part6.

8 4 0
                                    


Seminggu sudah mama terkubur di dalam tanah sana akibat kegagalan tim medis dalam menyelamatkan nyawa mama, mama sempat terbangun beberapa saat setelah operasinya.

"Linda, aku titip Lia... Sumsum tulang aku.. aku donorkan buat Eca..." Bunda menceritakan semua kejadian malam itu padaku, serta mengatakan kalimat terakhir sebelum syahadat. Karena amanah itu status sebatang kara lengser dari pundakku dan berganti dengan anak angkat dari keluarga Indrawan.

Sejak mama meninggal aku sering murung, duniaku gelap, tak ada lagi hal yang membuatku semangat sampai aku melihat Eca kembali siuman.

Hampir sebulan ia tertidur di atas kasur rumah sakit ini, dan akhirnya ia kembali membuka mata, mata coklat milik Eca mengembalikan seribu satu warna dalam kehidupanku. Meski tertatih Eca kembali sembuh, donor sumsum tulang yang di berikan ibu cocok dengannya dan memberi kekuatan pada tubuh Eca.

"Lia, aku pengen kebut-kebutan lagi."

Aku yang sudah paham kemana arah pembicaraan Eca langsung saja menolak. "Tidak ada cerita ya, jahitan di punggung mu itu belum sembuh." Aku tengah mengajak Eca berjalan jalan sekitar rumah sakit dengan bantuan kursi roda.

"Bentar aja, dari sini kedepan itu aja." Eca menunjuk sebuah lorong dekat ruang menyusui.

"Tidak tetap tidak."

"Lia mah.."

Aku terus mendorong kursi roda ini sampai ke kamar Eca, saat sampai di kamar inap ini tampak Kak Adit tengah menonton TV sambil memakan apel.

"Kakak! Apel Eca!" Eca yang tak terima akan hal itu mendekat ke arah kakaknya dan merebut apel tersebut.

Kak Adit tercengang dan keheranan melihat tingkah adeknya itu, "apel Eca? Sorry ya ini punya kakak, tadi kakak beli sendiri." Kak Adit kembali merebut apelnya dari tangan Eca.

"Punya kamu tuh masih utuh belum di apa apain."

Eca menoleh ke arah keranjang buah miliknya, keranjang yang berada di atas nakas rumah sakit itu masih utuh. "Hehehe Iyah ternyata."

Aku mengambil posisi tepat di samping kak Adit. Lumayan capek juga mengajak Eca berkeliling rumah sakit ini dengan kursi roda, padahal kalau memboncengnya naik sepeda gak secapek ini.

"Kamu mau?" Kak Adit menyodorkan susu coklat kepadaku.

Aku yang ke hausan langsung saja menerimanya dan meminum susu itu.

"Eca berat yah?" Bisik kak Adit yang menyadari kelelahanku.

Bugh!

Sebuah bantal melayang ke atas kepala kami dan menimpa kak Adit. "Kedengeran tau!" Itu Eca, ternyata suara bang Adit tak cukup pelan.

"Tuh liat garang amat, kok mau sih temenan sama dia." Kak Adit kembali berbisik, kali ini ia benar benar berbisik di dekat telingaku.

"Nggak tau kak, mungkin aku di pelet sama dia." Aku balas berbisik.

Sebuah bantal melayang lagi kearah kami, kami yang menyadari hal itu langsung menghindar.

"Ngomongin apaan sih?!" Ujar Eca kesal.

"Ada deh!" Ujar aku dan kak Adit serentak, ternyata hal itu membuat Eca marah.

Bantal, Apel, Pisang, roti dan apa pun yang bisa di jangkau Eca ia lempar ke arah kami berdua. Melihat serangan itu aku dan kak Adit lari terbirit birit keluar kamar sambil tertawa cekikikan.

"Cari makan yuk, aku lapar." Ajak bang Adit ketika kami sampai di lorong.

"Yaudah Ayuk ke kantin."

memoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang