One

1.9K 246 5
                                    

Hati-hati typo (aku lagi malas ngecek ulang, pasti banyak typonya)

* * * * *

"Awa, lo mau ikut ngga?" Aku yang sedang memasukkan buku kedalam tas menghentikan gerakan tanganku. Menaikkan alis meminta wanita didepanku melanjutkan kalimatnya. Rere, salah satu teman kelasku dan Tiwi.

"Anak-anak mau pada ke puncak. Mau survei dulu si, kalo pastinya kan nanti satu kelas." Aku menoleh kesamping guna melihat respon Tiwi, satu-satunya teman dekatku dikelas. "Kamu ikut ngga Wi?" Tanyaku pada Tiwi yang sibuk memainkan ponselnya.

"Emoh ah malas." Aku mendelik sebal mendengar jawabannya.

"Liat nanti ya Re, gue kabarin kalo ikut survei. Kapan emang?"

"Sabtu ini Wa, yang ikut cuma genk sebalah." Aku hanya mengangguk-angguk. "Kabarin yaa, gue duluan Wa, Tiw." Aku mengangguk lagi.

"Ikut aja si Beb, emang kenapa kamu ngga mau ikut?" Tiwi sudah berdiri dari kursinya, menungguku yang kembali melanjutkan aktivitas memasukkan buku.

"Males aja, mending baca novel atau nonton drama dirumah." Balasnya cuek, aku cuma bisa mendengus malas.

Teman dekatku yang satu ini, satu-satunya sebenarnya (dan kedekatan kamipun baru berjalan selama 1 semester), memang tipe-tipe manusia yang selalu malas bergerak. Yang membuat kami bisa dekatpun sebenarnya remeh sekali, hanya karena kami ngga suka dengan orang yang sama, kami bisa klop seperti ini. Terlebih Afika Anestiwi, atau dipanggil Tiwi ini manusia yang malas bersosialisasi. Diotaknya hanya ada novel-wattpad-korea-korea dan korea. Untungnya Tiwi masuk kejajaran orang dengan kapasitan otak diatas rata-rata (bukan jenius, hanya saja Tiwi cepat tanggap dalam masalah pembelajaran. Beda lagi kalo soal asmara.), secuek apapun dia sama perkuliahan, otaknya selalu mampu menangkap pembelajaran yang orang lain ngga pahami. Kadang saat perkuliahan Tiwi juga menyumpalkan telinganya dengan earpod. Sungguh perilaku yang ngga patut untuk ditiru.

"Kamu pulang sama siapa?" Kami berjalan bersisian menuruni tangga, semester ini untungnya kami mendapatkan kelas di lantai 3. Ngga ada satupun matakuliah yang memakai ruang dilantai 5. Karena kampus ini ngga menyediakan lift. Hanya gedung 7 yang memiliki lift.

"Kayanya Grab. Kamu naik apa? Dijemput Azka apa gimana?" Aku hanya mengangkat bahuku acuh. "Aku ngeblok dia." Tiwi malah tertawa saat mendengar kalimatku.

"Udah ketebak, kitakan 11-12. Kalo aku ngapus nomornya, kamu milih ngeblock semua akses." Ledeknya. Ya kami memang hampir sama menghadapi pasangan, sepertinya hampir semua perempuan seperti itu.

"Eh nih pacarmu dm aku. Awa dimana ya Wi?" Tiwi menyodorkan ponselnya kedepan wajahku, persis didepan wajahku. Membuatku berdekat kesal, karena yakin cewek satu ini sedang meledekku.

"Biarin aja. Kamu ada kontak line Lil kan? Chat-tin deh tolong, hpku mati." Pintaku. Aku mengaduh sakit karena mendapat tepukan kencang dilenganku.

"Kebiasaan banget si Wa! Hp tuh jangan sampe mati! Kalo kamu kenapa-kenapa atau orang rumah ngabarin gimana? Kebiasaan banget si. Kamu ngga bawa powerbank?" Aku hanya menyengir tanpa dosa, mengusap-usap lenganku yang masih terasa sakit. Tiwi ini tenaganya berlebih sekali, mungkin karena dulu dia calon atlet taekwondo yang gagal kali ya?

"Aku bawa pb ko, nanti aku charger." Jawabku.

"Terus pulang naik apa?"

"Nebeng Jaja paling. Aku nunggu telunjuk aja." Tiwi melihat ragu kearahku. "Udah sana pulang! Biasa ko aku sendiri." Tiwi menyebikan bibirnya.

Tiwi ini memang mahasiswa kupu-kupu, kalo ngga ada keperluan lain dia pasti langsung pulang setiap selesai kuliah, beda lagi kalo dia pengen makan sesuatu di telunjuk, pasti pulangnya mampir dulu. Orang tua Tiwi tipe-tipe yang ngga membebaskan Tiwi pergi kemanapun, pulang ngaret 1 jam dari jam pulang kampus aja, Ibu atau Kakaknya langsung membombardir Tiwi dengan panggilan dan pesan.

end | Point of ViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang