Liburan ini membuatku deperesi. Waktu yang lebih, terbuang sia-sia karena kecewa.. Aku benar-benar telah dibuat kecewa oleh diriku sendiri.
“Sudah, kamu sudah berusaha sebisamu,” wanita itu mengelus punggungku pelan.
Aku diam dan semakin dibuat tertekan. Kenapa Ibuku begitu baik dan ikhlas memiliki anak yang seperti ini? atau memang dia telah pasrah? Dia terlalu baik.
“Masih belum menyentuh sedikitpun makananmu? Jangan jadikan suatu begitu rumit. Kalau hanya diam dan berhenti disatu tempat, kamu hanya akan tertinggal dari mereka. Bukankah itu lebih buruk?” ungkap wanita separuh baya itu.
Benar apa yang dikatakan Ibu. Tapi itu malah membuatku semakin berfikir keras lagi. Kenapa aku begitu sedepresi ini? hanya karena nilai UAS yang tak sesuai dengan usaha dan tak sejalan harapanku.
“Kalau sudah, bawa turun kembali peralatan makannya. Sudahlah… jangan dipikirkan lagi,” dia mengelus kepalaku layaknya anak ingusan yang tak mengaku salah.
Suara kaki menuruni anak tangga terakhir, menuju dapur. Cukup terdengar air kran, gelas, dan piring itu. Jelas Ibu yang melakukannya.
“Arrghhh….” Aku lalu membenamkan kepalaku dalam perut ‘Mocca’, monyet tampanku yang berbulu emas dengan pita nilanya.
DUGH
Sontak aku kaget. Lalu aku sadar itu hanyalah jendela kamarku yang terbuka oleh angin sore. Awan mendungpun turut mendukungnya.
“Benar-benar peran pendukung yang hebat. Apa yang salah dengan diriku?”
Dingin yang menyelimuti kulit lengan membuat buluku bergidik, “salahkan saja kaos pendek ini” keluhku. Kuputuskan untuk menutup jendela.Bukan mengganti kaos kesayanganku, meski aku menyalahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Please!!!
Teen FictionCerita persahabatan, petualangan, dan cinta Al. Gadis kelahiran jawa keturunan sulawesi ini begitu antusias dengan prestasi akademik. Kekecewaan membuat orang tuanya pun mengalah mengikutkan Al dalam bimbel dua kali sepekan itu. Bertemu sahabat...