Hari-hari setelahnya, yang aku ingat hanya orang tuaku, lagi dan lagi. Tanpa tangis, tanpa terisak layaknya anak kucing tertinggal. Entah bagaimana lagi caraku mengekspresikan kesedihanku, tangis, terisak, sakit, pedih sudah aku rasakan hingga habis sudah semua rasa ini.
Hari kelulusanku adalah hari yang teramat pedih. Kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan tragis tak terselamatkan. Bahkan terjadi di depan mataku sendiri dengan begitu cepat tanpa bisa kucegah. Seharusnya menjadi lebih indah untuk dikenang ternyata menjadi hari paling menyiksa dalam hidupku.
Ayah, Bunda, semoga anakmu ini bisa menjalani hidup dengan baik tanpa kalian. Setelah kelulusan ini apa yang akan aku lakukan?
Aku melihat keluar jendela lantai dua, kulihat sosok laki-laki yang kemarin datang. Berdiri di depan pintu gerbang yang tak begitu jauh dari rumah.
"Apa yang dia lakukan?" Gumamku. Dan tak lama kemudian dia meletakkan sesuatu di pintu gerbang sebelum pergi berlalu.
Aku berjalan keluar, melihat satu kuntum bunga mawar putih yang terselip. Andai ada Pak Tok, dia pasti mengintrogasi orang yang nggak dikenal menyentuh gerbangnya.
Seketika, ketiga orang meninggalkanku begitu cepat. Tanpa kabar. Hidup dan mati seseorang memang tidak ada yang tau, semua itu rahasia Tuhan.
Kubiarkan saja bunga itu tetap pada tempatnya. Aku benar-benar tidak ingin melakukan apapun. Lalu aku kembali ke dalam rumah. Bahkan rumah ini terlalu besar untuk tinggal berdua saja. Rumah Ayah dan Bunda. Beberapa hari ini aku ingin sendiri, kuminta Melly untuk nggak datang dulu ke rumah.
"Mbak, Mi." Mbak Mi terlihat melamun di belakang halaman, entah rumput atau tanaman mana yang disiram.
"Eh, Non." Dia mengusap air matanya.
Aku mendekat memeluk mbak Mi dan bersandar di bahunya. "Sekarang kita cuma berdua, Mbak."
Mbak Mi mengangguk pelan, dibelainya tanganku pelan.
"Aku belum kerja, apa kita ngegembel aja Mbak?" Tanyaku menggodanya dia pun merasa geli mendengarnya. "Atau Mbak Mi aku jual aja ke turis biar Mbak Mi dapat jodoh, aku dapat uang."
Dicubitnya lenganku. "Aw.."
"Non ini bisa aja bercanda."
"Daripada kita gak ada uang Mbak."
Kami pun tertawa pelan bersama. Hanya Mbak Mi yang aku punya sekarang. Aku yakin, makin dia bersamaku, dia nggak akan pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
* * *
Beberapa minggu berlalu. Aku mencoba mengerti apa yang dilakukan Ayah selama menangani perusahannya. Aku diajarkan oleh tangan kanan ayah untuk bisa mengerti apa saja yang ada diperusahaan. Aku yakin nantinya aku akan mengerti. Aku sungguh merasa tenang karena ayah memiliki tangan kanan dan pegawai yang benar-benar baik.
Sepulang dari kantor aku menepikan mobilku. Ku ambil handphone-ku yang ada di dalam tas kecilku.
"Halo Mbak Mi. Siap-siap aku jemput sekarang ya. 30 menit lagi aku sampai."
Setelah menjemput Mbak Mi, aku pergi ke swalayan, kami sudah lama tak membeli bahan makanan. Waktu tetap berjalan dan kami harus tetap menjalaninya. Ayah dan Bunda pasti tak ingin anaknya terlihat tak terawat. Aku tahu itu.
"Kita masak apa, Non?"
"Entah, ambil apa saja dah untuk beberapa hari ke depan."
Setelah dari swalayan, kami pergi ke mall terdekat. Mengajak Mbak Mi shopping.
"Pilih yang Mbak Mi perlukan, apa aja Mbak."
"Eh jangan Non, kita harus irit."
"Eh?" Aku bingung. Lalu mengingat percakapan sebelumnya dengan Mbak Mi. Lalu aku tertawa geli. "Kita nggak bangkrut kok, Mbak. Aman. Masih bisa beli apapun yang kita mau. Silahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST
Любовные романыSaat kepercayaanmu menghilang dan yang ingin dipercaya kembali datang, apakah akan berhasil? Siapa yang membuat cerita ini rumit, menyalahkan orang lain tanpa tau bahwa bisa saja itu semua kesalahan diri sendiri. Jika orang lain menginginkan kebahag...