2. Cita-cita dan pertanyaan

161 30 0
                                    

Newt dan Thomas tengah mendampingi sesi pelajaran Sophie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Newt dan Thomas tengah mendampingi sesi pelajaran Sophie. Duduk di kursi berlengan di ruang depan. Angin malam yang lembut menebarkan bau-bauan yang kaya; aroma garam dari pantai dan wangi klorofil yang bertiup dari tepi hutan.

Buku-buku bertebaran di meja dan lantai. Tiga cangkir berdampingan, menguarkan tiga aroma yang berbeda. Uap kopi susu naik dari cangkir Thomas yang isinya separuh mendingin.

Wangi teh hijau yang kuat menguap dari cangkir lain yang baru dilepas dari lingkaran jari-jemari Newt. Sementara cangkir terakhir masih penuh dengan aroma lemon dan madu.

Sophie menyandarkan dagu di tepi meja. Kaki bersila di lorongnya. Satu tangan terlipat menyangga kepala di atas halaman buku yang terbuka. Satu tangan lain terlihat sibuk mencoret-coretkan pensilnya di muka kertas.

Ada yang berbeda dalam diskusi bimbingan belajar mereka.

Sophie memperoleh tugas menulis semacam karangan atau esai pendek. Meskipun pelajaran bahasa adalah kesukaannya, tetapi tidak untuk kali ini. Tidak setelah kata-kata Bibi Brenda dengan senyumannya yang misterius itu, memerintahkan agar anak-anak mengerjakan tugasnya bersama orang tua.

"Aku masih tidak mengerti," kata Sophie. Mengetuk-ngetukkan ujung pensilnya ke gigi.

"Apa masalahmu, Nak?" Thomas bertanya. Menggeser punggungnya di sandaran kursi.

"Ya, ceritakan saja." Newt menyandarkan kepala di bahu Thomas, pinggang di bawah lilitan di lengannya.

"Siang tadi aku sudah menjawabnya, saat besar nanti, apa cita-citamu? begitu tugasnya. Aku sudah menjawab seperti yang diminta, tapi ..."

Anak itu mendesah lagi. Menjatuhkan kepalanya kembali. "Tapi Bibi-Guru Brenda tidak menerimanya."

Newt menaikkan alis. "Memang apa jawabanmu, Sophie?"

Thomas meraih cangkir kopi susu miliknya dan meneguk isinya.

Sophie tertegun sejenak. Sisi wajahnya masih menempel di halaman kertas. Tatapannya melekati kaki kursi tempat kedua orang tuanya duduk berdampingan.

"Aku menuliskan semua yang kuinginkan, Papa," jawab Sophie. Tiba-tiba kepalanya terangkat dan matanya mengerjap cerah seketika.

"Menjadi petani (seperti Papa)," Semangat memercik di sela ucapannya. "Teknisi listrik (seperti Dad), penjahit baju (seperti Bibi Sonya). Aku juga ingin jadi seniman yang bisa menggambar. Gambarku bagus kan, Pa? Oh, tentu! Jadi penulis dongeng juga cita-citaku yang lain."

Sophie menghitung dengan kelima jarinya. Itu semua cita-citanya; keinginannya. Ketika kemudian raut wajahnya menciut, sepertinya tersadar olehnya bahwa itu terlalu banyak.

Jadi, sepertinya Sophie juga sudah bisa berpikir dan mempertimbangkan sesuatu, pikir Newt mengamati. Itu bagus. Hanya dia belum menyadari hal penting; membuat pilihan atau keputusan. Masih berlandas pada egonya yang menginginkan itu semua, gigih mempertahankannya. Khas Thomas sekali.

Bunga-bunga Kecil | NewtmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang