Sekitar kurang lebih sembilan jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di Stasiun Solo Jebres yang berlokasi di Surakarta, Jawa tengah. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.00, keramaian Stasiun memang tidak di bisa hindari. Vanya menginjakkan kakinya kembali setelah lima tahun tidak berkunjung ke Jawa Tengah. Terakhir kali, ia berkunjung saat umur tiga belas tahun tepatnya saat liburan sekolah untuk menemani sang ibu ke acara reunian.
"Gue lapar nih.." Hayun mengelus perutnya yang tak henti berbunyi.
"Tenang..pas dijalan nanti kita singgah." Kata Frinza, mereka menuju ke gerbang depan Stasiun. Sudah sepuluh menit mereka menunggu jemputan, tapi tak kunjung datang.
"Kakak lo beneran serius kan kemarin?" Tanya Frinza yang daritadi sibuk menoleh kesana kemari. Begitu juga dengan Vanya. Sementara Hayun sudah merengek kelaparan.
"Iya loh, ini gue lagi nyoba telpon tapi nggak diangkat-angkat sama dia." Vanya mulai resah, menggigit bibir, jarinya tak henti menekan tombol panggilan.
"Yaudah naik angkot aja kalau gitu." Bagas menunjuk ke salah satu angkot yang ada di seberang jalan.
"Gimana Van?" Frinza bertanya.
Vanya mencoba menelpon kakaknya sekali lagi, namun semuanya hanya sia-sia, ia hanya bisa mengangguk kepala. Kini, mereka sepakat untuk naik angkot menuju basecamp. Saat hendak menyebrang, langkah mereka terhenti karena sebuah mobil Van Volkswagen berhenti secara dadakan tepat di hadapan mereka membuat semuanya sedikit syok. Seorang Pria yang gendut berambut kribo dengan kulit sawo matang turun dari mobil itu dan datang menghampiri mereka, tak lupa ia menurunkan sedikit kacamata hitam yang dikenakannya.
"Mbak Tanya yah?" Tanya pria itu. Vanya heran ia mengira yang turun dari mobil itu adalah Kak Adib ternyata orang asing.
"Bu bukan om, saya Vanya." Vanya ragu-ragu menjawab. Frinza langsung menghadang pria yang ada di hadapan Vanya. Pria itu mengira salah orang, ia langsung meminta maaf dan pergi menuju pintu gerbang Stasiun.
"Mas, aku udah sampai di lokasi, Mbak Tanya orangnya yang kek mana mas? " Pria itu menelpon.
"NAMANYA VANYA MAMAT...BUKAN TANYA.." terdengar suara pria yang membentak dari panggilan suara itu. Pria itu langsung berbalik dan berusaha melangkahkan kaki secepatnya untuk mengejar rombongan itu. Untung saat itu Vanya dan yang lainnya masih menunggu jalanan sepi untuk menyebrang.
"MBAK VANYA!" teriak pria itu dari kejauhan, Vanya langsung menoleh ke arah sumber teriakan.
"Kenapa sih om om itu?" Hayun bertanya-tanya. Dengan nafas terengah-engah pria itu langsung menjelaskan.
"Maaf mbak, ternyata mbak orang yang aku yang cari, salah baca pesan aku tadi." Kata pria itu.
"I..ya mas siapa ya? " Vanya bertanya.
"Kenalin, saya Mamat mbak alias mang Mamat utusan atasan saya Mas Adib" Pria itu langsung menjabat tangan Vanya.
"Oh Mas Adib temennya kak Wanda yah mang?" Tanya Vanya lagi. Mang ucok pun mengangguk.
"Mang, itu rambut asli ya? Lebat banget, nggak gerah tu?" Bawel sudah menjadi sikap Hayun yang tidak bisa dihilangkan.
" Ya iyalah, asal kau tau ya rambutku ini rambut legend, sudah diwarisikan sejak turun temurun." Mang mamat menata rambutnya, memakai kembali kaca mata bulatnya. Ekspresi mereka hanya terheran mendengar perkataan itu. Membuat suasana saat itu hening, hanya terdengar suara mesin kendaraan dari jalanan.
"Ini mas nya cocok banget bintangin film horror, nuansanya kan dapat gituh jadi kebo." bisik Bagas dengan pelan. Membuat Hayun tertawa lepas. Membuat semua tatapan tertuju ke cewek berkacamata itu. Mang Mamat kemudian pergi menuju mobil, namun tidak ada satu dari mereka yang mengikuti pria itu.
"Tunggu apa lagi kalian? Ayok!" Seru Mang Mamat, ia membuka pintu mobil dan bagasi, semua barang diletakkan di bagasi. Saat Mang Mamat menghidupkan mobil, mesin tak kunjung nyala. Sudah beberapa kali ia memutar-mutar kunci tapi tak ada hasil. Ia menghela nafas sejenak.
"Jangan kek gitu lagi lah kau Veronica." Mang Mamat memukul stir mobil.
"Ha? Siapa Veronica mang?" Frinza yang duduk di sebelahnya bertanya. Ia mengira itu adalah pacar Mang Mamat.
"Siapa lagi, Ya nama mobilnya lah..gimana lah kau ini" Kata Mang Mamat.
"Van, lu yakin dia utusan temen kakak lu? sumpah ni orang keknya nggak beres." bisik Hayun, Vanya hanya menaikkan bahunya.
"Terus gimana Mang?" Tanya Vanya yang duduk di belakang. Pria itu meminta tenang sebentar. Ia menyandarkan kepalanya ke stir mobil, tangan kirinya mengelus stir mobil membuat semua yang ada di mobil heran dengan kelakuan pria yang satu ini. Tiga detik berlalu, Mang Mamat memutar kunci, akhirnya mobil antik itu mau hidup juga.
"Butuh kasih sayang.." Kata Mang Mamat menunjuk stir mobil dan langsung menancapkan pedal gas.
Tak lupa sebelum ke tempat tujuan, mereka singgah ke sebuah warteg untuk mengisi perut yang sedaritadi sudah berbunyi.
Saat matahari sudah tenggelam di cakrawala, mereka tiba di basecamp dengan ketinggian 1500 mdpl membuat suhu saat itu cukup dingin. Mang Mamat, Frinza, Bagas dan Aldin sibuk mengeluarkan barang-barang dari mobil. Sementara Vanya dan Hayun sibuk foto-foto.
"Woi bantuin dong! foto-foto mulu" Ucap Bagas, namun para cewek itu tak peduli. Hayun mengarahkan kamera ponsel ke Arah dirinya dan Vanya.
"Udahlah..mereka kan cewek harus banyak istirahat buat perjalanan besok" Kata Frinza sambil menatap ke arah vanya.
"Hilih giliran ada cewek aja lo nurut."
"So sweet banget dek kau, yang mana satu pacar kau tu?" Tanya Mang Mamat ke Frinza.
"Mana ada pacar Mang, yang ada cinta bertepuk sebelah tangan." Bagas meledek Frinza.
"Mak mak kasihan kali dek kau, udahlah..betina di dunia ini ndak hanya satu.." Mang Mamat merangkul Frinza.
"Percuma Mang, nggak bakal di dengerin tuh." Aldin mengangkat carrier nya dari bagasi.
"Makannya, peka dong Van haha" Hayun menyikut sahabatnya.
"Pura-pura nggak denger gih" kata Vanya seketika merajuk. Frinza yang saat itu sibuk mengeluarkan barang cuma bisa tersenyum.
Hari semakin gelap. Bulan mulai memancarkan sinarnya dari awan-awan yang menghiasi malam itu. Saat itu, semuanya sudah terlelap dari dunia fana dan beralih ke dunia mimpi, terkecuali Vanya dan Frinza yang tak kunjung tidur. Frinza akhirnya mengajaknya untuk keluar mencari udara segar. Berjalan berdua, menatap bulan dan bintang-bintang, menikmati udara dingin menjadi momen yang sangat langka bagi Frinza. Saat berjalan-jalan di sekitar basecamp, mereka melihat semacam warung atau lebih tepatnya seperti kedai kopi. Mereka singgah ke tempat itu.
Menikmati secangkir kopi hangat di tengah-tengah udara dingin memang sebuah kenikmatan. Saat menikmati hal itu, Frinza beranjak dari kursi dan pergi untuk memesan makanan. Tak lama setelah itu, seorang kakek tua dengan rambut penuh uban yang panjang, berjalan membungkuk menggunakan tongkatnya menghampiri Vanya. Kakek itu langsung duduk tepat di kursi Frinza.
Ia menatap Vanya dengan tatapan serius membuat cewek itu heran.
"Maaf kek, ada ap" ucap vanya yang saat itu belum selesai, tapi kakek itu langsung memotong pembicaraan.
"Kamu jangan muncak." katanya. Vanya langsung terdiam dan berpikir kenapa ia tidak boleh muncak.
"Memangnya kenap" lagi-lagi perkataan Vanya di potong oleh kakek itu.
"Pokoknya kamu jangan muncak, kalau misalnya kamu tetap muncak, bahaya akan menantimu nak." Perkataan kakek itu membuat bulu kuduk Vanya berdiri, banyak pertanyaan yang terlintas di pikiran Vanya, ia ingin menanyakan semuanya tetapi kakek itu langsung pergi seperti sedang dikejar sesuatu.
Tepat setelah kakek itu pergi, Frinza kembali membawa dua mangkuk mie. Ekspresi vanya saat itu sedikit pucat karena kepikiran dengan perkataan kakek tadi. Hal itu membuat hatinya bimbang mau lanjut atau tidak, tetapi di sisi lain ia tidak ingin membuat teman-temannya kecewa.
"Van, lo kenapa? " Tanya Frinza. Vanya yang tadinya tertunduk spontan menoleh ke cowok itu.
"Hm? nggak apa kok." Vanya langsung menyantap semangkung mie yang ada di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanjak
RomanceJangan salahkan waktu, Salahkan dirimu sendiri yang tak mampu mengutarakan perasaanmu saat itu. Sekarang, nikmatilah rasa penyesalan itu. Menceritakan kisah Vanya yang tersesat saat melakukan pendakian Gunung dan berhasil pindah alam. Disaat itu...