikenal. Ayah juga merupakan arsitek yang handal. Mereka masih mampu makan makanan mahal layaknya orang kaya lainnya. Namun bagi Dean, Dian dan Ayah. Makan di tempat ini luar biasa rasanya. Tak bisa disandingkan dengan resto mahal sekalipun.
Kini mereka berdua menikmati makanannya sembari mendengarkan riuh kendaraan lalu lalang. Seketika itu Dean terdiam memikirkan Dian. Apa makanannya enak di sana? Apa Dian tetap suka makan seperti di sini? Apa kemampuan masaknya jauh lebih meningkat sejak berada di sana? Jawabannya, Dean tidak tahu.
Tentu saja ia masih belum bisa sepenuhnya merelakan keputusan Dian. Tapi sedikit demi sedikit ia coba mengerti. Mungkin memang benar, ada alasan yang jauh lebih kuat mengapa Dian memilih untuk pergi.
"Makan kayak gini, Ayah jadi keinget Dian." Ayah selesai makan. Lalu menatap anak bungsunya dengan tatapan teduh yang ia punya.
"Biasanya dia paling semangat kalau pergi ke tempat kayak gini. Anak Ayah yang satu itu emang beda."
"Terus kalau beda, Dean sama gitu? Sama apa?" Dean menyahut sembari menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya.
"Sama kayak Mama. Dilihat-lihat sikap kalian sedikit mirip."
"Mirip bagian mananya?"
"Kalian sama-sama keras kepala. Sama-sama punya gengsi setinggi langit. Dan juga, boros. Uangnya dibeli baju mulu." Sejenak, Ayah terkekeh. Lalu terdiam cukup lama.
Sejak istrinya sibuk bekerja ke sana kemari menggapai mimpinya. Ayah tak bisa melarang. Ia memutuskan untuk membebaskan apa pun yang jadi pilihan mama. Meski itu harus mengorbankan waktunya bersama anak-anak. Tapi terkadang, ayah merasa keputusannya dulu salah. Istrinya bekerja dan anak-anak terlantar di rumah. Tumbuh besar tanpa mendapatkan banyak kasih sayang dari ibunya. Meski tumbuh sebagai anak yang cukup mandiri, ayah tetap merasa bersalah.
Namun jauh lebih bersalah jika saat itu ia tidak membiarkan mama. Anak-anaknya akan benar-benar tumbuh tanpa seorang ibu. Teringat jelas di benaknya kala itu. Saat Dean dan Dian masih berumur kurang dari tiga tahun. Saat di mana istrinya mengancam untuk pergi jika ayah tak kunjung mengijinkannya menggapai karir yang sempat terhenti.
"Ayah kenapa?" Melihat ayahnya terdiam cukup lama, Dean tentu merasa bingung.
"Ayah kangen banget sama Dian. Kita lama banget nggak ngumpul bareng. Adanya cuma kita berdua. Mama sibuk, Ayah juga. Maafin Ayah, ya, Nak."
Dean menggeleng. "Ayah nggak perlu minta maaf. Aku baik-baik aja tanpa Mama kok. Nggak pa-pa Mama kerja. Toh, uangnya juga buat kita kan. Apalagi Dian sekolahnya jauh banget. Pasti butuh biaya yang lebih besar."
Ayah mengangguk. Biaya sekolah Dian tak seberapa dibanding kasih sayang yang harusnya mereka sebagai orang tua beri. Dean telah tumbuh dewasa, begitupula Dian. Meski kadang Ayah masih merasa dua putrinya itu masihlah putri kecilnya. Yang perlu dibimbing, perlu dijaga dan dilindungi sebagaimana mereka masih kecil dulu.
"Kamu masih belum rela adik kamu sekolah di pesantren?" Dean diam saja. "Jangan begitu, De. Kamu tahu sendiri apa yang selama ini Dian cita-citakan. Apa yang dia inginkan. Kuliah di Cairo itu susahnya minta ampun. Dia di sana juga pasti berjuang, persaingannya juga ketat. Kamu di sini juga sama, kan?"
"Dian berani mengambil keputusan seperti itu di usia yang masih muda, itu berarti dia paham. Dia paham apa yang ingin dia capai dan dia punya tujuan. Hidup ini selalu tentang tujuan, Nak. Meraih tujuan, impian, cita-cita, semua tak lepas dari keikhlasan. Gimana ikhlasnya dia saat berjuang dari bawah, ikhlasnya dia mengorbankan sesuatu untuk hal yang dia inginkan. Kamu harus tau itu. Dia ikhlas dia mengorbankan waktunya bersama kamu demi cita-cita dia. Kamu juga harus begitu." Dean masih diam, mendengarkan dengan hati-hati.
"Relakan dia pergi, relakan dia menjalani apa yang dia mau, relakan semua perjuangan dan pengorbanannya. Dan saat itu pula kamu akan tahu, betapa dahsyatnya kekuatan ikhlas itu. Jadi yang perlu Dean lakukan sekarang, ikhlasin pengorbanan dia, berdo'a untuk Dian dan berjuang sama-sama. Kalian sama-sama sedang berjuang, kan? Inget apa kata Ayah dulu? Sekolah itu termasuk perjuangan. Gimana perjuangan kamu waktu harus belajar mati-matian saat ulangan, ujian. Berusaha sebaik mungkin saat ada tugas, PR. Itu semua perjuangan. Inget, ya?" Dean mengangguk.
"Iya, Yah. Dean coba."
🍀🍀🍀
211220
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear D
Teen Fiction#TeenficProject2 Dean dan Dian selalu bersama sejak masih dalam kandungan hingga beranjak remaja. Bahkan selama sembilan tahun bersekolah mereka selalu berada di kelas yang sama dan tetap berada di bangku yang sama. Namun saat masa putih abu-abu aka...