Bab 2. Sakit Hati.

142 3 0
                                    

"Angkot si Seno itu belum dibawa pulang!" Pak Saleh sangat marah.  Ia melihat garasi mobil hanya terdapat sembilan mobil, satu mobil belum datang. Padahal ini sudah pagi, waktunya para sopir kembali mengeluarkan mobilnya dan berangkat meraih rupiah.

Ketika para sopir berjumlah sembilan orang berdatang untuk mengambil mobil masing-masing. Pria muda bernama Seno itu tak terlihat di antaranya. Selain tidak setor sewa, rupanya pria kampung itu juga tidak membawa pulang mobil dari semalam.

Di teras Pak Saleh berjalan mondar-mandir sambil menghisap rokok. Sesekali tanganya mengusap wajah kusutnya. Lelaki paruh baya itu mengkhawatirkan nasib angkotnya akan hilang dilarikan Seno, maklum pernah kejadian angkot miliknya dibawa kabur salah satu karyawan dan dijual di luar kota.

Berkali-kali pak Saleh menggaruk-garuk rambut, menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Bibirnya tiada berhenti mengoceh, mengatai, dan menyumpahi pria dari kampung itu, "Dasar sopir bodoh! Tidak tahu diri! Awas kau, aku doakan apes selalu."

Sang putri--Alina-- menggeleng-geleng, "Bapak, terlalu berlebihan." Ia mengelus dada, tak pantas sang bapak berbicara sekasar itu dengan Seno. Toh, lelaki itu tidak pernah berbuat salah. Meski Alina tidak tahu persis cara Seno bekerja, tapi ia belum pernah mendengar teman-teman sopir Seno membicarakan kekurangannya.

Di dalam dapur, dengan segudang kesibukan di pagi hari. Jemari-jemari kurus Alina mengolah bahan-bahan makanan, menjadikannya sarapan pagi. Semenjak sang ibu meninggal lima tahun lalu, praktis peran di dapur ia yang menggantikan. Begitu setiap hari, sebelum berangkat ke kampus, ia bangun pagi sekali untuk memasak, membereskan rumah, dan mencuci pakaian.

Kebetulan hari ini Minggu, ia lebih santai menyelesaikan tugas rumah. Malahan ia sengaja menambah masakan lebih banyak untuk para pekerja Pak Saleh. Hitung-hitung berbagi dengan mereka, karena tanpa jerih payah mereka orang tuanya juga tidak akan sekaya sekarang.

Pak Saleh tadinya hanya memiliki satu angkot, berkat kegigihan bekerja kini menjadi sekitar sepuluh angkot. Disewakan kepada sopir dengan tarif sewa sehari sekitar tiga ratus ribu.

Kesembilan sopir angkot datang tepat jam enam pagi, terkecuali Seno. Lelaki itu tak tampak batang hidungnya.

Pak Saleh menggeram marah, lagi-lagi sopir baru itu datang terlambat. Dari pintu gerbang matanya melihat Seno melangkah gontai. Badan pria itu masih terlampau lemah untuk berjalan. Seharusnya ia istirahat di rumah, menyembuhkan sakit terlebih dulu. Ia memaksa badannya yang masih sakit demi bisa mengganti biaya pengobatan anak kecil korban kecelakaan itu.  Badannya sangat lemah,  ditambah lagi dari semalam ia belum menelan sesuap makanan. Ia terus berjalan mendekati ke teman-temannya sambil menahan perut yang menendang-nendang minta diisi.

Wajah Seno juga sangat pucat, bibirnya mengering dan rambutnya terlihat acak-acakan.

"Kamu sakit, Sen?" tanya teman-teman Seno memperhatikan wajah pria di hadapannya.

"Aku baik-baik saja," sahut Seno tersenyum kecil. Ia terus melangkah menuju Pak Saleh yang berdiri sambil menatap penuh kekesalan.

"Pagi, Pak Saleh," sapa Seno berdiri menghadap lelaki tua yang menyimpan kekesalan.

"Mana mobilmu?" tanya Saleh tanpa basa-basi. "Kau jual, heh?"

"Di rumah sakit, Pak. Maaf, mobilnya aku gunakan untuk jaminan."

"Apa?" Wajah Pak Saleh langsung memerah. Ia mendadak bertambah marah. "Sinting, ya, kendaraan orang dipakai untuk jaminan. Mikir pakai otak!"

Lelaki itu terdiam serambi menahan amarah.

"Tolong, Pak. Pinjamkan aku uang. Senilai dua puluh juta, apa pun akan kulakukan. Asal bapak pinjamkan uang itu. Aku rela tak digaji sampai utangku lunas."

Ranjang TernodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang