Prolog

126 17 4
                                    

"Reun-ah, ayo menikah saja."

Sejamang, Jung Areun menunduk. Tak berani membalas tatapan dari si pria bermanik sipit yang tengah duduk di hadapannya. Menatap lurus tanpa berpaling. Seolah menunggu jawaban apa yang meluncur dari belah bibir Areun dengan baik. Si gadis sendiri tidak tahu harus merespon bagaimana. Menunduk dengan bola mata yang bergerak gusar menatap sekeliling hanya agar menghindar dari tatapan lurus yang tak juga berpaling darinya.

"Kenapa, Reun? Lagipula kita sudah mengenal cukup lama."

Memang. Memiliki hubungan baik selama delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Areun tahu itu. Kendati demikian, pria itu dengan mudahnya meluncurkan ucapan mengenai topik sensitif seolah itu bukanlah perkara besar. Lantas Areun kembali menunduk. Memainkan ujung bajunya dengan bibir bawah yang digigit kuat. Menelan ludah getir dengan jantung yang mendadak seperti ditekan kuat-kuat. Tak kuasa untuk meluncurkan sebuah jawaban tatkala berkata.

"Menikah bukanlah jalan keluar yang tepat, Kak," sahutnya. Pria tersebut hendak melayangkan protes, kendati itu semua harus ditahan manakala Areun melanjut dengan nada kelewat tenang, sekalipun ujung bajunya teremas kuat, "Lagipula, kalaupun aku harus menikah, sudah pasti bukan Kak Yoongi orangnya."

Yoongi mengangguk. Sok paham. Sok mengerti. Dua tangannya terlipat depan dada. Punggungnya kini bersandar. Satu tangannya meraih cangkir berisi americano yang sejak tadi tak disentuh olehnya. Lekas menaruh cangkir membuat bunyi halus manakala mengenai permukaan meja, pria bermata sabit itu kembali menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan sedikit sesak dalam dadanya manakala labium itu kembali beraksara.

"Jungkook memintaku untuk menjagamu dengan baik, Reun," ucapnya, "dan seharusnya kau pun tahu, Jungkook pasti ingin yang terbaik untuk kita. Salah satunya adalah ..." menelan ludah getir dengan satu tangan yang terkepal kuat yang tersimpan di atas paha, Yoongi melanjut, "melanjutkan hidup dengan baik setelah ia pergi."

Ekspresi tenang yang sejak awal dilihat Yoongi mendadak hilang sekejap manakala sebuah nama itu meluncur saja dari bibirnya. Lima tahun sudah berlalu. Namun Yoongi berani bertaruh bahwa Jung Areun tidak sekalipun pernah membahas presensi Min Jungkook yang sudah sekian lama pergi dari kehidupan mereka.

Kendati demikian. Entah karena lamanya waktu yang telah berjalan sehingga mampu mengubah sosok yang dulunya Yoongi kenal sebagai gadis remaja manja yang kerap mengadu jika Jungkook melakukan sesuatu yang jahil padanya, kini berubah menjadi sosok gadis dewasa. Tenang sekali. Sesekali menyesap latte miliknya dengan kelingking yang mencuat dan badan yang duduk dengan tegak. Menyelipkan helaian rambut sebahunya ke belakang telinga, Jung Areun serta merta menanggapi.

"Itu semua sudah lama, Kak. Lagipula, kau harusnya bisa melihat bagaimana aku saat ini. Bukankah aku terlihat baik-baik saja?" gadis itu mengedikkan bahu. Yoongi hendak menanggapi sebelum kembali dipotong manakala Areun melanjutkan ucapannya, "tidak usah terlalu memberatkan ucapan bocah delapan belas tahun. Itu sudah berlalu sangat lama. Seperti yang Kak Yoongi lihat saat ini. Aku bisa menjaga diri dengan baik."

Yoongi menghela, mengetuk permukaan meja dengan jemarinya secara bergantian, "Di matamu itu mungkin bukan apa-apa, tapi di mataku ... itu adalah wasiat terakhir yang adikku berikan sebelum kepergiannya."

"Kalau begitu tidak usah menikah," Areun menolak secara terang-terangan, netranya membalas tatapan lurus Yoongi, "kau bisa kembali menjadi kakakku. Seperti dulu. Hal tersebut nampaknya jauh lebih mudah daripada harus mempersulit diri untuk masuk ke jenjang pernikahan. Pernikahan itu sakral, Kak. Dan sejak dulu Kak Yoongi juga pasti tahu, bahwa aku bukanlah orang yang main-main untuk hal serius macam ini."

"Bagaimana jika aku tidak mau?"

"Itu urusan Kak Yoongi. Jangan mempersulitku dengan menyangkutpautkan aku ke dalam kehidupanmu, Kak. Karena sungguh, aku benar-benar tidak ingin ikut campur dengan semua urusan keluarga Min. Itu semua sudah berakhir."

"Ini semua belum berakhir, Reun," Yoongi sedikit tidak terima. Badannya yang semula bersandar kini tengah terduduk tegap. Perlahan mulai menyondong dengan siku yang sudah berada di ujung meja dan jemari yang tengah bertautan.

Areun bukan tidak mau melihat dan membalas tatapan Yoongi. Tidak pula berani manakala ketika melihat mata sabit yang tengah menatapnya lurus itu, ada banyak sekali arti dari perasaan yang tengah dirasa oleh si pria. Areun berani bertaruh bahwa itu semua bukanlah perasaan baik manakala tatapan sendu itu tak juga berpaling darinya.

"Ini semua sudah berakhir," ucap Areun, final. Nampak jelas tidak mau memperpanjang suasana, "bukankah kita sudah berjanji untuk melanjutkan hidup masing-masing, Kak? Lantas, kenapa harus kembali dan menguak luka lama? Kita sama-sama tahu bahwa ini bukanlah opsi yang tepat untuk dipilih."

"Justru itu, Reun," Yoongi kembali berucap. Menjilat bibir bawahnya yang sudah kering, lantas pria itu kembali berucap, "waktu memang sudah berjalan. Hidup kita juga sudah berjalan. Seperti kau dan aku yang nampak baik, kita sudah menata hidup sebaik dan semampu kita."

"Tapi, Reun," pria itu kembali melanjut, "Baik kau dan aku, kita sama-sama tahu. Bahwa atensi kita selalu berpusat pada satu poros yang sama."

"Reun," lelaki itu kembali memanggil. Membuat Areun yang sejak tadi memalingkan pandang, mau tak mau harus kembali saling beradu pandang manakala jemari Yoongi di dagunya yang membimbingnya, "hidup kita memang sudah berjalan, but deep inside, we're not actually moving on."

Yoongi kembali menunduk, dua tangannya lantas tergerak untuk meraih tangan Areun. Menggenggamnya dengan erat seolah membawa kehangatan dan sebuah keyakinan yang tengah ia gaungkan sejak tadi. Areun diam saja. Membiarkan apa yang Yoongi lakukan padanya sekalipun dalam hati, keteguhan yang selalu ia bangun dengan sebuah dinding kokoh sebagai representasinya itu seolah hancur lebur tak bersisa.

Tidak cukup sampai sana. Yoongi kembali berkumandang. Cukup jelas untuk sampai ke telinga Areun dan membuat gadis itu tak juga melupakan apa yang pria Min itu katakan bahkan sampai kepulangan mereka.

"Mari bersama-sama saling menyembuhkan diri. Lupakan Jungkook, dan hidup bahagia." []

Strings that Connected Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang