part4.

9 6 0
                                    


"Ecaaaaaaaaaa!!! Ayoook kita pergi sekolaaaaahh!!" Aku bertariak dari luar pagar rumah Eca, kang Ujang si satpam rumah besar ini sigap membukakan gerbang untukku.

"Masuk aja neng Lia, neng Eca teh lagi sarapan." Kang Ujang hafal betul dengan kegiatan keluarga ini, maklumlah ia sudah menjadi bagian dari keluarga ini selama 20tahun. Ketika itu Kang Ujang merupakan sopir pribadi keluarga bunda Eca.

Dari pintu rumah aku melihat Eca berlari sambil memasukkan kotak bekalnya kedalam tas."bundaaa Eca pergi duluu!"

"Eca pelan pelan!" Di belakangnya menyusul bunda Eca yang cemas akan anak gadisnya yang satu ini.

"Kami pergi dulu bundaaa!!"

Eca telah duduk di tempat duduk belakang, dengan sekuat tenaga aku kayuh sepeda keluar gerbang rumah Eca, seperti ini kegiatan pagi kami, aku dan Eca selalu merasa senang menjalani pagi seperti ini.

Rambut sebahu milikku bergerak gerak di terpa angin pagi, sedangkan di belakangku Eca tertawa geli melihat ayam ayam milik tetangga berhamburan ketika kami lewat.

"Semangat gowes!" Eca menyemangatiku dari belakang dan di susul dengan cekikikannya.

***

Bel pertanda istirahat berbunyi ini adalah saat yang aku tunggu-tunggu, aku sudah jenuh dengan pelajaran fisika yang banyak angka angka itu. 'Apa gunanya menghitung kecepatan apel jatuh' ujarku membatin.

"Lia, makan bekal punyaku yuk! Tadi mama bikin bekalnya lebih, katanya di bagi buat kamu." Ujar Eca dengan riang sambil mengeluarkan kotak bekalnya dari tas.

"Masakan bunda mah emang paling top!" Aku mengacungkan kedua ibu jariku kedepan Eca.

Kami memakan nasi goreng buatan bunda dengan lahap, enak sekali, itu kata yang tepat untuk mewakili bekal nasi goreng ini. Sayur, telur, dan juga sosis di jadikan toping dan di susun menarik oleh bunda Eca, tak enak tapi juga menarik.

Setelah kenyang makan bekal nasi goreng kami duduk santai di kursi sambil menunggu bel masuk berbunyi.

"Ca, kalau aku ketiduran tanggung jawab loh!" Ujarku pada Eca sambil mengusap usap perutku yang kekenyangan.

"Lah kok gitu Lia?" Eca menatapku bingung.

"Habisnya makanan bunda enak sih, banyak pula, eh tapi enakkan masakan mama aku sih."

"Hu dasar! Kalau Lia mah apapun makanannya pasti enak!"

Karena ke asikan berbincang bincang dengan Eca, aku hampir lupa untuk menunjukan sesuatu kepadanya.

"Ca aku ada sesuatu nih buat kamu! Ini hal yang menjadi misteri bagi untuk beberapa bulan!" Aku mengeluarkan sketbook yang Minggu lalu dibelikan Eca untukku.

Aku memperlihatkan gambarku di halaman pertama kepada Eca, Eca memperhatikannya dengan seksama.

"Jadi anak ini yang sering kamu 'lihat' ya?" Setiap kali membicarakan kemampuan unik yang aku miliki kami menggunakan kata kata khusus agar orang lain tak curiga, ini rahasia kami.

"Nah betul! Tapi aku nggak tau ini anak sekolah di mana, dan kayaknya bukan sekolah di kota ini."

Eca tampak  kebingungan, begitupun aku yang sama bingungnya. "Yaudah deh kalau dah waktunya tau kok." Ujar Eca menghibur kebingungan kami.

Bel pertanda pelajaran telah di mulai berbunyi, kali ini kami belajar kebugaran jasmani alias olahraga. Ah menyenangkan sekali bisa bebas sesaat.

***

Bruk..

Suara itu lumayan keras sehingga menarik mata setiap orang kepada pemilik tubuh yang sudah terkulai tak sadarkan diri itu.

"Eca!!" Aku berteriak histeris mendapati tubuh Eca pingsan dengan hidung mengeluarkan darah, aku yakin penyakitnya kambuh.

Sebelum olahraga aku sudah melarangnya untuk tidak ikut, karena tubuhnya pantang sekali kalau kelelahan. Tapi percuma anak satu ini cukup bandel dan susah untuk dilarang.

Hal itu membuat guru olahraga kami panik, Pak Raden yang biasanya bertampang garang kini cemas bukan main, ia segera menggendong Eca ke UKS, guru lain berdatangan ada yg menelfon orang tua Eca dan ada pula yang menelfon ambulance.

***

Aku tak menyangka penyakit Eca kumat lagi dan bertambah parah, setalah dimasukkan ke ruang UGD Eca langsung diopor ke urang ICU.

Aku di sini menatap Eca dari balik pintu, 30 menit berlalu bunda Eca datang, ia langsung memelukku erat sambil menangis. Tangisanku yang telah berhenti kembali terisak akibat mendengar bunda begitu histerisnya.

15 menit berlalu tangis kami reda, mata kami sama sama sembab, cemas dan takut menyelimuti.

30 menit kemudian dokter keluar dari ruangan itu, ia berbicara pada bunda Eca, bunda Eca kembali meraung. Aku sangat yakin ini bukan berita bagus.

Bunda Eca kembali memelukku dan menangis di pundakku, "bunda udah ya.. jangan nangis lagi, Eca itu kuat bunda, dia pasti bisa." Aku meyakinkan bunda Eca sambil mengusap punggungnya.

Butuh waktu lama agar bunda Eca luluh dan berhenti menangis, tapi tatkala melihat suaminya yang baru saja sampai di rumah sakit ini ia kembali terisak, namun hanya sebentar, agaknya dia sudah puas menangis dari tdi.

"Nak Lia udah dari tadi ya di sini." Sapa om Indra sambil mengusap pucuk kepalaku, "tenang aja ya, Eca pasti bakal bangun kok, dia pasti temenin kamu kesekolah lagi." Ia menghiburku, padahal yang harusnya membutuhkan itu adalah dirinya.

Hari kian gelap, dan akhirnya aku pulang diantarkan Om Indra dengan mobilnya. Om Indra bekerja di sebuah perusahaan besar yang berpengaruh di negri ini, wajar saja butuh waktu baginya untuk menemui Eca.

memoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang