14. Night At The Beach

26 4 0
                                    

- malam di pantai -

Senja telah berlalu. Bulan telah menggantikan peran matahari dalam menyinari bumi. Bintang-bintang mulai menampakkan dirinya.

Mereka duduk berdua di antara hamparan pasir.

Tak terdengar lagi isak tangis dari Alana. Cuma terdengar suara ombak yang berdesir dan angin malam yang menyapu wajah mereka.

Gavin bangkit berdiri, melepaskan jaketnya dan kemudian memakaikannya pada Alana.

"Kamu?" tanya Alana memecah kesunyian.

"Saya gapapa" jawab Gavin.

Setelah itu, tak terdengar suara apapun lagi dari mereka berdua. Saat ini, Alana sedang tak ingin berdebat hanya karena perkara jaket saja.

"... Papa aku koma" ujar Alana pada akhirnya.

Gavin sedikit terkejut, namun ia dengan cepat menenangkan dirinya. Gavin tak mengeluarkan suara apapun. Ia sadar kalau Alana sedang ingin bercerita.

"12 tahun yang lalu dia kecelakaan" lanjut Alana dengan suara parau.

Setelah itu, Alana menceritakan masa lalu kelamnya yang tak pernah diketahui banyak orang. Mulai dari papanya yang kecelakaan, mamanya yang mulai menumpuk hutang demi membayar biaya perawatan papanya, hingga debt collector yang terus-menerus datang ke rumahnya untuk menagih hutang yang tak kunjung terbayarkan.

Gavin memperhatikan setiap kalimat dalam cerita Alana dengan seksama. Pantas saja waktu itu Alana menangis di bianglala. Ternyata ia teringat penyebab dari semua penderitaannya sekarang.

"Tadi mereka dateng lagi" ucap Alana.

"Aku ga suka cara mereka yang perlakuin mama dengan kasar. Jadi aku coba ngelawan"

"Tapi ternyata mama malah bentak aku dan nyuruh aku diem. Mama gapernah berkutik di hadapan para debt collector itu"

"Mama nampar aku... setelah aku utarain semua keputusasaan aku. Aku bilang kalo mama uda ga kayak dulu lagi semenjak papa koma. Aku nyesel uda neriakin mama, tapi tamparan dia bahkan sekarang masih ngebekas di hati aku"

Tak tertahan, sebulir air mata jatuh lagi dari matanya.

Hingga kemudian, tangisan Alana pecah lagi.

Ia tak tahu harus bagaimana. Alana menyesali tindakannya yang sudah meneriakan mamanya, namun ia benci saat mamanya terus-menerus diancam oleh para penagih hutang itu.

"Bukannya kita gamau bayar. Tapi mereka terus menaikkan bunganya sesaat sebelum kita ingin menyicil bayar. Orang kecil kayak kita gabisa apa-apa di hadapan mereka"

"Makin lama utang mama dan aku makin numpuk. Yang tadinya cuma 50 juta, sekarang jadi 200 juta"

"Setiap kali aku mau bantu bayar, mama selalu kekeh sama pendirian dia. Dia selalu nolak, gapernah nerima sama sekali"

"Jadi, aku tabung semua uang yang harusnya aku kasih ke mama. Jaga-jaga supaya bisa dipake pas lagi keadaan terdesak"

"Aku sedih. Semua jadi keliatan salah semenjak papa koma. Aku gatau harus gimana"

Alana melanjutkan cerita di sela-sela tangisannya.

Seluruh badannya gemetar. Bukan karena kedinginan, ia hanya takut menghadapi masalah yang menghampirinya.

Matanya sembab, pipinya bengkak, tenggorokannya kering.
Wajar saja, Alana menangis berjam-jam.

Gavin tak menyangka, entah sudah berapa banyak kesulitan yang Alana lalui sejak 12 tahun lalu.

Namun bahkan dengan segala penderitaannya pun, Alana masih tetap tersenyum riang dan tertawa di hadapan orang lain.

Memang, mungkin tak akan ada yang menyangkanya.

Ada 1 hal yang bisa kita sadari disini, bahwa...

"Mungkin orang yang paling banyak tertawa adalah
orang yang paling banyak menyimpan derita dan kesakitan di hatinya"


~

Alana sudah dapat menenangkan diri sepenuhnya. Namun, Gavin masih senantiasa tak melepaskan Alana dari dekapannya.

Memang, sejak tangis Alana pecah kembali, Gavin langsung mendekapnya. Menyalurkan sedikit kehangatan dan rasa aman pada Alana.

Ia memang tak bicara apa-apa saat Alana bercerita. Namun hatinya seakan ikut merasakan penderitaan Alana selama ini.

Sejujurnya, Gavin bukan tipe yang bisa memberikan solusi akan setiap masalah. Bahkan, termasuk baru baginya dalam mendengarkan cerita orang lain.

Gavin lebih memilih untuk langsung memperlihatkan tindakannya, dibandingkan hanya menenangkan Alana dengan sebatas kata-kata.

Menurut Gavin, bukan itu yang Alana butuhkan. Ia hanya membutuhkan sosok orang yang selalu berada di sisinya. Ia tak selalu membutuhkan segala saran ataupun solusi dibalik masalahnya.

Karena Alana tahu dengan jelas, semua akan selesai jika semua hutangnya terbayarkan dan papanya sadar.

Namun yang ada di pikiran Alana saat ini adalah, bagaimana cara ia dan mamanya melunasi hutang senilai 200 juta dalam waktu satu minggu?

Mamanya bahkan tak memiliki setengah nilainya, sementara Alana hanya memiliki 20 juta di dalam tabungannya.

Meski tangisnya telah reda, pikiran dan hatinya masih dipenuhi kekhawatiran.

Alana benci mengakuinya, namun Gavin sudah melihat sisi terlemah dalam hidupnya.

Bagaimanapun, Alana bersyukur ada Gavin yang menemaninya di saat ia membutuhkan seseorang di sisinya.

~

Akal sehatnya kembali. Alana baru sadar dirinya masih ada di dalam dekapan Gavin. Jantungnya berdetak dengan kencang. Ia bisa mencium aroma Gavin dengan sangat jelas dari dekat.

Sungguh, detak jantung Gavin terasa menenangkan. Baru kali ini Alana menemukan hal selain senja yang dapat menenangkannya.

Hingga kemudian, Alana terlelap dalam pelukan Gavin

.

3 jam berlalu, jam menunjukkan pukul 10 malam. Gavin tak berkutik dari tempatnya. Ia takut Alana akan terbangun.

Niat awal Gavin memeluk Alana hanya untuk menenangkannya. Namun saat tersadar akan posisi mereka setelah Alana tertidur, detak jantung Gavin jadi ikut terpacu.

Dari tadi, ia takut Alana akan mendengarkan detak jantungnya yang tak karuan.

Hingga kemudian...

Alana terbangun dari tidurnya. Wajahnya sudah jauh lebih damai dibandingkan dengan yang sebelumnya.

ALANA'S POV
Sungguh, kali ini aku tidur dengan sangat nyenyak. Perasaanku juga jadi jauh lebih baik.

Eh? Apa nih? Kok tempat tidur aku harum? Kayaknya aku gapake pewangi apa-apa deh.

HACHIUUUU

Kok ranjang aku bisa bersin?
Eh? Bersin? Harum?

ASTAGA! Aku baru sadar kalo dari tadi aku ketiduran di pelukan Gavin.

Kesadaranku terkumpul sepenuhnya setelah mendengar suara bersin Gavin.

Cepat-cepat ku jauhkan badanku dari pelukan Gavin. Ku lihat wajahnya, ia sedikit terheran-heran dengan tingkah laku ku,

"Eh? Ah--? Kok kamu masih disini? Kok kita masih di pantai?!" tanyaku dengan kaget.

"Kita memang belum pulang..." jawabnya.

"HAH? Jadi dari tadi kamu nemenin aku di pantai?"

"Hm..."

"ADUHH! Bukannya bangunin! Ntar kalo kamu masuk angin gara-gara aku gimana?! Kamu tu gapake jaket apa-apa Gavin! Cuma modal kaos polos gitu doang! Kamu kan bisa ambil jaket kamu dari aku!" ujarku panjang lebar.

"... dan ngebarinin kamu yang masuk angin gitu? Udahlah, saya juga ga selemah itu kok" ucapnya sembari bangkit berdiri.

Sungguh! Aku hanya bisa terdiam, tak habis pikir dengannya. Bisa-bisanya ia rela menemaniku berjam-jam di pantai.

"Ngapain? Ayo pulang!" Ajaknya

Ish! Perasaan baru tadi dia jadi hangat deh, kenapa sekarang nyebelin lagi sih?

Tapi ya... kemudian aku sadar,
Ini memang sudah waktunya pulang.

Terlintas dalam ingatanku tentang perlakuannya semalam, itu membuat hatiku menghangat kembali.

"Ih, Gavin! Tunggu! Demen banget sih ninggalin aku!" ujarku kemudian mengejarnya.
POV END

Gavin tersenyum mendengar teriakan Alana. Setidaknya, ia sudah kembali menjadi Alana yang rewel.

"Nih jaketnya!" kata Alana sembari menyodorkan jaket Gavin.

"Pake aja dulu" jawab Gavin.

"Ntar kalo kamu masuk angin gimana?!" kesal Alana.

"Gaakan, Alana. Udah ayo cepet naik!"

Sementara Alana, hanya bisa mendengus sambil memakai kembali jaket Gavin.

Untung saja mereka mampu tiba di depan asrama Alana sebelum pukul 11 malam. Karena jika mereka melewati batas waktu itu, Alana tak akan diberikan ijin masuk.

Setidaknya di sisa hari ini, dewi fortuna masih berpihak pada mereka.

"Bye Gavin! Sampai ketemu besok ya! Makasih juga buat hari ini!" pamit Alana tulus dengan senyuman manisnya.

Meski matanya masih sedikit sembab, senyuman Alana tetap manis seperti biasanya.

Tentu saja, Alana sudah mengembalikan jaket Gavin sebelum berpamitan.
Ia tak akan melupakan satu hari penuh kejadian memalukan saat itu.

Setelah berpamitan, Alana berlari masuk ke dalam gedung asramanya. Sementara Gavin melajukan motornya setelah memastikan Alana kembali dengan selamat.

Masing-masing dari mereka kembali dengan senyuman penuh arti,
Seakan telah menemukan sesosok orang yang berharga lagi dalam hidup mereka...
____________________

💬 Hai semua! Ga kerasa nih uda chapter 14. Padahal baru beberapa hari yang lalu aku revisi semua ceritanya dari awal. Maaf ya aku update nya malem-malem. Baru sempet soalnya!

Jangan lupa VOTE dan COMMENT ya! Ga bosen-bosennya aku ingetin kalo setiap VOMMENT dari kalian tuh bener-bener berharga buat aku!

See you guys in the next chapter! <3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You're My SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang