"What hurts more? The memory of a goodbye moment with tears or.... a silent untold goodbye?"
- Swaleha
***
Reisya
Banyak yang mengatakan, hasil gak pernah mengkhianati usaha.
Awalnya gue percaya. Untuk itu, sebisa mungkin gue selalu memaksimalkan usaha gue supaya hasil yang gue dapatkan juga maksimal. Tanpa sadar, gue berubah menjadi sosok yang gak pernah merasa cukup dengan usaha gue. Setiap kali gue merasa usaha yang gue lakukan udah maksimal, udah cukup besar, justru di mata orang lain itu belum ada apa-apanya.
Cukup.
Gue gak pernah tau cukup itu seperti apa.
Gue gak pernah tau porsi cukup yang sebenarnya.
Karena seringkali, cukup untuk gue gak selalu berarti cukup untuk orang lain pula.
"Nilai kamu turun, ya, Rei? Naikin lagi, ya? Sayang banget kalau sampai turun. Dua bulan lagi pemeringkatan SNMPTN loh. Yuk, dipush lagi di UAS minggu depan!"
Gue hanya bisa menghela napas lelah saat keluar dari ruang BK untuk konseling nilai. Seingat gue, nilai gue kemarin gak begitu jelek, tapi gak tau kenapa masih terasa kurang di mata guru-guru gue. Mereka selalu menyuruh gue untuk terus berusaha lagi. Entah sampai kapan gue harus terus berusaha. Entah kapan usaha itu akan sampai di titik cukup untuk mereka.
Dan akhirnya, gak ada yang bisa gue lakukan selain mengikuti perintah mereka; berusaha lebih keras lagi. Seringkali gue melewatkan jadwal makan gue, mengikis waktu istirahat gue, menolak ajakan teman-teman gue untuk main di luar karena gue gak punya waktu untuk itu.
Karena setiap kali gue merasa usaha gue udah cukup maksimal, ada aja orang yang mengatakan pada gue untuk jangan cepat puas dan terus berusaha lagi.
Kata cukup itu rasanya terlalu jauh untuk gue sentuh.
Namun, gue masih percaya pada kalimat, "Hasil gak akan pernah mengkhianati usaha," jadi gue sama sekali gak keberatan saat disuruh untuk berusaha lebih keras lagi. Meskipun sejujurnya gue lelah. Meskipun ada suatu masa dimana gue pengen menyerah.
Sampai akhirnya pengumuman SNMPTN tiba. Anehnya gue gak merasa begitu antusias saat mengetikkan NISN dan tanggal lahir gue pada web LTMPT yang baru bisa gue akses malam ini karena dari siang sampai sore webnya error. Gue membuka pengumuman itu seorang diri di dalam kamar. Sengaja, karena jujur gue emang pesimis lewat jalur ini.
Dan benar. Kotak merah yang gue dapatkan.
Gue emang gak antusias, tapi bohong kalau gue bilang gue gak sedih.
Malam itu gue berjalan menghampiri kedua orang tua gue yang berada di beranda rumah. Mereka menyambut gue dengan senyum hangat saat gue mengatakan kalau gue gak lolos pada jalur ini. Harusnya senyum itu menenangkan, tapi gue malah merasa terbebani. Gue merasa gue udah mengecewakan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Been Through
General Fiction[One shot collection] ••• It's just about the people and what they have been through; pain, trauma, sorrowness, remorse. They never called themselves as the strong human, but learn how to be the one of it.