Aku penasaran tentang suatu hal.
"Lee Hangyul."
Tangan lembut yang menyeka air mataku berhenti ketika aku memanggil namanya. Dia menatap mataku, dengan tatapan lembut tapi intens, seolah bertanya apa yang ingin kukatakan.
"Bagimu aku ini apa?"
Tangannya bergerak seolah mengunci posisiku, dengan menyeka air mata yang masih tersisa disudut pipiku, dan satu tangan lainnya menyilangkan rambutku ke bagian belakang telingaku.
"Aku..? Ada apa denganmu?" Ucapnya terdengar menggelitik di telingaku.
Melihat sisi lain dari Lee Hangyul saat ini, membuat jantungku berdebar lebih kencang lagi. Aku meyakinkan pada diriku bahwa jantung ini berdebar hanya karena pertanyaan yang dia ajukan. Namun ini membuatku gila karena Lee Hangyul yang begitu dekat dan dengan lembut membelai rambutku. Aku tidak bisa menyangkalnya. Dia membuatku sangat berdebar-debar sekarang.
Hei...
Lee Hangyul... Apa yang sedang kamu lakukan padaku?
Aku tidak bisa berbicara. Tidak, aku benci untuk berbicara. Aku benci untuk mengakui bahwa aku peduli padamu, kau yang menghancurkan aku begitu saja dan kau juga yang menghancurkan hati ini.
Aku terus terdiam, di sisi lain mata intens miliknya terus-menerus berkeliaran di depanku.
"K-kau, kenapa tidak menjawab pertanyaanku?." Ungkapku dengan sedikit terbata-bata.
Hangyul tersenyum pahit. Senyuman matanya yang polos itu terlihat tajam tanpa aku ketahui apa yang ada di dalam gelapnya mata itu. Tubuhku menciut, bersentuhan dengan tubuhnya membuat otot-otot ku semakin menegang.
Ia tertawa dengan mata mesum, seolah-olah membuatku ingin memilikinya sendiri. Ah, jantungku mulai berdebar lagi.
Seperti sebuah bisikan yang menyuruhku untuk melepaskan harga diriku dan pergi bersamanya, dan memastikan bahwa dia akan menjauhkan ku dari semua gangguan.
Begitulah godaan manis mulai berkeliaran di pikirkan dan kepalaku.
"Apa menurutmu? Bukankah kita hanya teman?" Suara Hangyul tiba-tiba menghancurkan angan-anganku.
Aku tidak mengharapkan jawaban yang seperti itu. Entah dari mana keegoisan ini datang, dan rasanya aku benar-benar ingin dia menganggap ku lebih dari itu. Dadaku semakin sesak, air mataku mulai mengalir, lagi.
Aku terisak lebih keras. Tanganku yang lemah terus saja memukul dada bidang miliknya. Aku benar-benar terlihat menyedihkan saat ini. Rasanya aku seperti terjatuh dalam sebuah permainan konyolnya. Tubuhku merosot, hanya sebuah kaki panjang yang menghadapku. Itu bahkan lebih melegakkan dari angan-anganku bahwa dia akan menenangkan ku dalam pelukannya.
Namun, tangan itu merengkuh ku, mendekap ku, bahkan menenggelamkan wajahku ke dalam dada bidangnya. Aku menangis, hingga merasakan tubuhku yang semakin tidak imbang. Detik itu juga otot-otot dalam tubuhku seperti tidak bekerja.
Malam ini saja, aku mencoba terlelap dalam dekapannya. Samar-samar ia berbicara, suara yang tidak bisa kudengar dengan jelas. Mungkin aku akan menyesalinya, namun tubuh ini benar-benar sudah terlelap, dalam kehangatan tubuhnya yang mendekap ku sangat erat.
×××
Waktu tentu saja terus berlalu, hingga di akhir November yang menenangkan ini. Liburan musim dingin sudah datang, dan yang aku lakukan hanyalah mengurung diri di rumah.
Sebenarnya sesekali aku menghabiskan waktu untuk berlatih menggambar. Aku mencoba menekuni hobi baru, dan membuatnya agar lebih bermanfaat. Aku mengikuti kelas menggambar, tapi karena musim dingin ini, kelas juga ikut diliburkan.
Tidak ada yang spesial, tidak ada hari yang membuatku terkesan. Hanya saja, aku merindukan laki-laki itu. Mungkin aku merindukan sekolah juga, karena hanya di sanalah alasan untuk aku bisa melihatnya.
"Lee Hangyul, sedang apa kamu?" Aku berbicara dengan seekor kucing yang secara tidak sengaja melintas di halaman rumahku.
Aku terduduk didepan pintu sambil memeluk kedua kaki dengan dagu yang menopang pada lutut.
"Jo Ahra!" Seseorang berteriak memanggil namaku, membuatku terbangun dan dengan semangat untuk menemuinya.
"Lee Hangyul? Ada apa kau kemari?"
Hangyul berdiri dengan 2 kap plastik di tangannya. Ia tersenyum, dan itu membuatku terheran-heran.
"Aku melihat ini, dan tiba-tiba teringat kalau kau suka sekali dengan Corndog." Ia menyodorkan 1 kap plastik kearahku, "Ambilah, gratis."
Aku tersenyum, dan menerimanya dengan senang hati. "Ingin mampir dulu?" Tawarku padanya.
"Tidak apa? Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Mereka orang yang ramah."
Setelah itu kami menghabiskan waktu bersama. Aku tidak menyangka akan menikmati Corndog bersamanya di dalam ruangan ini. Aku terduduk di depan tungku untuk menghangatkan tubuh, ditemani Lee Hangyul yang memainkan gitarnya untukku.
Sejak kejadian malam itu kami menjadi dekat, bahkan dengan terang-terangan ia pernah mengatakan bahwa aku adalah miliknya saat seseorang menggangguku.
Tapi tidak pernah sekalipun aku mendengar jika dia memiliki perasaan lebih untukku. Lalu aku hanya perlu untuk pura-pura tidak peduli dan mengikuti semua segala alur konyolnya.
Saat itu aku merasa bahwa kejanggalan seperti sedang terjadi. Aku melihatnya yang terus-menerus tersenyum sambil memainkan alunan gitarnya, terdengar seperti nada yang tidak beraturan. Nada yang mengutarakan bagaimana perasaan pemainnya, itu sungguh berantakan.
"Jo Ahra, kenapa?"
Seperti dipaksakan, bukankah jari itu merasa kesakitan? Aku terdiam karena mendalami permainannya. Nada-nada yang semakin memekikkan telinga, ada apa dengan suasana hatinya? Bahkan bibir itu tidak berhenti untuk tersenyum.
"Hangyul, ada apa denganmu?"
©osscarios
KAMU SEDANG MEMBACA
Without You ; Lee Hangyul
FanfictionAku akan memilih untuk mencintaimu, jika dicintai hanya membuatku, kehilanganmu. Copyright ©2021, Osscarios