Three

1K 180 1
                                    

Rosé menggeram frustasi. Ia menggenggam pena-nya dengan erat seraya menatap kesal pada kertas kosong yang ada di hadapannya.

Ia saat ini tengah kebingungan.

Ia ingin menulis lirik lagu yang tadi sempat muncul di otaknya.

Tapi sialnya, ia sama sekali tak mengingatnya.

Otaknya kosong, semua memori yang tersimpan di otaknya hilang begitu saja.

Sebentar lagi ia akan debut solo.
Para penggemar sudah menunggu lama dan begitu antusias menantikannya, dan ia tak mau mengecewakan mereka.

Ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, mulai rekaman, latihan koreografi dan setelah itu Agensi bisa mencari waktu yang tepat untuk merilis album mini pertamanya.

“Fuck...” Ia mengumpat pelan, lalu memukul sisi kepalanya berharap semua ide cemerlang yang tadi ada di otaknya bisa kembali sehingga ia dapat menulisnya.

Tapi tetap saja.

Sekuat apapun ia mencoba, otaknya tetap kosong.

Ia tak bisa mengingatnya.

Ia tak bisa mengingat apapun.

Kenapa ia selalu melupakan hal–hal penting sekarang?

“Rosie, sudah hentikan”

Rosé tak menggubris. Ia malah menghela nafas gusar lalu menatap kertas yang ia pegang itu dengan kesal.

“Sialan.. Otak sialan”

“Rosie, sudah hentikan”

“Sial”

“Rosie!” Jennie langsung berteriak kesal karena sedari tadi ia terus di acukan oleh Rosé.

“Pulanglah, tinggalkan aku sendiri” Jawab Rosé

Kedua alis Jennie menukik tajam.
“Aku tak akan pulang kalau kau masih disini”

Rosé memejamkan mata. Tangannya mulai gemetar, kepalanya berdenyut-denyut nyeri.

“Ku bilang pulang!”

Jennie menggelengkan kepalanya.

“Aku tak akan pulang jika tak bersamamu...”

“Ku bilang pulang ya pulang! Apa kau tuli?!” Sentak Rosé

Tubuh Jennie terlonjak kaget dengan sentakan Rosé barusan. Matanya mulai berkaca-kaca dan bibirnya sudah melengkung ke bawah, dengan kasar ia bangkit dari duduknya lalu berbalik menuju pintu sambil terisak pelan.

Brak!

“Sialan”

Rosé memukul kepalanya lalu berdiri dan berlari menyusul Jennie.

“Eonni! Tunggu!” Ia berteriak dengan lantang tak mempedulikan tatapan bingung para Staff.

“Eonni! Aku minta maaf!”

Jangankan menyahut. Jennie bahkan tak menoleh sedikitpun ke arahnya.

“Eonni, maafkan aku” Rosé kembali berujar sambil mencoba menggenggam tangan Jennie, tapi gadis itu menepisnya.

“Eonni..”

“Aku minta maaf”

“Eonni...”

“Maafkan aku”

“Eonni...”

Rosé menghela nafas. Dengan sedikit kasar ia meraih pergelangan tangan Jennie sehingga tubuh mungil gadis itu menghadapnya.

“Maaf..”

Jennie tak menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil terisak.

“Hiks.. Lepas, aku mau pulang”

“Kau tak mau menungguku?” Tanya Rosé

“Kan tadi kau mengusirku” Ketus Jennie tanpa menghentikan isak tangisnya.

Rosé tersenyum tipis.
“Sebentar lagi pekerjaanku selesai. Kita pulang sama-sama ya,”

Jennie mendelik.
“Tidak mau. Aku mau pulang sendiri, lepaskan tanganku”

Rosé mengeratkan cekalannya lalu memeluk Jennie erat-erat.
“Maafkan aku... Aku tak bermaksud membentakmu”

Jennie kembali terisak. Masa bodo dengan Rosé yang tengah mengusap punggungnya sambil sibuk mengangguk-anggukkan kepala kepada para Staff yang berlalu lalang.

“Hiks... Lepas, aku mau pulang..”

Rosé menghela nafas.
“Iya, kita pulang sekarang. Jangan menangis,”

Jennie menggeleng seraya mencoba melepaskan pelukan Rosé.
“Lepas! Aku mau pulang!”

“Iya, kita pulang sekarang”

“Aku mau pulang sendiri!”

Rosé mengernyit saat kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri.
“Kita pulang sekarang”

“Aku bilang aku mau pulang sendiri!”

Jennie yang memang sudah sangat kesal hanya mendengus sambil melepaskan pelukan Rosé dengan paksa lalu berbalik pergi.

Rosé menghela nafas gusar lalu kembali melangkahkan kakinya menyusul Jennie.

“Eonni..”

“Eonni, hei...”

“Eonni maaf—” Ucapan Rosé terhenti, ia refleks memegang sisi kepalanya saat pandangannya tiba-tiba mengabur dan tak lama kemudian ia terbaring tak sadarkan diri di lantai.

“ROSIE!”

•••

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang