6 November 2016
Musim dingin perlahan datang.
Udaranya lihai menelisik lewat daun-daun jendela. Mulai gesit menusuki badan hingga ke tulang.Jika saat ini istri-istri lain mengikatkan dasi ataupun syal di leher suami mereka, pagi itu (Name) melilitkan handuk tebal di leher Shin. Handuk tebal multifungsi. Sebagai penghangat. Juga penyeka keringat.
Delapan minggu sudah usia kandungannya. Selain cepat lelah dan mual, akhir-akhir ini indera penciuman (name) sangat sensitif. Sangat sengsara apalagi jika ke kampus. Pasalnya banyak sekali orang lalu lalang dengan parfum berbagai macam. Membuat ibu hamil itu keluar-masuk kamar mandi. Mual. Tambah mual, tambah lelah.
Tidak jarang suaminya sampai harus menjemput. Bahkan menggendongnya. Tentu hal itu membuat Ruka, Neta, dan Kenka bertambah ngebet ingin menikah. Tapi pasti sulit mendapatkan yang seidaman dan seperhatian Kita Shinsuke.
Saking perhatiannya, Shin bahkan meminta (name) mengambil cuti kuliah dua semester. Takut istrinya kenapa-napa.
Setiap hari Shin membuatkan makanan yang baik untuk ibu hamil. Membuatkan susu. Menelfon setiap dua jam, menanyakan kabar. Parno kadang. Maklum, tidak seperti saat bertanding voli. Dia tidak pernah berlatih memiliki istri hamil. Belum terbiasa. Maka grogi pun ada.
Jika Aran melihat ini, pasti dia bilang, 'akhirnya kau seperti manusia'.
Semuanya berjalan baik-baik saja. Shin mampu memenuhi keperluan istri dan jabang bayi. Sempurna. Tanpa ada celah.
Hingga pada minggu kesebelas, tanggal 4 Desember 2016, di saat cuaca makin dingin dan salju mulai turun,
"Aku kok kangen selimut handukku ya?" ucap istrinya. Kesulitan tertidur. Merindukan pelukan selimut handuk saat masih gadis dulu.
Saat itu juga, tepat jam sembilan malam. Shin menelfon Suna. Menanyakan si selimut handuk.
"Selimut adikku? Kalau tidak salah ada di Miyagi. Di rumah ibu kami. Tapi seingatku selimutnya udah rombeng-rombeng. Tidak layak pakai"
Suna menyarankan membeli yang baru. Di tempat dulu mereka membelinya pertama kali.
"Eh gak apa. Nanti aja lagi, besok siang." kata (name).
Shin menatap kantung mata istrinya. Menelan ludah. Tidak bisa. Shin tidak tega melihat (name) resah dan kesulitan tidur.
"Sebentar kok, paling sejam dua jam."
Malam itu, di bawah naungan awan hitam kelabu, di antara salju,
Kita Shinsuke berjalan.
Jaket tebal. Syal. Sarung tangan. Anak rambut menari tertiup angin. Hidung dan telinga merah terkena dingin.
"Permisi Pak, toko 'Asashiga' dimana ya?"
Kalimat yang sama ia berikan ke beberapa orang. Sempat tersasar bahkan. Dimana toko Asashiga itu. Dimana? Sudah setengah jam. Tapi belum juga terlihat.
Lelah. Kedinginan. Memutuskan istirahat sebentar. Menatap langit. Kepulan panas napasnya terlihat. Dingin. Tapi istrinya harus tidur nyaman. Biar dia saja yang kedinginan. Jangan istrinya.
Tidak peduli dengan telinga yang kebas. Kaki yang sakit. Ataupun bibir yang pecah-pecah. Tidak apa. Biar dia saja yang merasakan. Jangan istrinya.
Lima menit berlalu. Shin kembali menyusuri jalan. Matanya gesit membaca tiap papan toko. Bukan. Bukan toko ini. Bukan toko itu. Mungkin di belokan sana. Mungkin dekat perempatan situ. Mungkin. Mungkin.
Sampai dua puluh menit setelahnya.
Ketemu! Itu dia. Toko Asashiga. Toko kecil yang terhimpit bangunan-bangunan besar. Toko yang seperti sejarah di tengah kehidupan modern. Papan namanya usang. Cahaya lampunya remang. Namun hangat mengesankan.
"Permisi," kaki Shin melangkah masuk. Toko itu betul-betul hidup. Meski kecil, ada cukup banyak orang yang di dalam, melihat ini, ataupun mencari itu.
"Selamat datang," sapa penjaga toko. Seorang bapak berusia 50an dengan kumis tanggung dan jenggot panjang.
"Selimut handuk? Rasanya sudah lama sekali tidak ada yang mencari."
Shin menelan ludah. Habiskah?
"Tapi coba cari di pojok kiri sana."
Secercah harapan muncul. Cepat dan tergesa Shin pergi ke arah yang ditunjuk. Langkahnya besar. Matanya bergerak cepat. Menyisir pojokan toko.
Semenit. Dua menit. Sepuluh.
Nihil. Tidak ada. Mungkin penjaga tadi keliru. Shin memutuskan kembali ke muka toko. Menyisir dari depan hingga ujung belakang.
Saat di depan, telinganya tidak sengaja menangkap pembicaraan dekat kasir. Seseorang hendak membeli selimut handuk yang ia cari. Darimana orang itu dapatkan? Apa masih ada?
Refleks, tangan Shin memegang selimut yang hendak dibayar. Greb.
"Eh? Kita-san?"
Mata Shin mencari pemilik suara yang juga pemilik si selimut.
"Akaashi-san?"
Ternyata selimut handuk itu adalah selimut terakhir. Akaashi juga berniat membelinya. "Aku dengar (n/n) chan hamil. Sepertinya dia akan membutuhkan ini" Kata Akaashi.
"Biar aku saja yang membelinya." kata Shin.
Mereka bersitatap. Walaupun tidak terlihat, gejolak keduanya beradu di udara. Akaashi ingin memberikannya pada (name). Sudah jauh-jauh dari Tokyo ke Hyogo, sayang sekali jika buah tangannya kurang berkesan. Shin pun tidak mau kalah. Dia suaminya (name). Bukannya dia yang paling berhak?
Mereka terus bersitatap. Sedetik. Dua detik. Lima. Hingga salah satu menghela napas. Mengalah.
Akaashi melepaskan selimut iu. Biarlah. (Name) juga pasti lebih senang jika Kita-san yang membelikannya. Lagian, dari penampilan si pemuda, terlihat jelas dia sudah berjam-jam berjalan di antara salju.
"Heh. Dia selalu saja mengambil milikku yang berharga." kata Akaashi, ketika pria pemilik mata cokelat pergi, "Dasar maling."
🌾🦉🌾
A/N
Nyeritain beli selimut aja lama bener dah :" WkwkwkwHaloo~ lagi2 wzn3541 disini :" Aku izin auto namatin book ini ya, biar bisa hiatus beberapa minggu atau beberapa bulan hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Yang Semuanya Baru [Kita Shinsuke X Reader] [Sequel Kita's Exception] [END]
Fanfiction[Sequel Kita's Exception] Bercerita tentang keseharian pengantin baru bernama Suna (name) dan suaminya, Kita Shinsuke "Hidup berumah tangga itu berat, gandeng tanganku, kita lalui dengan kesederhanaan yang memikat nikmat" Sejenis slice of life Ide p...