SKETSA

9 2 0
                                    

Hai. Aku Ruby. Aku suka menggambar, bersahabat dengan kertas dan pensil. Mengabadikan setiap momen, memerhatikan, kemudian menggores setiap garisnya di atas kertas. Bagiku, menggambar sangat menyenangkan. Mengambil sudut pandang berbeda, melihat tekstur tekanan garis, menciptakan suasana mengaggumkan dalam setiap hasilnya.

Sayangnya, hingga sekarang aku belum bisa menggambar sketsa wajah. Membuat hasilnya sama persis seperti sang pemilik wajah. Sudah puluhan kali aku mencoba, namun tetap nihil. Aku tahu, ini hanya butuh kerutinan latihan hingga goresan pensilku bisa menjiplak satu sketsa wajah seseorang. Meski terkadang aku mulai lelah berlatih, tetapi rasa sukaku terhadap menggambar terlalu besar. Membuatku terus menggores kertas, terus mencoba.

Sama halnya dengan saat ini, di depan kelas aku kembali berlatih. Mencoba menggambar sketsa wajah, hasilnya buruk. Membuatku segera menutup buku sketsa, dan lebih memilih menatap lapangan sekolah yang selalu ramai kala jam istirahat.

"Hai, Ruby."

Seperti biasa Aldi datang menghampiri. Beberapa siswi kelasku menyapanya disertai senyuman. Sikap dan tingkahnya yang ramah serta menyenangkan, membuat cowok berparas manis itu lumayan terkenal di sekolah. Apa lagi jika dia tersenyum bahkan tertawa, banyak yang menyukainya termasuk aku –tidak ingin membohongi diriku sendiri, jadi aku mengakuinya saja.

Dia.... temanku. Ya, Aldi itu temanku. Kami hanya berteman, tidak lebih. Meski, raut wajahku berkata ingin lebih. Tetapi, ada yang sedang membuat pikiranku pusing akhir-akhir ini. Entah karena aku yang tidak memahami keadaannya atau aku yang tidak mengerti diriku.

Kami hanya sekedar teman satu angkatan. Tapi Aldi sangat mempercayai semua keluh-kesahnya padaku, selalu menceritakan masalah yang sedang dialaminya, bahkan sampai menceritakan hal-hal kecil yang tidak berguna. Begitupun denganku, sering menceritakan kegiatan sehari-hari padanya. Lalu apa? Kami sahabat?

Semakin membingungkan dengan sikap Aldi yang terkadang manis padaku.

Seperti minggu lalu, saat kami bermain ke taman kota. Dia sangat menyukai kucing, begitu pula aku. Setiap akhir pekan, kami mengunjungi pameran kucing yang diselenggarakan di taman kota.

Kala itu, seekor kucing mendekatinya. Senang sekali bermain-main dengan tali sepatu Aldi, "dia menyukaimu." Kataku seraya membelai lembut kucing itu.

"Tidak usah heran, sudah jelas banyak yang menyukaiku. Dari siswi junior bahkan sampai seekor kucing juga." Aku tertawa mendengar candaannya. Tingkat percayadirinya terkadang melebihi standar normal.

"Dasar," celetukku.

"Banyak yang menyukaiku, itu sudah pasti. Lalu, bagaimana jika aku yang menyukaimu?" Seketika aku terdiam mendengarnya. Aldi menatapku, menunggu.

"Bercanda... Hahaha... serius amat mukanya, bercanda Ruby, jangan marah." lanjut Aldi disusul tawa menggelegar. Aku tertawa kaku menanggapinya.

Aku tahu, Aldi suka sekali bercanda. Tapi kali ini, apa boleh aku menyebutnya keterlaluan? Dengan mudahnya dia berkata demikan, seakan hal kecil itu tidak menjadi pengaruh besar bagiku. Ah, aku lupa, Aldi tidak tahu dengan perasaan konyol ini.

Sudahlah, aku tidak ingin terbawa suasana dan semakin menyukainya.

Kembali di depan kelasku, Aldi masih sibuk membalas sapaan siswi-siswi sekolah. Sedangkan aku masih terus menatap lapangan –tidak ingin mendapat tatapan mengintimidasi karena sedang berdua dengan Aldi, idola dari beberapa siswi.

"Heh, jangan ngelamun." Dia menyenggol bahuku pelan. "Lagi gambar ya, coba sekali-kali gambar wajahku." Katanya, sambil meraih buku gambarku. Melihat-lihat.

I'm TiredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang