Pagi tadi Zizi memutuskan untuk pergi ke salon untuk mewarnai rambutnya, padahal mulai lusa ia sudah masuk ke sekolah yang baru. Ya, Zizi memutuskan tidak hanya liburan ke Bandung tapi juga pindah sekolah. Karena masa proyek yang ditangani papanya akan berlangsung selama 6 bulan.
"Lo serius warnain rambut lo kayak gini? Lusa lo udah masuk sekolah Zizi," gemas Vero, sepupu Zizi yang tinggal di Bandung.
"Gue mau mulai semuanya dari awal, Ver, dari ujung rambut sampai kaki harus baru."
Zizi merasa puas setelah rambutnya yang hitam legam ia warnai berwarna merah burgundy. Dan kukunya ia pasangkan kutek warna serupa.
"Mana ada sih murid modelan kayak lo ini. Yang ada lo keliatan kayak mau manggung!"
"Ya udah sii gue nggak mau tau pandangan orang lain lagi ke gue itu gimana. Yang gue pengen sekarang itu, gue bisa melakukan apa pun yang gue mau tanpa harus pedulikan lagi statement orang ke gue. Diri gue itu hak gue."
Setahu Vero, sejak kecil Zizi berusaha selalu hati-hati dalam menjalani hidupnya. Ia paling takut dipandang buruk oleh orang lain, karena baginya omongan orang sangat berpengaruh untuk keberlangsungan hidupnya. Entahlah apa yang membuat gadis itu berubah sangat drastis.
"Sekarang temenin gue cari baju ya," ajak Zizi yang langsung merangkul lengan sepupunya itu.
Vero menghela napas gusar dan hanya pasrah diseret oleh Zizi. Padahal kemarin ia melihat Zizi masih murung dan pagi ini tiba-tiba gadis itu datang ke rumahnya dan memintanya menemani dirinya pergi ke salon.
"Lo juga bakal ganti style pakaian lo?" bingung Vero saat melihat Zizi memilih celana jeans dan kaos polosan. Padahal biasanya gadis itu sangat feminim dan hanya memakai dress atau rok setiap harinya.
"Kan gue udah bilang kalau gue bakal ubah semua yang ada di diri gue dari ujung rambut sampai kaki."
"Nyokap lo nggak apa-apa?"
"Gampang lah nanti gue bisa minta maaf," kata Zizi santai.
"Hahh, jadi lo belum bilang ke tante Ifi kalau mau warnain rambut?"
"Enggak. Makanya gue minta temenin ke lo."
Vero menepuk keningnya, tak habis pikir dengan perubahan Zizi yang teramat drastis. Padahal dulu Zizi adalah anak yang enggan mencoba hal-hal baru meski hal itu adalah hal yang sangat diinginkannya.
"Kalau tante Ifi yang ngomel gue masih bisa tahan tapi kalau om Reno.... Napas aja gue udah merinding," kata Vero dramatis.
"Aman. Justru karena papa, sekarang gue berani ngelakuin apa pun yang gue mau. Karena papa bilang akan selalu ada di pihak gue." Mengingat kembali perkataan papanya semalam membuat Zizi tidak bisa berhenti tersenyum.
*****
Ucapkan selamat datang kepada diri Zizi yang baru. Di depan cermin saat ini gadis itu berdiri dengan seragam putih abu-abu dan rambut panjang merahnya. Sebagai sentuhan terakhir, Zizi yang tak pernah memakai liptint ke sekolah kini memakainya. Ia ingin merasakan juga saat teman-teman seusianya memakai riasan ke sekolah dan menjadi buruan guru kesiswaan.
"Selamat pagiii!!" Ucap Zizi menyapa kedua orangnya dengan ceria di meja makan.
"Astagfirullah," sebut Ifi saat melihat penampilan putrinya yang begitu berbeda dan rambutnya yang hitam terlihat berwarna.
"Apa-apaan ini?" Ifi beranjak lalu memutar badan Zizi beberapa kali untuk memastikan anak gadis yang ada di depannya itu adalah anaknya. Zifia Angelica.
"Ini beneran anak mama?" bingung Ifi mencakup wajah Zizi.
"Beneran no fake fake,"jawab Zizi dengan bibir memanyun.
"Astagaaaa apa yang kamu lakuin pada diri kamu sih? Kenapa jadi kayak gini? Pa, liat anaknya," adu Ifi pada suaminya yang hanya sibuk menikmati roti selai di meja makan dengan santai.
"Kenapa sih orang cantik begitu," ujar Reno terlihat tidak mempermasalahkan sama sekali penampilan baru Zizi.
"Kayak orang gak tau aturan tau, pa. Anak ini tuh mau ke sekolah bukan fashion show!"
"Aturan dibuat memang untuk dilanggar, ma. Biarin aja Zizi melakukan apa yang dia mau selagi itu tidak merugikan dirinya dan orang lain."
"Papa? Kok anaknya malah di dukung buat jadi bandel?"
Reno terkekeh, pria itu berdiri menghampiri dua perempuan yang selalu mengisi hari-harinya dengan rasa syukur.
"Bandel baiknya seorang anak itu tidak diukur dari penampilannya, ma. Kalau pun anak kita bandel itu wajar di usianya yang sekarang, karena dia masih remaja, masih masa-masanya memberontak."
"Tapi pa...."
"Kepercayaan orang tua itu sangat berarti bagi seorang anak. Dia harus berani mengekspresikan dirinya dengan percaya diri tanpa rasa takut. Jika masyarakat memiliki pandangan yang buruk tentang anak kita, dia masih bisa berdiri dengan percaya diri karena masih memiliki kita yang selalu percaya dan mendukungnya. Kalau kita sebagai orang tua saja meragukan jalan yang anak kita pilih, bagaimana dia akan berkembang?"
Ifiana tak bisa menyangkal lagi, semua yang dibicarakan oleh suaminya itu benar. Anaknya tidak bisa terus berada di zona aman karena untuk survive di dunia yang keras ini, Zizi harus berkembang, harus berani dan percaya diri.
"Dengar tuh kata papa," ejek Zizi mencolek lengan ibunya yang terdiam beribu bahasa.
"Terus nanti gimana kamu ke sekolah dengan penampilan gini? Emang gak dimarahin?"
"Pasti dimarahin. Tapi yaudah itu urusan nanti pas di sekolah."
"Biasanya kamu paling takut kalau dimarahin. Kenapa sekarang malah pengen banget dimarahin?" bingung Ifi.
Zizi mengembangkan senyumnya dengan penuh bangga. Ia merangkul bahu ibunya lalu berkata, "karena mulai sekarang Zizi yang baru ini akan melawan dunia dengan segala gebrakan barunya!"

KAMU SEDANG MEMBACA
GANESA (RE-PUBLISH)
Humor[Proses Revisi] Bertemu Ganesa itu sebuah anugerah... anugerah yang teramat Zizi syukuri. Dia laki-laki yang mampu menyusun kembali kepingan hatinya yang hancur berantakan. Ganesa selalu menepati janjinya untuk tidak mengecewakan. Sayangnya, ia tida...