Saat ini Lyana sedang mengikat tali sepatunya. Setelah kedua tali sepatunya sudah terikat dengan kencang, Lyana memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. Setelah itu, ia mengambil tasnya yang ia letakkan di atas kasur. Saat Lyana sedang menggendong tasnya, pintu kamarnya yang setengah terbuka diketuk oleh ibunya. Lyana menoleh ke arah pintu.
"Sayang, kamu sudah siap?" tanya Bu Ryana yang memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar Lyana.
"Udah kok, Ma," jawab Lyana sembari berjalan menghampiri sang ibu.
"Kalau begitu kita sarapan, yuk? Papa dan Dyana sudah menunggu di bawah," ajak Bu Ryana sembari tersenyum.
"Ayo Ma." Lyana menutup pintu kamarnya. Kemudian, Bu Ryana dan Lyana menuruni anak tangga beriringan.
"Pagi Pa, pagi Dek," sapa Lyana begitu tiba di ruang makan.
"Pagi Sayang," balas Pak Andra.
"Pagi Kak," balas Dyana.
"Sekarang kan sudah lengkap, ayo kita sarapan," suruh Bu Ryana.
"Lyana, hari ini kamu diantar oleh Pak Didit ya? Papa harus mengantar dan mengurus berkas-berkas perpindahan sekolah Dyana yang masih belum selesai. Kamu tidak apa-apa kan, jika diantar oleh Pak Didit?" tanya Pak Andra di sela-sela makannya. Lyana mendongak dan mengangguk pelan.
"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Lyana yang masih menyunyah roti yang ada di dalam mulutnya sembari tersenyum.
"Ya udah, kalo gitu Lyana berangkat ya, Ma, Pa, Dek," pamit Lyana setelah meneguk setengah gelas susu yang sempat dibuatkan oleh Bu Ryana.
"Iya Sayang, kamu jangan sembarangan jajannya, ya?" pesan Bu Ryana yang diangguki oleh Lyana.
"Oke Ma."
"Hati-hati di jalan ya, Sayang? Maaf Papa tidak bisa antar kamu. Oh ya, Papa hampir lupa. Jangan lupa kamu cari ruang TU saat tiba di sekolah." Kini giliran Pak Andra yang berpesan.
"Iya Pa, nggak apa-apa kok. Kalo gitu Lyana berangkat dulu, ya?" pamit Lyana lagi sambil mencium punggung tangan ayah dan ibunya bergantian kemudian mengelus kepala sang adik.
"Hati-hati Kak," ucap Dyana setengah berteriak dan hanya diacungi jempol sebagai balasan oleh Lyana.
****
Lyana telah tiba di depan sekolahnya. Ia menduga bahwa lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Maka dari itu, Lyana bergegas untuk membuka pintu mobil. Namun ketika ia ingin membuka pintu mobil, Pak Didit membuka suara.
"Non," panggil Pak Didit yang mampu menghentikan aktivitas Lyana.
"Iya Pak?"
"Nanti pulangnya mau dijemput atau bagaimana, Non?" tanya Pak Didit.
"Pak Didit nggak usah jemput Lyana. Nanti Lyana bisa naik angkot atau taksi online aja," tolak Lyana halus.
"Yang benar, Non?" tanya Pak Didit memastikan.
"Iya Pak, benar. Ya udah kalo gitu Lyana masuk dulu ya, Pak? Sebentar lagi bel," pamit Lyana kepada Pak Didit sembari membuka pintu mobil.
"Iya Non, semangat belajarnya ya? Jangan lupa cari ruang TU, Non."
"Oke Pak, siap." Lyana berlari masuk ke dalam gedung sekolahnya. Tiba di parkiran, Lyana mulai kebingungan dalam mencari letak ruang TU. Selain gedung sekolahnya yang sangat luas, murid di SMA Jayakarta cukup banyak, ditambah lagi Lyana sedikit telat datangnya.
Di depan Lyana terdapat tiga orang siswa laki-laki yang sedang duduk di atas motornya masing-masing sembari bercanda. Lyana mencoba untuk menghampirinya untuk bertanya letak ruang TU.
KAMU SEDANG MEMBACA
A DEAL [ON GOING]
Teen FictionKesepakatan tetaplah kesepakatan. Lalu bagaimana dengan perasaan yang tumbuh seiring dengan berjalannya waktu? Manakah yang harus diutamakan? Kesepakatan? Atau perasaan? Jika perasaan yang diutamakan, lalu bagaimana dengan kesepakatan tersebut? Dan...