Seperti apa kata Ibu malam itu, tidak mudah mendapatkan pekerjaan dikeadaan seperti ini. Sudah terhitung berapa kali Bapak mencoba melamar kerja dimana saja dan hasilnya tetap saja sama. Begitupula dengan Nana.
Belum lagi, ketika walikota mereka mengumumkan bahwa akan diadakannya lockdown membuat harapan keluarga kecil itu musnah seketika.
"Nana fokus sama ujian aja ya, biar Bapak sama Ibu yang mikirin gimana kedepannya," ucap Bapak disuatu malam yang dingin.
Nana hanya duduk termenung disudut kamarnya, bahkan ia sudah tidak selera untuk membuka buku-buku nya. Ia biarkan mereka teronggok tak berdaya diatas meja belajarnya yang semakin jarang ia jamah.
Nana ingin marah dan menyalahkan semuanya. Tapi melihat Anna yang diam-diam suka menangis diatas buku-buku nya, Ibu yang suka termenung didapur setiap malam dan Bapak yang merokok dengan frustasi dibelakang rumah. Membuat Nana kembali berpikir ulang, kalau semua keluarganya mempunyai bebannya masing-masing, egois kah Nana jika ia masih ingin berbagi bebannya dengan mereka?
Dan jawabannya selalu iya. Karena sejak hari dimana Bapak di PHK hingga saat ini, bahkan Nana tak pernah diizinkan untuk egois barang sekali.
Ditengah lamunannya yang entah kapan akan berakhir, ponselnya berdering dan menampilkan nama salah satu temannya. Sebenarnya Nana sedang malas untuk berbicara dengan siapapun, tapi ini bukan kali pertama teman-temannya mencoba terus menghubunginya karena Nana yang menghilang sejak diumumkannya lockdown dikotanya.
"Halo."
"Nah, akhirnya tuan muda angkat telpon juga."
"Kenapa?"
"Lo yang kenapa! Gak ada kabar, main ilang gitu aja kayak sangkuriang."
"Apaan sih lo, gak papa gue."
"Gak usah kek cewek deh jawabannya selalu gak papa."
"Ngapain sih? Udah malem juga."
"Memastikan lo masih hidup."
"Selama belum dapet kabar duka ya berarti masih hidup."
"Mulut lo lemes banget anjir."
"Ya udah, kenapa lo telpon?"
Sebenarnya itu adalah pertanyaan bodoh yang Nana lontarkan, ia tahu pasti mengapa Jeno menelpon kala itu. Tapi Nana masih terlalu gengsi untuk sekedar mengatakan bahwa ia tidak baik-baik saja.
"Besok ikut ngumpul sama anak-anak, lu tuh udah jadi bahan cari-carian tau gak. Gak kasian sama mereka hah?"
"Hah?! Ngumpul? Besok? Gila ya lo?! Mana boleh!"
"Ck! Maksud gue tuh ngumpul online, lewat zoom."
"Oh, iya ikut."
"Beneran ya? Gue cekek lu sampe boong."
"Bacot bener! Iya beneran."
"Oke. Bye."
Tut.Nana menatap ponselnya dan mendengus kesal, kebiasaan Jeno yang tidak pernah berubah. Mematikan panggilan seenaknya.
Lalu lelaki itu kembali terjebak pada lamunannya lagi, ntah apa yang akan ia katakan pada teman-temannya besok. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya tentang keadaannya? Atau haruskah Nana berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja?
Lelah berpikir tentang apa yang terjadi pada hidupnya. Nana tertidur dipojok kamarnya, dalam tidurnya ia selalu berharap. Ketika ia terbangun nanti, bukan keadaan seperti ini yang ia dapati. Dan seperti yang kalian tahu bahwa harapan ya akan selalu menjadi harapan.
![](https://img.wattpad.com/cover/250279658-288-k731992.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada 2020 | Na Jaemin✔️
FanfictionIni hanya sebuah utas, tentang Nana yang merayakan kehilangan dan kepiluan di 2020. Tentang tahun yang merenggut habis banyak tawa para anak bumi. "Semoga 2021 lebih baik dari 2020." Tidak akan Nana lontarkan kalimat itu seperti setahun yang lalu...