Seratus Malam Temaram

526 99 57
                                    








Untuk, istriku.
Gaia Shatara Bayuni.


Ya....
Genap sudah seratus hari kamu tidak lagi menyandang status sebagai mahluk hidup dalam planet bumi. Bagaimana rasanya menetap di keabadian? Aku yang selalu penasaran mengenai dimensi-dimensi lain dalam kehidupan ini, tapi malah kamu yang mencobanya lebih awal. Nanti, saat kita sudah kembali bersama, ceritakan padaku dengan lengkap mengenai apa yang kamu rasakan ya! Aku juga akan menceritakan dengan lebih lengkap bagaimana hariku selepas peninggalanmu.

Tadi malam, untuk pertama kalinya aku kembali tidur di kamar kita. Sendirian. Aneh rasanya, ketika selimut dalam kamar ini yang juga pilihanmu aku pakai seorang diri.
Kamu jangan tertawa ya, sarung bantalnya nggak aku ganti, loh. Bantal itu biarlah menjadi abadi bersama pemiliknya, sebab aroma rambutmu tertinggal di sana. Hanya itu jejak yang aku punya, Ya.

Menikahi kamu, aku mengira akan memilikimu selamanya. Cinta ini membuatku tak berpikir panjang, hingga lengah mengenai tujuan paling pasti dalam kehidupan ini. Kematian. Aku lupa kematian juga turut memburu waktu, hingga akhirnya aku dibuat terlena mengira tidak akan mengalami kedukaan semacam itu.

Hari ini aku kembali ke tempat istirahatmu. Masih dengan rutinitas yang sama, bedanya aku mengobrol lumayan lama dengan Pak Maman. Sedikit aku perkenalkan, Pak Maman ini ialah orang yang setia menjaga pusaramu. Orangnya sangat baik, sederhana, agamis, serta memiliki sudut pandang yang luas perihal menelaah nilai kehidupan.

Memang benar, Ya, belajar itu nyatanya bisa dari siapa saja, tak peduli tingkat sosialnya dalam kehidupan ini. Aku banyak belajar dari Pak Maman, melalui bincang-bincang singkat disela aku mengunjungimu, seperti hari ini.

"Saya selalu lihat Mas Gaharu hanya lama memandangi batu nisan sang istri, tapi tidak pernah sekalipun berbicara atau menceritakan sesuatu," selorohan itu terdengar selepas Pak Maman meminta maaf sekaligus izin untuk bertanya. "Kenapa, Mas?"

Aku tersenyum samar, bingung juga memikirkan jawabannya. Memang ketika ziarah di tempat orang yang sangat kita cintai, kita harus bagaimana?  "Mau saya ngomong sampai saya pingsan di sini juga istri saya tidak akan menjawab, Pak. Jadi, saya memilih untuk diam saja," jawabku yang terdengar sembarangan, diiringi dengan sebuah tawa lirih pada akhir kalimatnya.

Aku selalu mengajakmu bicara, tetapi tidak di pusara ini. Aku memilih untuk berdialog dalam hening denganmu saat sebelum tidur. Entahlah, aku merasa berada dalam satu suasana namun berbeda bilik tirai ketika mengajakmu berbicara disaat aku hendak terpejam. Rasanya seperti kamu tetaplah Gaia yang dulu, setia mendengarkan dan mengamati setiap rentetan kisah dariku. Meski aku juga sadar bahwasanya dalam seratus hari-hari yang sungguh padam ini, sekalipun kamu tidak pernah berlakon dalam persembahan bunga tidurku.

Sejujurnya, aku sudah tidak lagi pernah bermimpi. Dalam keadaan sadar ataupun terpejam dengan lelapnya, hidupku ternyata sangat gelap, Ya. Selepas kepergianmu, nyatanya memang tidak lagi ada bercak corak warna yang lain dalam kehidupan ini, semuanya menghitam legam. Hingga aku kadang bertanya-tanya, apakah perjalanan ini memang dipersiapkan dalam keadaan yang gelap begini? Jika iya, aku tidak sanggup. Tidak akan pernah sanggup.

Obrolanku dengan Pak Maman masih berlanjut, Ya. Nyatanya kemalangan semacam ini juga sudah pernah ia rasakan belasan tahun yang lalu. Istrinya meninggal dalam sebuah kejadian laka lantas.

"Saya sempat membenci kumandang adzan, terutama saat subuh. Saya merasa kecewa pada semua hal, karena saya masih diberi kesempatan hidup. Padahal sudah jelas, saya merasa bahwa untuk melangkah itu sulit, meski saya tahu bahwa ada anak saya yang menunggu satu langkah dari saya," seloroh Pak Maman dengan senyum yang nampak dipaksa.

"Saya berbagi cerita, supaya Mas Gaharu ini percaya kalau setiap orang punya titik baliknya, meskipun hidup rasanya sudah nggak karu-karuan. Jangan putus berdoa, Mas. Meskipun rasanya sudah lelah, sudah mual gitu ya," lanjutnya. Pak Maman menatapku kian intens, seolah ia percaya bahwa aku juga akan mengalami titik balik serupa dirinya. "Dibanding saya, masih lebih banyak yang membutuhkan Mas Gaharu," tandasnya.

SURAT INI TANPA ALAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang