Jejak Jurnal

437 84 48
                                    






Untuk, istriku.
Gaia Shatara Bayuni.

Hamparan biru ditambah dengan nyiur angin dan aroma khasnya yang begitu kuat menyapa indra penciumanku. Kamu sudah dapat menebak aku ada di mana, bukan? Aku sedang berada di tengah lautan, berdiri di atas kapal ferry yang mengantarku berkelana ke pulau seberang.

Kamu tahu tidak, apa yang membawaku melangkah hingga sejauh ini? Menyiapkan perjalanan baru tanpa kamu yang sejujurnya sangat sulit sekali, hingga tak henti-hentinya aku mempertanyakan kemampuan diri sendiri. Tetapi, akhirnya aku sampai di titik ini, Ya. Mengabulkan salah satu keinginan utama kamu dalam sebuah jurnal di dalam lemarimu. Berkelana ke Pulau Sumatera, untuk mencoba berbagai kulinernya, itu yang kamu inginkan sebagai perayaan hari pernikahan kita yang ke-enam.

Gaia, sekarang aku ada di sini.
Berdiri di atas kapal ferry, dengan luka hati yang belum berkesudahan. Saat ini aku masih hidup untuk keinginanmu, semoga saja semesta merestuiku untuk kembali pulang pada kehidupan yang lumrah. Kehidupan yang memang ditakdirkan untuk aku jalani.

Sebelumnya, aku juga sudah memberikan hadiah untuk Kanala, sesuai pesan kamu dalam jurnal itu. Kanala sangat menyukai pakaiannya, ia juga berkata bahwa kado itu dari surga, tempatnya Mami Gaia. Desain baju dalam jurnal kamu itu, aku bawa ke penjahit langganan kamu. Awalnya dia menolak, karena belum pernah membuat baju untuk anak kecil, tetapi saat aku menyebut ini permintaan kamu, ia langsung menyetujuinya.

Tak hanya itu saja, ia juga menceritakan bagaimana kebaikan kamu. Lagi dan lagi, Ya, setiap orang yang bertemu denganku pasti menceritakan baik budimu. Aku semakin yakin bahwa kebaikan itu hal sederhana tetapi penting, bahkan ketika kamu sudah pergi, kisah mengenai kebaikanmu justru semakin terungkap, seolah tak pernah lekang oleh waktu untuk diceritakan. Aku sebagai suami kamu, pastinya bangga sekaligus malu. Sebab, tak pernah aku melakoni kebaikan sebanyak kamu.

Kanala menyukai hadiahnya, Ya.
Keponakan kamu itu cantik sekali.
Sebelum aku melakukan perjalanan ini, Kanala ikut ziarah denganku. Kamu juga tahu 'kan? Katanya ia harus memamerkan pakaiannya itu pada Mami Gaia, sekalian memberitahu kalau baju hasil desain kamu itu kado terbaik di ulang tahunnya yang ke-empat.

Bukan hanya kado untuk Kanala, aku juga sudah siapkan makan malam untuk Mami dan Papa, sesuai pesanmu. Semua konsepnya sama seperti yang kamu rancang dalam jurnal itu. Awalnya juga Mami dan Papa merasa sangsi, karena kedukaan ini masih memeluk tiap-tiap diri kami. Namun, akhirnya mereka mau. Mereka meminta acaranya dibuat lebih sederhana saja, namun Ghiani dan Ghani berhasil membujuknya, sehingga acara tetap berjalan sesuai rencana kamu.

Kami semua yakin, Ya, meski wujud kedatanganmu memang bukanlah sesuatu yang dapat kami rengkuh, tetapi kami masih merasakan kehadiran kamu. Kamu ada di dalam hati kami, teduh dan tunggal di sana, sampai kapanpun tak pernah terganti apalagi sirna ditelan waktu.

Kami semua perlahan kembali untuk berjalan lagi, memastikan bahwa tidak ada yang terpuruk di belakang sendirian. Aku, Mami, Papa, Ghiani, Ghani, Ibu, Bapak, dan semua yang sayang padamu mencoba untuk kembali menapaki lazimnya kehidupan ini. Kami seolah saling terhubung untuk berpegang, memastikan bahwa semua mulai menjalani kehidupan dengan baik, karena jika diperhitungkan maka kamu juga tidak ingin kami berlama-lama dalam keterpurukan ini.

Perjumpaan jiwa dengan kata ikhlas mungkin menjadi suatu hal yang sangat sukar. Tetapi mentari tetap terbit di tempatnya, malam pun menapaki hari pada waktunya. Itu sebagai pertanda bahwa kehidupan tetap berjalan selimuti setiap raga yang masih bernyawa. Tidak peduli beban apa yang bertumpuk di pundak, kecemasan dan kegelisahan apa yang mengiringi perjalanan pada jalan setapak, ataupun penderitaan jenis apa yang membuat raga terjaga sepanjang malam, lantaran letih membekap tangis dalam selimut.

SURAT INI TANPA ALAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang