BAB 19

23 3 0
                                    

Sudut Pandang TRAVIS


"Travis." aku tersentak kaget dan berdiri mematung saat terdengar seseorang memanggil namaku ketika ku berjalan ke dapur untuk sarapan.

"Ya ampun, bikin kaget aja sih." erangku, mulai santai saat menyadari bahwa yang memanggilku tadi adalah Ibuku sendiri. Ibu masih mengenakan pakaian kerjanya dan sepertinya dia siap-siap untuk berangkat kerja. Rambut pirangnya hampir mirip dengan warna rambutku, dipotong sebahu membentuk gaya bob yang memberikan kesan layaknya wanita profesional sesuai dengan yang diinginkannya.

"Ibu ingin bicara denganmu." katanya sambil mencelupkan kantong teh ke gelas mug yang terisi penuh dengan air panas. Setelah selesai mengucapkan keinginannya, dia duduk di salah satu kursi makan.

".....tentang apa?" tanyaku, sambil berjalan masuk ke dapur dan menuju kulkas. Kukeluarkan beberapa bahan untuk membuat roti isi, karena aku sedang tidak ingin mencicipi hasil uji coba masakan oatmeal yang dibuat Jane kali ini.

"Ada apa sebenarnya dengan semua hal tentang homo-homo ini?" tanyanya. Badanku mematung lagi sambil masih menggenggam ikan teri dan sebungkus keju. Apa? Apakah tadi dia menanyakan tentang......Apa?!

"Sky, Sam dan Jasper berlomba-lomba ngasih informasi tentang semuanya....Sementara Jonah---Yah---Jonah cuma mengirimiku pesan singkat dengan huruf kapital bahwa anak laki-lakiku adalah bencong." kata Ibuku sambil mengaduk tehnya dengan sendok.

"Begini, aku...."

"Apa aku harus bikin semacam perayaan atau parade gitu?" tanyanya, memotong penjelasanku. Dahiku berkerut, mencoba memahami apa yang barusan diucapkannya.

"Tunggu dulu, jadi Ibu nggak apa-apa dengan keadaanku sekarang?" tanyaku sambil meletakkan ikan teri dan bungkusan keju tadi di meja dapur.

"Ya tentu saja, memang kamu pikir Ibu ini sekolot apa?" tanyanya tidak terima. Iya sih, memang aku sempat berpikir bahwa pemikiran Ibuku pasti sangat kolot dan sangat, sangat dangkal. Tapi bukannya merespon balik, aku justru masih terdiam seperti setumpuk kartu yang menunggu untuk ditiup.

"Balik ke pertanyaan Ibu yang tadi. Apakah perlu mengadakan perayaan atau parade? Gimana dengan warna dinding kamarmu? Apa perlu dicat ulang jadi warna merah muda, atau ungu muda mungkin? Terus, apa kamu bakalan keluar dari tim sepak bolamu?"

"Jangan!" teriakku sekeras-kerasnya. Dia terdiam sesaat, masih mengaduk tehnya sambil memandangku.

"Ibu nggak perlu ngelakuin itu semua, oke?" kataku, wajahku rasanya mulai memanas.

"Kamu yakin? Yang kudengar beberapa remaja homo itu sengaja menutupi kepribadiannya dengan berprilaku macho jadi biar dianggap tidak cenderung........entahlah, dianggap ataupun menganggap mereka sendiri tidak homo sama sekali. Jadi apapun yang sampai saat ini sering kamu lakukan memang untuk menutupi kenyataan tentang dirimu sebenarnya? Apapun itu kamu harus ngomong sama Ibu." katanya, lalu menyeruput teh. Kupandangi Ibuku dengan tatapan kosong, tidak yakin aku harus ngomong apa lagi.

Melihat jam tangan, Ibu menghela napas. "Aku akan terlambat nih."

"Jadi Travis, pokoknya kamu bisa ngomong tentang apa aja ke Ibu." katanya sambil beranjak.

"Aku bukannya menutupi kenyataan, Bu. Aku masih Travis yang sama." kataku sambil mengeluarkan sepotong roti dari rak atas.

"Ibu harap juga begitu. Hal terakhir yang Ibu inginkan adalah anak Ibu hidup dalam kebohongan." katanya, diakhiri dengan menyeruput habis semua sisa teh sebelum meletakkan gelasnya yang kotor ke wastafel dapur.


Kuperhatikan langkahnya keluar dari dapur lalu berhenti sebentar di ambang pintu saat pengasuh Catherine masuk ke dapur.

Awas Si Kutu Buku (Terjemahan Nerd Alert)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang