Jake berjalan nyaris berlari menuju lantai atas, menuju sebuah kamar. Begitu sampai, dia langsung membuka pintu tanpa mengetuk, membuat seorang wanita terkejut dan hendak menjatuhkan laptopnya.
"Ketuk dulu atuh bang ..." Mama memperbaiki kacamata anti radiasinya, sedangkan Jake tersenyum tipis — merasa bersalah. Dia buru-buru mendekat, mendudukkan diri diujung kasur tempat Ni-Ki berbaring.
"Gimana Ma? Sunghoon bilang tadi Iki sakit. Tapi kenapa? Bukannya kemarin masih baik-baik aja? Masih duduk sama kita-kita malah."
"Iki masih panas, tapi nggak separah tadi pagi."
"Terus? Kenapa sampe sakit?"
"Kecapean .... Nggak ingat waktu, Abangmu sampai marah-marah."
Ah ... Jake menggaruk belakang kepalanya, ia mengangguk, Sunghoon telah memberitahu semuanya. Kemudian, Jake menghampiri Mama. "Mama nggak rapat? Kata Mama semalam, bakal ada rapat besar-besaran?"
"Adek kamu itu kalo sakit halusinasi nya parah. Papa udah wakilin, jadi Mama disini yang jagain."
"Kalo gitu, Jake yang jagain dulu aja deh. Udah dari tadi 'kan? Mama makan, sama kerja di ruang kerja aja."
"Oke, sekalian mau masak aja deh. Saudara-saudara kamu yang lain bakal pulang, pasti minta makan duluan." Mama terkekeh, mulai bangkit dari salah satu kasur berwarna kuning cerah — tempat tidur Sunoo.
"Mama jangan lupa istirahat!" Jake sedikit mengeraskan suara. "Iya bang iya." Setelahnya Mama menutup pintu.
Jake meletakkan tasnya di bawah tempat tidur Sunoo, melepas almamater, dan membuka kemeja, sehingga menyisahkan kaos putih polos. Kemudian Jake mengambil sebuah buku tebal, mendudukkan diri di kasur kuning cerah itu, lalu mulai belajar.
Oh iya, ngomong-ngomong Jake sudah melepas sepatu sekolah, mengingat dari tempat tidur Jungwon, Ni-Ki, hingga Sunoo terdapat karpet bulu.
Fyi, kamar tiga bocah ini ruangannya besar — lebih besar dari kamar Mama dan Papa. Sebab mereka satu kamar, hanya memiliki tempat tidur masing-masing.
Tujuh menit berlalu, Jake yang mulanya fokus pada lembar demi lembar buku, kini menutup dan bangkit dari duduk nyamannya. Mengambil dua buah apel, lalu mulai mengupas kulit, serta memotong-motong dadu agar mudah dilahap nanti.
Insting tajam seorang Kakaknya memang tidak pernah salah, manik Ni-Ki perlahan bergerak kesana-kemari, kerutan di dahinya kentara, pelipisnya juga mulai berkeringat, dengan tiba-tiba Ni-Ki menangis.
Jake duduk kembali dipinggiran kasur, menyingkirkan pony Ni-Ki, lalu mengelap keringat di pelipis sang Adik.
"A-ampun bang, Iki salah. J-jangan pukul Iki ..." Lirih Ni-Ki pelan, pelan sekali.
"Sstt Iki tidur ya ..." Tenang Jake. Mengatakan nya hingga beberapa kali.
Tak lama, pupil legam Ni-Ki terlihat. Dia mengerjap lambat, masih berusaha menerima cahaya. "Bang Jake ..."
Jake tersenyum lalu mengangguk, "iya, ini abang ..."
"Haus, Iki mau minum ..." Jake lekas mengambil gelas yang sudah terisi air diatas nakas, membantu Ni-Ki duduk terlebih dahulu, kemudian membantu meminumkan juga.
Cepat-cepat Ni-Ki menghabiskan hingga tidak tersisa. Nafasnya naik turun, sedetik setelah Jake meletakkan gelas kembali, Adiknya itu tiba-tiba memeluknya, dan kembali menangis. Jake membalas, menepuk-nepuk kecil bahu Ni-Ki. "Sssttt, udah Ki ..."
"Serem .... Iki takut .... Iki mimpi di hajar bang Jay, mukanya lebih nyeremin dibanding waktu nampar bang Icung tadi ..."
Jake menghela, rautnya terlihat tidak suka, namun tetap menenangkan Ni-Ki. "Bang Jay nggak bakal ngapa-ngapain Iki, yang penting Iki jangan ngelakuin apa yang bang Jay nggak suka. Contoh, yang masih Iki lakuin, mukul temen sekelas. Apalagi Taki, kamu keseringan kelahi sama dia."
![](https://img.wattpad.com/cover/247344887-288-k39705.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother
FanfictionJay mempunyai 6 adik, dengan sifat beragam. Terkadang dia gemas, kadang jengkel, dan kadang juga jadi bikin pengen masukin ke dalam kantong. St ; 2020 © 247EN-