Kejadian sembilan tahun silam, takkan pernah mungkin bisa aku lupakan, takkan pernah. Semua itu pasti tersimpan baik dalam memori kepalaku.
_
FLASHBACK>
Aku terbangun di sebuah kamar, kamar yang terlihat asing bagiku. Aku terduduk, mulai mengingat-ingat kenapa aku disini.
"Ibu," lirihku, aku ingat ... Aku mengingat semuanya. Perlahan butiran-butiran air mata itu jatuh, aku menangis sejadi-jadinya setelah mengingat.
Pandanganku teralihkan oleh knop pintu yang memutar, berarti akan ada yang masuk.
Seseorang itu masuk, dengan nampan berisikan makanan, "Bibi!" Aku berteriak saat melihat siapa yang memasuki kamar ini, itu bibiku, adiknya mamah. Aku bersyukur yang membawaku bibi, bukan orang jahat.
Bibi yang melihat air mataku, segera menghapusnya, "Pamanmu akan melaporkan ini ke pihak polisi, drey tenang saja ya," ujar Bibi Eya, mencoba meyakinkan dan menenangkan ku.
Aku mengangguk, menghapus air mata walaupun air matanya keluar kembali, setidaknya aku sudah meyakinkan jika aku harus kuat.
"Bagaimana dengan ibu, Bi?" tanyaku, terlihat Bibi Eya menghela nafas. Melihat ekspresi itu, sudah cukup menjawab pertanyaanku.
"Bi, lalu bagaimana dengan kehidupanku?" ucapku sambil sesenggukan. Bibi menggenggam tanganku, "Kau tenang saya drey, Bibi Yang Akan mengurusmu seterusnya," ujar Bibi, masih menggenggam tanganku. Aku mengangguk, setidaknya aku tak terlantar dan ada yang mengurus.
"Makan dulu makananmu, dan tenangkan pikiran." Bibi beranjak dari ranjang, lalu melangkahkan kaki ke arah pintu.
Aku menghela nafas, "Sehancur inikah hidupku?" Monolog ku.
FLASHBACK OFF>
_
Aku tersentak saat ada yang menepuk punggungku, kukira itu hantu, ternyata hanya Jack. "Rapat akan segera dimulai, jangan terus melamun!" ujarnya, aku mengangguk mengiyakan.
Aku segera beranjak dari taman itu, kemudian berjalan ke arah pintu berwarna coklat tua. Sudah ada empat orang disana. Ada Jack, Aray, Wilon, dan Denise disana, mereka menatapku dengan tersenyum aneh, "Kenapa?" tanyaku pada mereka.
"Kemari, kita akan menjelaskan," jawab Aray. Aku mengangguk lalu berjalan ke arah tempat duduk sebelah Aray, "Cepat jelaskan," ucapku penasaran.
"Cepat jelaskan!" Aku kembali mengulang ucapanku.
"Soal banyaknya kasus pembunu--" Segera aku memotong ucapan Aray, ini terlalu bertele-tele, aku tak ingin banyak basa-basi. "Tak usah bertele-tele, to the point saja! Cepat jelaskan," ucapku.
Baru saja Aray akan membuka mulut, "Kau akan menyamar menjadi siswa di sekolah itu," Namun ucapanya dipotong oleh Jack tetlebih dahulu. Aku tersentak oleh jawaban itu, why? Kenapa harus aku. "Aku tak mau!" Aku jelas menolaknya.
Wilon menggeleng, "Aku tak mau tau! Harus kau! Titik!!" Wilon berucap sambil melotot ke arahku. "Aku tak ma--" ucapaku dipotong olehnya. " Harus kau! Titik!!" Lagi-lagi dia melotot ke arahku, semoga saja bola matanya tak copot keluar.
"Kenapa kalian memutuskan, tanpa persetujuan ku? Kenapa?" tanyaku. Tapi tak ada satupun yang menjawab, mereka membisu.
Aku kesal, lalu meninggalkan ruang itu. Kulihat mereka masih membisu, sudahlah aku tak peduli.
***
Sekarang aku berada di kamarku, sedari tadi aku hanya mendengarkan lagu, sambil sesekali menengok ke arah luar jendela. Terdapat bulan dan banyak bintang disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Assassin's School
FantasyApa yang ada dalam kepala kalian, jika mendengar nama sekolah? Pendidikan, murid, guru, buku, pelajaran? Ya, sebagian besar orang pasti menjawab seperti itu. Berbeda dengan sekolah satu ini, Assassin's School. Sekolah untuk melatih siswanya agar men...