Bandung terlihat begitu indah di malam hari. Satu minggu berlalu setelah Zizi memutuskan untuk ikut Papanya pindah ke Bandung. Meskipun begitu, Zizi masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya.
Gadis yang menggunakan sweater putih untuk menghangatkan tubuhnya itu berjalan menyusuri trotoar di temani ramainya pengendara motor yang berlalu lalang. Ramainya jalan raya kota Bandung tidak bisa membuat hatinya yang hampa jadi senang. Setidaknya Zizi bisa merasakan tenangnya hati di tengah bayang-bayang pahit yang terus menghantuinya.
Zizi memutuskan untuk duduk di kursi besi yang tersedia di trotoar. Ia melihat lurus ke depan dengan pemandangan cafe yang sudah tutup. Tiba-tiba riuh keributan terdengar. Terjadi bentrok antar dua kubu yang membuat satu dengan yang lain adu jotos.
Zizi tetap tenang dan tidak panik, gadis itu masih duduk tenang seperti sedang menonton teater. Zizi selalu berpikir untung apa yang mereka dapat dari keributan itu? Jika menang apa mereka akan dapat mendali? Jika kalah, apa mereka akan mendapat biaya asuransi? Entahlah Zizi tidak ingin tahu dan tidak mau tahu.
Keributan itu membuat para pengguna jalan raya terpaksa berhenti, takut menjadi korban keributan mereka. Dan alhasil jalan raya macet, para pengguna kaki pun berlarian menyelamatkan diri mereka.
Meskipun keributan itu semakin brutal dan semakin berada di depannya tidak membuat seorang Zizi memiliki niat untuk beranjak. Orang-orang sudah meneriaki Zizi agar menjauh dari sana namun Zizi memilih mengabaikannya. Ya, Zizi berharap ada sesuatu yang akan mengenai kepalanya dan membuat dirinya hilang ingatan.
"Awas!" teriak orang-orang saat melihat ada balok kayu yang mengarah pada Zizi. Bukannya menghindar, Zizi justru pasrah dan memejamkan matanya berharap setelah ini ia akan lupa segalanya.
Zizi tidak merasakan sakit apa pun kecuali pelukan dan deru nafas seseorang. Zizi membuka matanya, mendongak menatap orang yang melindungi dirinya.
Manik hitam legam, bulu mata melantik serta alis yang tebal di miliki oleh pria itu. Nafasnya ngos-ngosan, pelipis terluka, sudut matanya legam dan sudut bibirnya berdarah.
Cowok itu mengusap keringat yang keluar dari keningnya, lalu menarik Zizi pergi ke tempat yang lebih aman. Setelah jauh dari tempat keributan cowok itu menatap heran Zizi.
"Lo nggak liat ada orang tawuran di depan lo?" tanya cowok itu dengan nada tinggi.
"Liat kok, gue kan nggak buta," jawab Zizi tenang.
"Terus ngapain lo masih di sana?" Ganesa tidak habis pikir ada gadis yang tenang berada di dekat orang tawuran.
"Itu kan tempat umum. Siapa aja boleh aja di sana."
"Tapi keadaannya beda! Di sana itu lagi ada tawuran dan harusnya lo pergi!"
"Kenapa harus gue yang pergi? Yang salah tempat kan lo sama teman-teman lo."
Ganesa mengeram kesal, gadis di depannya itu benar-benar tidak tahu terimakasih dan angkuh. Sudah di selamatkan bukan berterimakasih malah nyolot.
"Kalau gue nggak selamatkan lo, mungkin tadi balok kayu itu udah mengenai kepala lo!" kesal Ganesa.
"Ngapain lo menyelamatkan gue? Gue kan nggak minta. Harusnya lo biarin balok kayunya kena kepala gue," kata Zizi santai. Ia merogoh tasnya mencari sesuatu.
Ganesa menganga mendengar jawaban dari gadis itu. Memang benar-benar sudah tidak waras.
"Lo ngerti bahaya nggak sih? Lo bisa aja jadi korban tadi!"
Zizi mengabaikan dan menempelkan hansaplast di pelipis cowok itu yang terluka. Ganesa terdiam menahan nafas ketika gadis itu tiba-tiba memasangkan hansaplast di pelipisnya.
"Udah tau bahaya kenapa masih ikut tawuran? Gak perlu pikirin orang lain, pikirin diri sendiri aja dulu. Itu membahayakan diri lo sendiri apa nggak?"
Zizi berlalu begitu saja setelah mengucapkan itu dan membuat cowok itu terdiam. Untuk peduli dengan orang lain harus di mulai dari diri kita sendiri. Jika kita tidak bisa menjaga diri kita dari bahaya itu sendiri kenapa harus peduli pada orang sekitar?
****
M
enarik nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya ke sekolah yang baru. Hari baru, sekolah baru dan seragam yang baru. SMA TRIBARTA, sekolah baru Zizi di Bandung.
"Selamat datang di sekolah gue tercinta," sambut seorang pria di samping Zizi. Namanya Fery. Fery Priawan, sepupunya di Bandung.
"Harus banget ya gue satu sekolah sama lo?" malas Zizi memutar matanya jengah.
"Ya, gimana ya, gue kan cuma jalani perintah Tante Ifi buat jagain lo."
"Perasaan hidup gue aman-aman aja lo pindah ke sini, kenapa jadi harus satu sekolah lagi?" miris Zizi.
Sebelum Fery pindah ke Bandung ikut orang tuanya, mereka selalu satu sekolah sejak TK hingga SMP. Dan sekarang mereka harus satu sekolah lagi di masa SMA nya.
"Berarti semesta ingin kita selalu dekat, Zi."
"Najis!"
Fery terkekeh."Yuk, gue antar ke ruang kepsek."
Zizi dan Fery berjalan beriringan melewati koridor menuju kelas yang sudah kepala sekolah tetapkan untuk Zizi. Meskipun ia harus satu sekolah lagi dengan sepupunya, ia masih bersyukur karena tidak sekelas dengan Fery.
"Kenapa mereka pada liatin gue? Ada yang salah ya sama penampilan gue?" tanya Zizi heran.
"Mungkin karena mereka belum pernah liat cewek cantik."
Zizi memutar matanya malas."Jijik tau nggak!" Di puji oleh Fery tidak membuat Zizi tersanjung melainkan geli.
"Tapi serius Zi, kalau aja lo bukan sepupu gue, lo udah gue pacarin tau, nggak."
"Ya kalau pun lo bukan sepupu gue, gue juga nggak mau pacaran sama lo."
"Wait, wait, wait!"
Zizi dan Fery terpaksa menghentikan langkahnya saat ada seorang gadis berambut sepunggung menghalangi jalan mereka.
"Sekarang lo jujur nih cewek siapa lo?" todong gadis itu pada Fery.
Zizi dan Fery saling pandang satu sama lain.
"Cewek lo?" Fery menggeleng sebagai jawaban.
"Sori, gue nggak terima wibu di sini!" ujar Fery yang mendapat injakan kaki dari gadis itu. Fery membulatkan matanya menahan sakit.
"Sakit Wibu!"
"Sekarang lo jujur sama gue. Lo beneran pacar nih anak?" kini gadis itu menatap Zizi. Zizi yang merasa ngeri melihat gadis itu langsung menggeleng.
"Gue cuma sepupu nya," jujur Zizi. Gadis itu mengangguk-angguk lalu menyengir.
"Gue juga gak bakal percaya sih nih anak bisa punya secantik ini. Btw kenalin nama gue Indah," gadis itu mengulurkan tangannya pada Zizi.
"Zizi." Zizi menerima jabatan tangan dari gadis bernama Indah itu. Namun detik berikutnya Fery melerai jabatan mereka.
"Saran gue jangan mau temenan sama dia, Zi. Soalnya dia Wibu," bisik Fery namun masih bisa di dengar oleh Indah.
"Dasar banci!" Indah menendang tulang kering Fery membuat sang empu menjerit kesakitan.
"DASAR WIBU!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GANESA (RE-PUBLISH)
Humor[Proses Revisi] "Kamu belum memberitahu nama kamu." "Kenapa kamu ingin sekali mengetahui nama aku?" "Agar aku tidak melupakan kamu saat bertemu lagi nanti." "Aku tidak akan melupakan kamu." "Benarkah?" Anak laki-laki itu mengangguk dengan sangat ya...