Suara dentuman pintu yang di banting dan teriakan memenuhi seluruh sudut rumah. Rinai membuka matanya dengan paksa, sesaat keributan di sebelah kamar nya semakin menjadi.
"Sialan" makinya seraya menghembuskan nafas kasar, sesaat setelah melirik jam di nakas. Ia baru pulang bekerja pukul tiga pagi. dan, oh Tuhan ini baru pukul empat pagi. Ia baru tertidur satu jam, tapi sudah harus memaksa matanya untuk terbuka lagi karena suara teriakan serta bunyi pecahan barang.
Ia bangkit berdiri, menggunakan sandal rumah dan melangkah menuju pintu kamar. Ia takkan bisa memejamkan matanya kembali jika sudah terbangun dengan cara paling manusiawi seperti ini. Melangkahkan kaki menuju dapur, ia hendak membuat kopi favoritnya. Secangkir kopi, sebatang rokok dan tontonan gratis pertengkaran ala drama-drama di televisi sepertinya tidak terlalu buruk untuk memulai hari.
"Kau pikir aku tak bisa tanpamu?! Aku bisa! Silahkan keluar dari rumahku sialan!, jangan tampakkan batang hidung mu di hadapanku!" Teriakan nyaring Lea menggema di seluruh sudut ruangan, Rinai menghela nafas sembari menyeduh kopi nya. Ia sudah terbiasa mendengar teriakan Lea memenuhi seluruh sudut telinganya.
Lea, partner serumahnya. Wanita dengan tubuh ramping dan tinggi semampai. Wajahnya cantik- teramat cantik menurut nya. Lea juga wanita yang sangat baik. Lea memungut nya saat ia tak memiliki tempat tinggal untuk bernaung dua tahun lalu. Lea, tanpa mengharapkan imbalan apapun menampung dirinya secara cuma-cuma. Satu rupiah pun Lea tak pernah menarik biaya untuk tinggal di rumah ini.
"Baik, jika itu yang kau mau aku akan pergi!. Kau, wanita miskin tak tau diri! Lihat saja, apa yang bisa kau lakukan tanpa uangku!" Teriakan tak kalah nyaring menyahuti ucapan Lea. Rinai tau, itu Rio- kekasih Lea. Pria yang Lea cintai dengan sepenuh hati dan begitu dalam. Rinai tak mengerti dengan dua manusia berbeda kelamin itu, mengaku saling mencintai, tapi malah menyakiti satu sama lain.
Ia tak pernah tau dan mengerti arti cinta. Ia tak pernah jatuh cinta. Membayangkan ia menangis dan hancur demi seorang pria sangat menakutkan. ia sampai bergidik ngeri saat membayangkan itu terjadi. Selama delapan belas tahun hidupnya, ia baik-baik saja. Semua masalah tak pernah menyangkut organ tubuh bernama 'hati'. Masalahnya hanya satu, yaitu 'uang'- dan orang tua egois yang tak memiliki akal dan pikiran.
Rinai melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Satu tangannya membawa cangkir kopi, dan di antara celah jari jemari nya terselip sebatang rokok dengan ujung berasap. Meletakkan kopi di meja, ia mendudukkan dirinya di kursi jati ruang tamu- tepat menghadap pintu kamarnya dan pintu kamar Lea. Rumah ini sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar berukuran kecil bersebalahan yang ia dan Lea tempati- yang pintu nya langsung menghadap kursi jati di ruang tamu, serta sekat pemisah antara ruang tamu dan dapur, serta kamar mandi yang merangkap toilet berukuran kecil di sudut dapur. Hanya ia dan Lea yang menempati rumah sederhana ini. Menurut Lea, orang tua nya sudah meninggal dunia sejak dua tahun lalu- tepat sehari sebelum ia bertemu Lea.
Rinai bersyukur Lea mau menampungnya. Jika tidak, ia tak akan membayangkan seberapa buruk kehidupannya. Sejak usia dua belas tahun ia sudah meninggalkan rumah, jauh dari orang tua dan sanak saudara. Ia bekerja serabutan. Sebagai pencuci piring di rumah-rumah makan, sebagai pramusaji cafe kecil, sebagai pengamen, dan terakhir sebagai pencopet, sebelum Lea menampung nya dan membantunya mendapatkan dua pekerjaan layak yang membuat ia mampu memenuhi tuntutan ekonomi orang tua nya di kampung halaman nya.
Rinai ingat saat kali pertama ia bertemu Lea, bukan pertemuan tidak sengaja yang manis dan berujung bersahabat baik. Ia bertemu Lea dengan kesan tersangka dan korban- ia menjambret Lea. Rinai tersenyum tipis mengingat kejadian saat itu. Lea terjatuh dari sepeda motor yang di kendarainya saat ia menarik paksa tas Lea. Beberapa orang yang melintas mengejarnya saat menyaksikan kejadian itu. Rinai terkepung di pelarian, ia salah berbelok hingga memasuki gang buntu. Ia ingin putar balik, sayangnya kesialan malah menghampiri, Ia terusngkur saat salah satu kaki nya menginjak kaleng minuman. Di depan nya beberapa orang sudah siap menjatuhkan bogeman, sebelum suara teriakan menyakitkan telinga membuat mereka semua berhenti dengan kepalan menggantung di udara.