"Gue benci lo, Kalingga!"
"Lo pembunuh! Lo yang bikin Papa meninggal!"
"Balikin Papa lagi, Ngga!"
"Pergi lo dari kehidupan gue. Pergi!"
Jeder
Suara petir terdengar menggelegar begitu keras. Aku yang tertidur di dalam ruang kerjaku pun akhirnya terbangun. Selain membangunkanku dari keterlelapanku, nyatanya suara petir tersebuut juga berhasil menydarakanku dari sebuah mimpi buruk yang kerap singgah di sela - sela waktu tidur sejak sepuluh tahun lalu. Tepatnya, setelah aku melukainya. Membuatnya kehilangan seseorang yang begitu berarti di dalam kehidupannya.
Gadis itu adalah istriku. Gadis yang aku nikahi tepat sebelum ayahnya pergi untuk selama - lamaya. Seorang istri yang bahkan tidak megetahui tentang pernikahan kami, bahkan hingga detik ini.
Aku tersenyum kecut. Membayangkan dirinya tahu mengenai pernikahan kami sama sekali belum terlintas di kepalaku. Bukan berarti aku tidak mau dirinya tahu mengenai pernikahan kami yang bisa dikatakan sebagai pernikahan gantung. Hanya saja, aku tak sanggup mendapatkan kebenciannya lagi terhadap diriku, jika dirinya tahu tentang pernikahan ini. Mendapatkan kebenciannya sepuluh tahun belakangan ini, ditambah kepergiannya ke Belanda yang membuatku tak mampu lagi melihat raganya sudah sangat membuatku sakit. Apalagi jika kebenciannya terhadapku bertambah karena mengetahui pernikahan ini? Sungguh, aku tak sanggup jika harus menerima kebenciannya terhadapku yang lebih besar.
Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menyugar rambutku pelan. Tak lama kemudian, ponsel yang sengaja aku letakkan di atas meja kerjaku bergetar. Sontak aku pun meraihnya dan menemukan banyak pesan dari Bunda.
Bunda
Belom pulang, Ngga? Mau lembur sampai jam berapa, Nak?
Tanpa menunggu lama, aku segera mengetikkan pesan balasan untuk wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun lalu. Melihat banyak pesan yang beliau kirimkan padaku, sudah pasti Bunda begitu khawatir karena aku masih juga belum pulang padahal waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Me
Sebentar lagi ya, Bun. Ini sudah mau pulang kok.
Setelah mengirimkan pesan tersebut, aku kembali meletakkan ponselku di atas meja. Sebenarnya, pekerjaanku sudah selesai sejak tadi. Namun rasa lelah justru membuatku tanpa sadar tertidur di meja kerja dari pukul delapan malam dan baru terbangun ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh.
Kembali ku tengok ponselku yang kembali bergetar bersamaan dengan sinar dari layar yang berkerlap - kelip, menandakan sebuah pesan baru saja kembali masuk ke dalam ponselku. Aku sudha tahu, pasti pesan tersebut berasal dari Bunda yang membalas pesanku sebelumnya.
Tak langsung berniat membalas pesan yang dikirimkan oleh Bunda, aku justru tersenyum kecut sambil memandang nanar benda persegi panjang yang akhirnya berpindah ke dalam genggamanku.
"Coba kamu juga nunggui aku di rumah kayak Bunda ya?" ujarkku sambil terus menatap nanar ponsel milikku. "Rasanya pasti akan jauh lebih indah ya?"
Setelah mengatakan hal itu, aku kemudian terkekeh kecil. Menjadi hal yang lucu 'kan kala aku membayangkan dirinya yang membenciku akan memberikan pesan - pesan penuh perhatian selayaknya istri? Ya, walaupun faktanya dia memang adalah istriku.
"Kamu tahu enggak sih aku selalu iri lihat Fagha dan Aslan yang selalu dapet perhatian dari istri - istri mereka," keluhku sambil terkekeh. Kali ini layar ponselku tak lagi menunjukkan kotak pesan, melainkan foto istriku yang senyumnya tak lagi sama sejak sepuluh tahun lalu. "Belum lagi kalau mereka sengaja peluk - peluk Mikha dan Fay dihadapaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kawin Gantung
RomanceKAWIN GANTUNG - menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai perkawinan yang sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh tinggal di dalam rumah yang sama atau dapat pula diartikan sebagai perkawinan yang belum diresmikan pen...