1. Frekuensi Bertemu

1K 88 0
                                    

Off Jumpol dan Gun Atthaphan adalah dua lelaki yang sudah menjalin pertemanan sejak mereka kecil.

Beberapa tahun yang lalu keluarga Gun baru saja pindah ke kota dan kebetulan mendapatkan sebuah tempat tinggal yang cocok di komplek perumahan tak jauh dari pusat mobilitas warga. Sebagian besar penghuni di gang perumahannya adalah para pasangan muda dengan usia pernikahan masih sebesar biji jagung. Rata-rata dari mereka telah memiliki anak, namun tidak ada yang sudah sebesar Gun. Karena itulah di awal kepindahan keluarganya, Gun tidak memiliki tetangga yang bisa ia ajak main bersama.

Semua berubah ketika anak laki-laki berumur 6 tahun itu pergi bermain sendiri seraya mengendarai sepeda di taman komplek perumahannya. Suasana sore hari begitu melekat dengan angin berhembus sepoi-sepoi, beberapa kali menyibak poni pada rambut Gun yang mulai melebihi alis. Pandangan menjadi tidak fokus dan ini menyebabkan si anak mungil pun oleng dan jatuh dari sepeda yang ia kendarai. Gun tidak menangis, tapi rasa sakit segera menjalar pada bagian tubuh sebelah kiri. Wajah anak itu meringis menahan perih, siku dan lututnya berdarah karena terhantam paving berbatu.

Gun menoleh ke kanan dan kiri, berharap bisa menemukan seseorang yang dapat membantunya keluar dari kondisi memalukan ini. Taman komplek perumahan saat itu sedang sepi, hanya ada dirinya saja yang terduduk menahan sakit pada tubuhnya. Berkat kenyataan itu, perasaan panik mendadak muncul pada diri Gun, tak tahu lagi harus melakukan apa. Bagaimana dirinya bisa pulang dengan keadaan seperti ini? Hari sudah semakin larut, apakah ia akan tinggal dan tidak pulang ke rumah? Lalu, apa orang tuanya akan marah?

Tinggal menghitung waktu saja air mata Gun akan menetes tapi tak lama kemudian, ada sepasang sepatu muncul memenuhi pandangannya yang terarah pada paving di bawah. Gun pun mendongak dan mendapati seorang anak laki-laki bertubuh kurus nan tinggi berdiri seraya menjulurkan tangan tepat di depan wajahnya. Anak itu berkeringat, bercak basah membanjiri beberapa bagian dari kaus yang ia kenakan, napas pun juga terengah-engah. Walaupun begitu, sebuah senyuman tipis melengkung di wajahnya. "Sini aku bantu, adik kecil."

Anak laki-laki kurus dan tinggi itu—yang kemudian diketahui bernama Off—bertempat tinggal di gang sebelah perumahan Gun, kebetulan saja ia sedang melewati taman tersebut karena masih satu jalur dengan arah pulangnya. Kemudian sudut pandangnya melihat Gun yang duduk seraya memegang lutut dan siku yang terluka. Tanpa memikirkan hal lain, anak lelaki berumur 8 tahun itu segera menghampiri, menolong, dan mengantar Gun pulang kembali ke rumah.

Hanya dengan sebuah momen sederhana pertemanan di antara keduanya dimulai. Sejak itu, Off dan Gun sering bermain bersama. Jarak usia berbeda dua tahun tidak menghalangi keduanya dalam berteman. Off sempat mengira bahwa Gun adalah anak berumur 4 tahun yang ajaibnya sudah bisa menaiki sepeda roda dua. Saat si anak lelaki jangkung menceritakan hal tersebut, wajah Gun langsung berubah cemberut karena secara tersirat Off telah menganggapnya sangat pendek. "Off jahat! Aku tidak sependek itu tahu!" Gun tidak marah, itu hanya gimik dalam berekspresi saja agar Off merasa bersalah nantinya. Sebuah candaan, toh setelahnya mereka juga tertawa terbahak-bahak.

Waktu demi waktu berlalu, Off dan Gun tumbuh menjadi dua lelaki remaja. Mereka bersekolah di tempat yang berbeda, namun ketika berangkat di pagi hari, keduanya selalu berangkat bersama walaupun hanya sampai di depan gerbang komplek perumahan. Setelahnya, Off yang sudah menduduki bangku kelas tiga di Sekolah Menengah Pertama akan menaiki angkutan umum menuju ke tempat ia menuntut ilmu sedangkan Gun merupakan murid kelas satu di jenjang yang sama hanya berjalan kaki—sekolahnya terbilang cukup dekat dari perumahan.

Kesibukkan mulai dirasakan oleh kedua remaja tersebut. Pekerjaan rumah, ulangan harian maupun kerja kelompok, membuat frekuensi bermain semakin berkurang. Off terutama, karena sebentar lagi ia akan memasuki jenjang lebih lanjut yaitu Sekolah Menengah Atas. Waktu itu, si remaja jangkung sempat membicarakan hal ini pada Gun saat mereka berdua sedang bersantai di teras belakang rumah Off. Keduanya duduk di tangga menuju kebun seraya menikmati cahaya matahari yang syukurlah tidak begitu terik.

"Gun," panggil Off dengan pandangan lurus ke depan. Kaki-kaki panjangnya diselonjorkan sedangkan kedua tangan di belakang, menjadi berat tumpuan badan kurusnya.

Gun yang di awal sedang sibuk memotong kuku kaki, kemudian mengalihkan fokus sejenak pada remaja di sebelahnya. "Ya?"

"Kau tahu kan sebentar lagi aku akan masuk SMA?"

Lelaki mungil itu mengangguk.

"Itu artinya tugas-tugas sekolah akan semakin padat. Bahkan lebih susah dari jenjang SMP."

"Iya, aku tahu."

"Aku... memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi jika waktu itu nantinya datang," ucap Off kemudian menghela napas perlahan, "dan ada suatu hal yang ingin aku tanyakan padamu. Memastikan lebih tepatnya."

Fokus Gun kali ini sepenuhnya menatap Off. Perubahan suara lelaki jangkung itu membuatnya mengabaikan sejenak pemotong kuku di tangan serta kuku kaki yang bahkan belum setengahnya terpotong rapi. Ia pun memiringkan kepalanya, merasa sedikit heran. "Hal apa?"

Setelah sekian lama, Off pun menoleh. Lelaki itu menatap tepat pada bola mata cokelat terang milik Gun—terlihat indah di bawah sinar matahari. Terdiam sesaat lalu bersuara, "Apakah kau tidak apa-apa, jika nantinya kita akan jarang bermain dan bertemu lagi?"

Sunyi.

Satu detik. Dua detik. Tidak ada satu pun dari mereka bersuara. Gun yang mendengar pertanyaan Off hanya bisa menunjukkan raut datar di wajah tapi perlahan ekspresi tersebut hilang karena mendadak lelaki mungil itu tersenyum, deretan gigi putihnya bahkan mengintip sedikit dari balik bibir. Tatapan yang Gun layangkan seakan menganggap pertanyaan Off barusan adalah sebuah lelucon belaka. Kepala Gun menggeleng perlahan. "Kau... serius?"

"Tentu saja. Kenapa memangnya?"

"Off, aku bukan lagi anak kecil berumur enam tahun yang selalu mengikutimu kemana pun kau pergi,"

". . ."

"Seiring bertambahnya umur, walaupun saat ini aku masih terbilang bocah yang sedang beranjak remaja, tentu aku tahu bahwa dunia ini tidak selamanya diisi dengan bermain saja,"

". . ."

"Lagipula, kita sudah berteman berapa tahun sih Off, sampai-sampai kau harus menanyakan hal seperti itu padaku?"

Off sedikit terkejut dengan perkataan Gun. Dalam hati ia takjub, sangat takjub dengan pemikiran dewasa milik anak lelaki mungil di sebelahnya. Off berpikir, betapa hebatnya kedua orang tua Gun mendidik anak hingga memiliki pemikiran yang bisa dibilang dapat melampaui anak seumurannya. Remaja jangkung itu bahkan sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, otak kembali berpikir untuk apa bertanya tentang hal yang bisa saja dengan mudah ia tahu jawabannya. Batin pun juga ikut menyetujui perkataan Gun barusan.

Namun Off sebagai Off tidak mau menunjukkannya. Ia pun menjawab seraya mengalihkan pandangan lagi, kali ini disengaja. "Y-Ya aku hanya memastikan!"

Bisa disimpulkan bahwa hasil akhir dari pembicaraan adalah Gun tidak masalah dengan keadaan mereka—berkemungkinan akan jarang bertemu. Off pun juga merasa lega, kekhawatiran yang beberapa hari ini membelenggu dalam dada akhirnya menguap bersama canda tawa keduanya.

Frekuensi bertemu bukanlah penghalang bagi Off dan Gun untuk sekedar berkomunikasi dan meluangkan waktu bersama. Semua orang tahu bahwa di mana Off berada, maka di sampingnya akan ada Gun, si lelaki mungil dengan mata cokelat terang bagaikan emas mengkilap. Walaupun tidak dapat menghindari fakta bahwa terkadang keduanya masih belum terbiasa ketika dipisahkan oleh banyak kegiatan, Off dan Gun tetap bersyukur karena sebenarnya jarak tak lagi berarti jika komunikasi di antara keduanya masih bisa dijaga dengan saling berbicara lewat ponsel.

Setidaknya untuk saat ini. Karena bagi mereka, itu sudah lebih dari cukup.

IN THE EYE OF A HEARTBEAT • offgun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang