Thirteen

1.5K 216 6
                                    

Hati-hati typo

* * * * *

Hari senin, jadwal kuliahku dimulai pukul 10 pagi sampai 3 sore. Aku sudah sampai beberapa menit lalu, sekarang sedang duduk berselonjoran didepan kelas yang pintunya masih tertutup rapat. Karena jarum panjang jam memang masih mengarah diangka 8. Sengaja sampai lebih dulu, karena dosenku untuk matakuliah jam 10 lumayan rewel. Ngga mentolelir keterlambatan sedetikpun. Apalagi beliau tahu bahwa ini kelas pertama bukan sambungan dari jam pagi.

Sedang duduk bersandar di tembok, dering ponsel yang memang belum kugetarkan berbunyi lumayan nyaring. Kulihat layar dan nama Azka terpampang disana. Iya aku memang sudah membuka blokiran semua nomor dan sosial medianya kemarin. Setelah pulang dari rumahnya, aku mengobrol dengan Lil mengenai apa yang terjadi. Cukup lama aku mengobrol via telepon dengannya, sampai jam 3 pagi baru kami selesai berbicara. Dan hampir 100% apa yang diucapkan Lil sama dengan Tiwi.

Ku pilih opsi jawab dan suara berisik menyambut telingaku. Sepertinya kelas pagi Azka juga sudah selesai, dirinya memang menberitahuku pagi tadi bahwa ia akan datang mengikuti perkuliahan hari ini. Dan ya lagi, aku akhirnya membicarakan tentang kegelisahan Mamanya dengan Azka saat dia mengantarku pulang dua hari lalu. Tepat seperti apa yang ku perkirakan, harusnya Mamah ngomong aja ke aku, kenapa harus nyuruh kamu adalah jawaban Azka saat aku selesai menceritakan hasil obrolanku dengan Mamanya. Karena memang senakal apapun, Azka tetap anak Mama. Sebenarnya banyak perilaku Azka yang menunjukkan seberapa cinta dan sayangnya ia pada sang Mama. Mungkin karena keduanya ngga terlalu memperhatikan, karena itu keduanya malah jadi canggung dan serba salah.

"Aku baru sampe.." jawabku karena Azka bertanya keberadaanku saat ini.
"Iya tau, kamu di lab sampe jam 2." Aku memang tau semua jadwal kuliahnya, dan begitu juga sebaliknya.
"Iya oke.." aku menurunkan ponselku dari telinga, memandangi layarnya yang kini gelap.

Aku ngga berpacaran kembali dengan Azka, maksudku adalah aku belum memberikan jawaban apapun. Aku hanya ingin membiarkannya seperti ini. Azka bilang, dia hanya milikku. Dan aku ingin melihat sampai mana perubahannya saat ini, aku ngga ingin berharap lebih lagi. Untuk sekarang, aku ingin membiarkan semua ini mengalir, aku ngga mau lagi memaksa karena aku tau nantinya aku yang akan merasakan sakit lagi kalau ternyata hasilnya ngga sesuai ekspetasiku. Juga, aku teringat apa yang dikatakan Lil, orang ngga akan berubah mau sekeras apapun dukungan atau tekanan dari orang sekitarnya kalau bukan muncul dari keinginannya sendiri. Kalau memang Azka benar mau berubah, aku akan melihat perubahan positifnya seiring berjalannya waktu.

"Bengong aja." Aku mendongak dan melihat Tiwi sedang mengatur ulang nafasnya. "Perasaan cuma 3 lantai, tapi ko berasa capek banget ya?" Gerutunya lalu ikut duduk berselonjor disebelahku.

"Kamu males olahraga si." Ledekku.

"Kamu mau aku cariin kaca ngga?" Aku terkekeh mendengarnya. Satu lagi kesamaan kami, malas berolahraga.

"Pak Pras ngga masuk nanti." Aku menoleh cepat mendengar informasi yang di sampaikan Tiwi.

Pak Pras ini dosen lainnya yang rewel, dan beliau adalah dosen untuk mata kuliahku yanga kedua nanti.

"Pak Pras whatsapp aku tadi." Tiwi ini salah satu anak kesayangan Pak Pras selain Ahmad. Karena itu kebanyakan jika Pak Pras berhalangan hadir, orang yang pertama tau ialah Tiwi. "Nanti ke telunjuk dulu yu Wa. Pengen nasi goreng." Aku mengangguk mengiyakan, lumayan juga ada teman yang menemaniku menunggu Azka.

"Eh iya! Gimana sama Jaja?" Aku menekuk kakiku dan membuatnya menjadi bersila, bergeser guna memudahkanku memperhatikan wajah Tiwi.

"Gimana apanya? Biasa aja." Aku menyipit menatapnya. "Aku ngga berani bilang apa-apa juga si. Akukan juga baru kenal hmm 1 semester sama dia, kamu ngertikan maksudku apa?" Kepalaku secara otomatis menganguk karena mengetahui apa yang dimaksud oleh Tiwi.

end | Point of ViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang