"Kamu kenapa?"
"Aman kok, cuma kangen orang rumah aja."
Telepon berdering...
Itulah dia, sosok lelaki yang peka jika wanitanya sedang tidak baik-baik saja. Tanpa perlu mendengarkan rengekan atau menerka kode-kode, dia paham harus berbuat apa. Tidak hanya melakukan panggilan telepon suara biasa, namun lebih. Dia memiliki kebiasaan 'menyebalkan', yaitu melakukan panggilan vidio alias video call. Baginya, melihat wajah wanita yang dia sayangi ketika sedang bersedih adalah sebuah keharusan. Dia tidak ingin wanita tersayangnya itu menagis sendirian. Dia harus menemani, walaupun dalam sebuah panggilan video call. Uniknya, dia tidak pernah memberikan aba-aba jika akan menelepon. Sangat mengagetkan dan membuat salah tingkah. Bagaimana tidak, ketika aku sedang menangis namun berkata "aman", tiba-tiba dia video call. Ya, wanita itu adalah aku.
Masih tergambar jelas bagaimana lagu Westlife – Home, menjadi hymne ketika aku sedang merindukan rumah. Papahku pernah berkata:
"Kalau kamu kangen Papah, kangen rumah, dengerin lagu Westlife – Home. Itu lagu favorit Papah. Dulu ketika Papah gak bisa pulang dan kangen Mamah, Papah selalu dengerin lagu ini. Dan lagu ini yang nemenin Papah di kereta ketika perjalanan pulang saat Mamah akan melahirkan kamu."
Dan hebatnya, lagu ini menjadi favoritku kini. Ketika aku merindukan rumah dan tidak mampu berkata-kata dalam telepon, aku hanya perlu mendengarkan lagu ini. Tentunya sembari menangis. Aku adalah orang yang sangat sulit berkata "kangen dan sayang" ke orang tua. Aku akan menangis sesenggukan jika berkata seperti itu. Bagiku, kedua kalimat itu adalah sakral. Dan aku tidak akan sembarangan mengatakan itu. Ada yang sama denganku?
Deadline pekerjaan yang semakin mepet membuatku harus begadang setiap malam. Menatap laptop tanpa henti seakan menjadi keharusan. Buku-buku berserakan, lembaran kertas penuh coretan dan alat tulis lainnya telah memenuhi kasurku. Rasa lelah sudah tidak dapat ku tahan. Aku putuskan untuk membuka youtube, dan memilih lagu hymne itu. Entah mengapa rasanya aku sangat merindukan rumah. Tanpa ku sadari, air mata mulai datang tanpa permisi. Setelah ku ulang sampai 3x, tiba-tiba ponselku berdering. Chat masuk.
"Aku baru pulang dari kantor nih, habis makan juga. Kamu udah tidur?"
Seketika aku tersenyum membaca pesan itu. Seolah Tuhan sangat pengertian sekali denganku. Disaat aku sedih, dia selalu hadir dan membuatku tersenyum. Pesannya selalu ku tunggu. Kalimatnya membuat rindu. Suaranya membuat tenang. Dan wujudnya selalu mampu membuat tertawa. Sejak sore tadi dia sibuk dengan clientnya hingga jam 11 malam. Tanpa pikir panjang, aku langsung membalas pesannya dengan riang. Walaupun air mata masih membasahi. Seperti biasa, aku selalu menanyakan bagaimana harinya dan sudah membersihkan badan atau belum. Karena dia sangat malas mandi. Dasar lelaki.
10 menit dia menghilang. Aku sedikit kesal, karena aku merasa sedang membutuhkannya saat ini. Dia yang mampu menenangkanku, dan tak ku pungkiri itu. Namun tiba-tiba dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Sontak aku bingung. Bagaimana mungkin dia tahu jika aku sedang tidak baik-baik saja? Aku selalu menjawab pertanyaan itu dengan template yang pada intinya aku baik-baik saja. Dan benar, dalam hitungan detik setelah dia baca pesan itu, dia langsung menelpon. Bukan panggilan suara, namun panggilan vidio. Jika aku tidak menjawab maka dia akan panik, khawatir lalu spam chat dan telepon di seluruh aplikasi. Jika aku jawab, dia akan tahu bahwa aku sedang berbohong. Tuhanku.
"Nangis aja gak papa, jangan ditahan terus. Wajar kok kalau kamu nangis. Mana sini, coba liatin mukanya. Masa aku video call sama atap kamar. Hey, aku disini. Dengerin dan nemenin kamu. Okay?
Entah mengapa, dia sangat pandai untuk merayuku dalam hal ini. Tangisku mulai hadir kembali. Dan dia tetep memperhatikan layar ponselnya. Sesekali aku melihatnya dan terlihat jelas wajah tenang dan senyum tulusnya. Aku tahu dibalik itu dia sangat khawatir dan tidak tega denganku. Bagaimana tidak, sudah satu tahun lebih aku tidak pulang ke rumah. Sebagai anak tunggal, ini adalah salah satu ujian yang berat. Aku tidak manja, hanya saja keadaan ini sangat mendukungku menjadi anak yang cengeng.
"Udah ah, nangis mulu. Muka aku jelek banget kalau nangis. Kek babi"
Tawa pun akhirnya memecah suasana. Aku mengangkat layar ponselku dan melihat raut wajahnya yang tertawa lepas. Sembari mengusap air mata, aku melihat wajahnya yang masih tersenyum lebar lalu berubah menjadi raut wajah yang merindu. Ah, jarak memang sialan.
"Udah nangisnya? Sekarang mana coba senyumnya?"
"Kan udah tadi."
"Bukan senyum ketawa, tapi senyum yang lega"
aku menghela napas lalu tersenyum.
"Nah gitu dong. Sekarang istirahat ya, jangan begadang lagi. Kamu butuh istirahat. Jangan dipaksa lembur lagi. Abis ini aku juga mau tidur. Badan kita butuh jeda."
Di dunia ini, dia adalah salah satu orang yang mampu membuatku keluar dari rasa suntuk dan buntu akan suatu hal. Seolah dia adalah penyelamat dan penyemangat saat aku ingin menyerah. Ketika orang lain menyuruhku tetap kuat dan jangan menangis, justru dia sebaliknya. Baginya, menangis memang dibutuhkan, dan itu akan membuat lega. Memang betul, menangis adalah cara terakhir ketika kita tidak tahu harus menahan dan berbuat apa lagi. Aku sangat beruntung memilikinya saat ini dan di setiap hari ku. Ya, dia adalah dopamine ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ópio
Short Storyόπιο / ópio (re: hopio) merupakan frasa dalam Bahasa Yunani yang memiliki arti kata "candu". Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata "mencandukan" adalah menyebabkan kecanduan (ketagihan). Ópio merupakan kumpulan cerita pend...