Malaikat Tanpa Sayap

16 2 0
                                    


Aku membuka mata perlahan. Silau, aku kembali menutup mataku. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada diriku. Aku membuka mataku lagi dan mengerjapkan mataku. Pandanganku langsung tertuju pada langit. Tunggu, ada yang salah. Aku mengingat kembali. Apakah kejadian barusan yang kuingat adalah mimpi? Aku sedang diikuti seseorang lalu berakhir dengan pertengkaran di area parkir. Aku merasa, rasa sakit diperutku itu nyata. Tapi, jika memang seperti itu seharusnya aku bangun di area parkir, atau dirumah sakit jika aku beruntung. Tapi kenapa yang kulihat harus langit? Ada dimana sebenarnya aku? Aku mencoba untuk duduk, dan sedikit terlonjak. Ada seseorang disampingku. Aku memandang sekitar, ini terlihat seperti atap gedung. Pria yang duduk di sampingku ini sedang meminum sesuatu dan memegang payung. Dia menatapku. Tampan, itulah kesan pertamaku.

"Kenapa harus terbangun disini?"

Aku memandang kesamping dan kebelakang, tapi tidak menemukan satu orang pun. Apa pria yang didepanku ini sedang berbicara denganku?

"Hei, kenapa harus terbangun disini? Kamu tau disini sangat panas?"

Iya, sangat panas, dan kamu hanya memayungi dirimu sendiri. Fikirku dalam hati.

"Maaf, kamu sedang berbicara denganku?"

Dia mengerutkan keningnya, lalu mendecak kesal. "Memang ada orang lain?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Seharusnya aku kan yang bertanya, kenapa aku bisa ada disini, harusnya kan..."

Aku memengang perutku yang tadinya terasa perih. Tapi tak ada apa-apa. Aku mendongak menatapnya.

Dia lalu berdiri dan membuang minumannya, menarik tanganku lalu mengajakku pergi.

"Hei kita mau kemana?"

"Ikuti saja"

Dia membuang payungnya lalu membuka sebuah pintu. Kami munuruni tangga lalu masuk ke sebuah lorong. Aku mencium bau obat-obatan. Lalu kami melewati beberapa orang yang memakai baju biru dan putih.

"Hei, ini rumah sakit? Sudah kuduga, aku tidak salah mengingat"

Pria itu hanya berdiam dan tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Kami lalu memasuki sebuah ruangan. Terlihat ada beberapa ranjang dalam ruangan. Ruangan ini penuh dengan pasien. Dia lalu berhenti dan melepaskan tanganku, berdiri di depan sebuah ranjang di ujung ruangan. Aku menatap siapa yang terbaring di ranjang tersebut. Mulutku ternganga seakan tak percaya. Lagi-lagi, aku mengira tengah bermimpi.

"Seharusnya kamu terbangun di sana." ujarnya sambil menunjuk aku yang sedang terbaring di sana.

Ya, aku yang tengah terbaring di sana, dan...

"Apakah aku sudah mati?" Tiba-tiba aku melontarkan pertanyaan menakutkan itu.

"Seandainya kamu harus mati, pekerjaanku akan lebih mudah. Tapi kamu belum saatnya mati dan kamu malah bangun jauh terpental dari tubuhmu. Merepotkan" Dia mendengus kesal.

Tubuhku bergetar, dan kakiku lemas. Aku ingin menopang tubuhku di ranjang pasien, tapi aku begitu takut mendekat. Aku lalu berpegangan dengan pria itu. Dia lalu menatapku sinis.

"Jangan sok drama. Kau menambah pekerjaanku yang sudah banyak."

Aku menatapnya lekat, berusaha kembali menguatkan kakiku untuk berdiri tegap.

"Pekerjaan? Sebenarnya kamu ini siapa?"

"Aku ini malaikat, dan kamu tak perlu tau pekerjaanku, aku diutus kesini untuk membuat kesepakatan denganmu."

Malaikat? Kesepakatan? Apa dia seorang penipu yang berusaha untuk membodohiku?

"Hei,apa kamu tidak percaya padaku?"

Aku kaget, mataku melebar, dia bisa menebak fikiranku. Aku lalu melihat ke arah punggungnya. Mencari sayap yang biasa dimiliki oleh malaikat.

"Hei, aku ini malaikat bukan bidadari. Apa yang ingin kamu temukan?"

Sekali lagi aku tercengang, mataku semakin melebar. Aku mundur selangkah menjauhinya.

"Beri aku waktu untuk mencerna ini semua. "

"Kau fikir aku punya banyak waktu?"

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Putuskan apakah kau ingin melakukan kesepakatan denganku."

"Kesepakatan apa itu?"

Dia tersenyum lalu menatapku dalam-dalam. Seolah ingin kembali membaca apa yang kufikirkan.

"Baiklah, dengarkan perkataanku baik-baik."

CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang