Kata orang, butuh dua puluh satu hari untuk membentuk suatu kebiasaan baru. Aku rasa, itu tidak benar-benar bekerja baik padaku.
Kira-kira aku sudah menghitung berapa waktu berlalu sejak jejak kakimu memilih mundur. Satu bulan? Kurasa begitu, atau mungkin lebih. Entahlah, rasanya masih seperti semenit yang lalu kau mengucap maaf tanpa mengecap rasanya.
Malam-malam ku lewati dengan hampa. Tidak ada yang berubah, dunia masih tetap berputar meski aku sendirian memeluk rasa sakit. Orang-orang masih bisa tertawa oleh guyonan walau aku merasa sedih sendirian.
Rasa hampa itu tidak bisa ku deskripsikan layaknya dongeng malam. Berulang kali mengecek kabar, berharap ada satu pesan masuk bahwa kau menyesal menghempas ku begitu saja. Namun nyatanya kosong, harapan hanyalah harap, dan itu cukup menggores hatiku sekali lagi.
Hal itu berlangsung berulang kali, berhari-hari, sampai rasanya semua hal tampak salah dimata ku. Seolah-olah aku akan lenyap jika tak bertemu muka denganmu.
Tersenyum seperti orang bodoh, bertingkah seolah-olah tidak pernah terjadi apapun disini. Aku menutupinya rapat-rapat, padahal semiotikku biasanya mudah terbaca.
Sayangnya kukira aku akan terbiasa, akan melupakannya seiring waktu merangkak enggan. Nyatanya, senyum juga tawamu masih melayap diingatan, kerap merembesi mimpi ketika malam datang.
Dan malam ini, aku gagal lagi untuk terbiasa tanpamu. Malam ini pun, aku masih merindukanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Upaya Melupakan
Short StoryPernah patah hati? Apalagi patah sebelum sempat bisa kamu miliki. Rasanya bagaimana? Sakit? Kalau aku sih lebih kearah hampa dan sesak yang berlebihan. Tulisan ini di dedikasikan untuk pejuang move on di luar sana. Tidak akan pernah mudah, aku tahu...