07. Antara Kesepakatan Dan Perasaan

7 2 0
                                    


***HAI GUYS!

MAAF LAMA UPDATE-NYA, AKU SEDIKIT SIBUK. IYA, SIBUK. SIBUK SCROOLL IG DAN TIKTOK, WKWK.

TAPI TENANG AJA, MALAM INI AKU AKAN UPDATE CHAPTER TUJUH.

HAPPY READING GUYS!***

***

Sedari tadi, Lyana belum juga memejamkan matanya. Lyana terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan. Ia bimbang. Di satu sisi, Lyana menyepakati kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan, tetapi di sisi lain Lyana juga takut jika suatu hari Lyana melanggar kesepakatan tersebut. Apa yang harus Lyana lakukan?

Lyana mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, mencoba mendatangkan kantuknya, tetapi hasilnya nihil. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya tidak mendukung. Bagaimana caranya agar kantuknya datang dan rasa bimbangnya pergi?

Lyana membuka matanya dan bangun dari posisi tidurannya menjadi duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mendongak. Sudah pukul sebelas lewat tiga menit malam. Biasanya saat ini Lyana sedang mimpi indah, tetapi malam ini berbeda.

Tiba-tiba tenggorokan Lyana terasa kering. Ia menoleh ke arah nakas dan melihat gelas yang kosong. Lyana bahkan lupa untuk mengisi gelasnya tadi.

Lyana mengambil gelas yang berada di atas nakas tersebut kemudian keluar dari kamarnya untuk mengisi gelasnya di dapur.

***

Tiba di ambang pintu dapur, Lyana melihat adiknya yang tengah duduk sambil minuk segelas air putih.

"Belum tidur, Dek?" Dyana hampir saja memuntahkan air yang ada di mulutnya. Ia sangat terkejut atas kedatangan Lyana.

"Kakak ngapain di dapur? Jantung aku hampir copot tau, karena kaget," tanya Dyana yang yang masih terkejut sembari meletakkan gelas di atas meja dapur.

"Ngisi gelas. Kamu ngapain? Kenapa belum tidur?" tanya Lyana sembari menuangkan air ke dalam gelas yang tadi ia bawa.

"Lagi minum, tenggorokan aku kering banget rasanya. Aku belum ngantuk. Kakak belum tidur?" jawab Dyana sembari memperhatikan sang kakak yang sedang menaruh kembali teko keramik ke atas meja.

"Belum ngantuk juga."

Dyana mengangguk mengerti. Kemudian ia menghabiskan air yang masih tersisa sedikit di gelasnya.

"Nonton yuk, Kak?" ajak Dyana. Siapa tau saja dengan menonton film, kantuknya bisa datang.

Lyana tampak tengah menimang-nimang ajakan sang adik. Sepertinya akan menyenangkan daripada berjuang untuk memejamkan mata yang tak kunjung terpejam.

"Ayo." Dyana tersenyum senang, karena kakaknya mau menonton film bersamanya.

"Ya udah, kita nonton di kamar aku, yuk?" Lyana mengangguk setuju. Lyana dan Dyana keluar dari dapur dan berjalan menuju kamar Dyana. Mereka memutuskan untuk menonton film di kamar Dyana.

***

Lyana berjalan menyusuri koridor kelas sebelas dengan langkah gontai. Bukan karena ia masih mengantuk karena tidur sekitar jamntiga dini hari, melainkan rasa bimbangnya kembali datang.

Hingga tiba di kelas pun, ia tak bersemangat untuk berbicara. Suasana kelas masih sangat sepi, hanya ada dua siswa yang sudah datang itu pun kembali tidur.

Lyana menidurkan kepalanya di meja, dan kedua tangannya sebagai bantalnya. Ia masih terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan kemarin.

"Selamat pagi, Lyan," sapa Chania yang menirukan panggilan Ardhan. Biasanya, jika Lyana dipanggil seperti itu, Lyana akan protes, namun kali ini tidak. Chania mengerutkan kedua alisnya bingung.

"Lyan? Hello?" panggil Chania lagi.

"Hm." Akhirnya Lyana menyahut. Chania dan Christy membalikkan bangkunya seperti biasa kemudian mereka duduk dan menatap Lyana lekat.

"Lo kenapa, Ly?" tanya Alisa sambil menaruh tasnya.

"Nggak apa-apa," lirih Lyana. Alis Alisa, Chania, dan Christy semakin menyatu. Mereka saling menatap bergantian.

"Ly, nggak biasanya lo kayak gini. Lo lagi ada masalah?" tanya Chania penasaran.

"Cerita sama kita, Ly." Lyana membenarkan posisi duduknya sembari menghela napas berat.

"Kemarin gue buat kesepakatan sama Ardhan."

"Kesepakatan?" ulang Alisa yang masih tidak mengerti

"Coba lo jelasin yang detail, supaya kita ngerti," ucap Chania tidak sabar. Lyana kembali menghela napas.

"Tapi kalian janji ya, jangan sampai ada yang tau tentang ini?"

"Iya, kita janji."

"Ardhan udah punya pacar namanya Alia dan Ardhan sangat mencintai Alia." Lyana mulai bercerita.

"WHA―HHMMP. IH, SA. APA-APAAN SIH, LO?" Belum saja Chania menyelesaikan kalimat terkejutnya, Alisa sudah lebih dulu membekap mulut Chania.

"Gue tau, lo pasti teriak setelah ini. Makanya gue langsung bekap." Chania hanya mendengus tanpa suara.

"Lanjutin, Ly."

"Lalu, kemarin gue buat kesepakatan sama Ardhan, isinya bahwa di antara gue dan Ardhan nggak boleh ada yang memiliki perasaan lebih. Karena Ardhan nggak mau persahabatan kita dan hubungannya sama Alia hancur hanya karena perasaan. Tapi sekarang gue bingung―"

"Bingung kenapa?" potong Christy cepat. Chania menatap Christy tajam.

"Lyana belum selesai!"

"Lanjut, Ly," suruh Alisa.

"Sejak Ardhan ngasih tau gue kalau dia udah punya pacar, perasan gue kayak ada yang beda, tapi gue nggak tau apa penyebabnya. Bukan cuma itu, di dalam hati gue yang paling dalam, ada sedikit rasa nggak ikhlas saat tau Ardhan punya pacar. Lalu, setelah gue buat kesepakatan sama Ardhan, gue jadi kepikiran. Di satu sisi, gue udah menyepakati kesepakatan yang kita buat, tapi di sisi lain, gue takut kalau suatu hari gue melanggar kesepakatan itu. Gue harus gimana?" jujur Lyana dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.

"Lo cemburu sama Ardhan," sahut Chania dengan penuh keyakinan.

"Maksudnya?"

"Lo kan tadi bilang, bahwa lo nggak ikhlas saat tau Ardhan punya pacar, itu artinya lo cemburu sama Ardhan."

"Cemburu? Gue nggak suka sama Ardhan," sangkal Lyana.

"Lo belum menyadarinya, Ly. Dari apa yang lo ceritain ke kami, gue mengambil kesimpulan bahwa lo udah suka sama Ardhan, tanpa lo sadari dan tanpa lo ketahui kapan rasa itu hadir. Yang jelas, lo suka sama Ardhan sejak sebelum lo tau Ardhan udah punya pacar."

"Gue setuju sama Chania," sahut Alisa.

"Gue juga," sambung Christy.

"Nggak mungkin gue suka sama Ardhan, kita tuh sahabat, lagipula kita udah buat kesepakatan."

"Kenapa nggak mungkin? Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, sekali pun lo berangan ingin menggapai bulan. Jika Tuhan telah berkehendak, maka itu semua akan terjadi," ujar Alisa tenang.

"Persahabatan dan sebuah kesepakatan tidak menjamin seseorang tidak akan menyukai sahabatnya sendiri. Bukti nyatanya ada di depan gue," sambung Chania.

"Di dalam sebuah persahabatan antara laki-laki dan perempuan jarang ada yang bertaham lama, bahkan hampir nggak ada. Baik si laki-laki maupun si perempuan pasti ada yang memiliki perasaan lebih yang tumbuh begitu aja tanpa ada izin dari si pemilik hati," lanjutnya lagi. Sedangkan Lyana masih bingung dengan perasaannya sendiri. Jujur, ia sangat takut jika yang dikatakan sahabatnya benar. Lyana takut jika nanti ia melanggar kesepakatan yang sudah dibuat bersama Ardhan.

***

*MAAF YA KALAU CHAPTER INI AGAK PENDEK. SEMOGA KALIAN SUKA SAMA CERITANYA.

MAAF JUGA KALAU CERITANYA GARING DAN LAMA UPDATE. AKU AKAN USAHAKAN UNTUK SERING UPDATE, KOK.

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK, DAN SEE YOU ON NEXT CHAPTER.***

A DEAL [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang