BAB 23

24 2 0
                                    

Sudut Pandang ALEXANDER


Kutekan bel pintu di depanku lalu diam menunggu. Saat ini aku berada di depan pintu apartemen Chris, sambil memegang erat sepotong kue yang mungkin bisa dijadikan pemanis saat kami bicara nanti.

Terus kupandangi pintu di depanku ini dengan penuh antisipasi dan kekhawatiran. Gimana kalau dia nggak mau buka'in pintu? Gimana kalau dia nggak mau aku ada disini? Gimana kalau dia....

"Alex?"

Suara Chris yang cukup kukenali menggema dan membuyarkan lamunanku. Menatapnya yang sedang berdiri di ambang pintu, dia juga menatap lurus kearahku dengan ekspresi antara terkejut dan bingung.

Rasanya diriku bergetar saat mengamati kembali dirinya, dengan rambutnya yang hitam, bibirnya yang tipis dan matanya yang hijau. Menelan ludah, saat menyadari bahwa selama ini aku terlalu marah sehingga tidak sadar jika sedang berada dalam pengasingan diri.

"Kita harus bicara." akhirnya aku mengeluarkan suara, sambil membenarkan peganganku pada bungkusan kue ini.

"Apa 'bicara' yang kamu maksud ini melibatkan proses mutilasi alat kelamin? Kalau iya, baiknya kita bicara diluar aja..." tanyanya yang membuatku tersenyum. Sepertinya dia sadar kalau aku sedang nggak mengkonsumsi obatku lagi. Bagaimana dia bisa tahu? Aku kan sudah menyembunyikannya dengan baik.....ya, kayaknya sih.

"Enggak, cuma ngomong biasa.....sambil makan kue...." lanjutku, sambil menyerahkan bungkusan kue yang kubawa tadi. Dia tersenyum lemah, lalu mengajakku masuk ke dalam apartemennya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku saat melihat sofanya, yang menurutnya itu adalah 'sofa' kami.

Berjalan mendekat ke sofa tersebut lalu duduk agak ke pinggir, berharap agar Chris duduk di sisi sebelahku. Tapi hatiku sungguh kecewa karena dia memilih duduk di kursi yang bersebrangan dengan 'sofa' kami dan mengamatiku sesaat lalu mulai menikmati kue yang kubawa tadi.

"Kue tart....." pikirku lalu tertawa kecil. Chris melempar pandangan kearahku, kaget mendengar tawaku barusan, wajahnya pun mulai merona. Dia lalu menyeka wajahnya dengan sapu tangan yang selalu dibawanya kemana-mana. Kue tart adalah satu-satunya makanan yang dikonsumsi Chris tanpa mempedulikan tata cara makan yang benar.

"Chris." panggilku sambil memandangnya lembut. Melihatnya sekarang terasa berbeda, terasa ada ikatan emosional lebih dalam dengannya.

"Aku cinta kamu." gumamku saat perasaan rentan dalam hati mulai menguasaiku. Chris menatapku dengan aneh, seakan dia berusaha menerjemahkan apa yang kukatakan barusan.

"Maksudku, aku cinta kamu nggak seperti aku cinta dengan gayamu......aku cinta kamu seperti cinta sesungguhnya.....sialan, kok kayaknya omonganku kacau banget sih...." erangku, sambil terus berpikir untuk memberikan penjelasan yang baik untuk pengakuanku ini.

Namun nampaknya, aku nggak perlu memberikan penjelasan apapun lagi karena Chris menghampiriku segera, sebelum akhirnya berlutut di samping sofa lalu memegang wajahku dengan kedua tangannya, dan menarik wajahku dalam sebuah ciuman.

"Akhirnya." erangnya, saat menciumi samping leherku, lalu menghujaninya dengan kecupan dan jilatan kecil. Merasa sedikit merinding, kupegang bahunya saat dia melanjutkan menghujaniku dengan ciuman.....dengan cintanya.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanyaku setelah berhasil menghentikan aksinya, badanku masih sedikit merinding merasakan ciuman-ciumannya tadi. Rasanya susah berkonsentrasi karena Chris terus menciumi seluruh bagian tubuhku. Dia mencium leherku, pipiku, pelipisku dan saat ini sedang mencium lekukan tulang selangkaku.

"Selama ini aku selalu mengharapkan kamu mengatakannya." bisiknya diatas permukaan kulitku, lalu dia mulai menjilati setiap lekukan tulang selangkaku. Kujulurkan kedua tangan ke rambutnya yang tebal, menyisir dan membelainya dengan lembut seperti yang selama ini dia suka.

Awas Si Kutu Buku (Terjemahan Nerd Alert)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang