Hujan deras hampir setiap harinya selama semingguan ini dan aku orang yang selalu menyiapkan segalanya, kecuali hari ini. Nggak bawa payung, benar-benar lupa. Penyakit yang menyesatkan, lupa.
Setelah turun dari bus kota, aku memutuskan untuk berteduh saja terlebih dahulu, di halte bus. Aku sih nggak terlalu takut untuk terkena hujan atau ikut menari dengan hujan, tapi orang di rumah bisa lebih heboh dari seorang dokter.
BRUMM.. SPLASH!!
Sebuah kendaraan tanpa sopan santun melaju cepat digenangan air yang ada di jalan tepat di depan ku. Aku pun membuka mulut untuk mengumpat.
"WOI!! SIALAN!"
Aku mulai tersentak dengan suara berat dan lantang di telingaku. Aku mengarahkan mataku ke asal suara, dan bertemu bagian lengan seseorang di samping kananku. Kutelusuri lengannya ke atas sampai aku bergumam sendiri.
"Ya Tuhan, sungguh sempurna ciptaanMu." Ucapku pelan, sangat pelan.
Kedip... kedip...
Nggak lama kemudian mata kami beradu pandang. Ah, nggak mungkin dia nggak merasakan dirinya diperhatikan seperti ini. Laki-laki itu memiringkan sedikit kepalanya sedikit menunduk melihatku dan mengangkat alisnya, matanya seakan berkata mau cari mati liat-liat aku?
Aku mengatupkan bibirku dan memalingkan wajah darinya. Sedari tadi mulut ini terbuka, bikin malu. Ku pukul-pukul mulutku pelan sekali. Bodohnya.
Aku mencoba melirik ke arah kanan lagi untuk melihat ciptaan Tuhan ini dan dari arah lain, nggak hanya aku yang melihat sosok ini, tapi hampir semua orang di halte itu memperhatikannya.
Tinggi, kekar, kulit nggak hitam, nggak juga putih, pas sangat pas. Rambut seperti kebanyakan laki-laki luar biasa, tetapi ini jauh lebih indah. Bayangkan saja, hujan pun begitu riang menari menyentuh rambutnya yang hitam. Definisi kata sempurna, seperti ini tepat di depan mata.
Bandingkan dengan tinggiku, huh, hanya sampai lengannya saja. Apa yang aku pikirkan? Sudahlah fokus ke hujan.
Hujan pun tidak berhenti sampai sekarang, mendung begitu rata yang artinya hujan akan awet sampai malam tiba. Kuputuskan untuk pergi dari halte dan menerobos hujan. Aku yakin sampai rumah, Bunda ku yang lebih heboh. Sedangkan aku memang lebih suka bermain dengan hujan. Sangat suka.
"Aku pulang." Ucapku sampai rumah.
"Aduh, Non. Bisa kehujanan gini. Nggak minta jemput Bapak?"
Aku menggeleng, "Bapak sudah tua." Aku terkekeh kepada mbak Ami, yang lebih sering dipanggil mbak Mi.
"Siapa bilang tua?" sahut laki laki hampir paruh baya.
"Ayah yang tua." Aku tertawa geli sembari menuju kamar.
Setelah membersihkan badan dari sisa-sisa hujan, aku mengeringkan rambutku dan menuju ruang pakaian. Memilih pakaian kemudian turun ke dapur.
"Mbak Mi, Bunda ke mana?"
Mbak Mi sibuk menyiapkan makan malam. "Arisan, Non."
Aku mengambil gelas, membuat susu hangat. "Ayah mana?"
"Ke proyek lagi, katanya ada yang belum di cek."
Mbak Mi adalah pengasuhku, dari sebelum aku lahir Mbak Mi sudah ikut dengan orang tuaku sampai aku dewasa begini, dan sampai saat ini dia belum mau menikah. Entah kenapa karena itu aku sering menggodanya. Mbak Mi sudah menjadi bagian dari keluarga selama bertahun-tahun lamanya, setelah orang tuanya meninggal dan menjadi sebatang kara tanpa keluarga lain, Ayah dan Bunda mengajaknya untuk ikut dengan kami, hingga saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST
RomanceSaat kepercayaanmu menghilang dan yang ingin dipercaya kembali datang, apakah akan berhasil? Siapa yang membuat cerita ini rumit, menyalahkan orang lain tanpa tau bahwa bisa saja itu semua kesalahan diri sendiri. Jika orang lain menginginkan kebahag...