AFTER SKETSA pt. 4

1 1 0
                                    


Tidak ada yang berubah. Tetap seperti itu, mungkin yang berubah perasaanku kala bertemu Aldi. Ya, aku sudah berani menyebut namanya. Tidak ada luka yang sama, semua sudah kering. Benar, aku tidak perlu repot-repot mencari arah berlawanan di saat berpapasan dengan Aldi. Melegakan bisa melepas semua.

"By, udah denger kabar nggak? Aldi dan Naya putus." Sasa datang tiba-tiba. Sedikit kaget dengan kabar itu, tapi aku tetap tak peduli. Mau putus atau tidak apa hubungannya denganku?

Aku sudah menghafal kalimat yang dulu aku lupakan, 'kita hanyalah teman'. Puluhan kali aku melafalkannya dalam sehari, aku sekarang sadar betul. Tidak pernah ada kata 'mungkin' di antara aku dan Aldi.

"Ya sudahlah."

Sasa cemberut melihat sikap tak peduliku –aku belajar beberapa dari Jimmy, salah satunya semboyan EGP.

Jam istirahat, seperti biasa aku membawa buku bacaan ke halaman belakang. Aku tidak membenci menggambar, hanya saja akhir-akhir ini malas menggambar. Aku memenuhi isi pikiranku dengan membaca, sebentar lagi aku masuk kuliah, sudah saatnya menyiapkan diri.

Jimmy sudah stand by di kursi taman, sibuk dengan setiap kalimat di bukunya. Satupun tidak ada yang aku pahami isi buku Jimmy.

"Hai," aku menyapa. Dia membalas dengan beberapa pertanyaan kecil lainnya, selanjutnya kami tenggelam bacaan masing-masing.

"Kamu sudah menentukan mau lanjut kuliah dimana, By?" Jimmy menarik topik pembicaraan.

Mendapapat pertanyaan dadakan, aku berpikir sejenak. "Aku belum memikirkan jauh tentang hal itu. Mungkin nanti ke Kampus Kota. Kamu sendiri?" Aku balik bertanya. Kampus Kota adalah pilihan tempat studi yang banyak diincar satu sekolah, tidak sulit masuknya, dan dekat jaraknya. Kampus Kota bukan kampus favorit yang banyak peminatnya, dan sulit seleksinya.

"Nggak tau, aku juga belum memikirkannya. Jika kamu di Kampus Kota, kamu akan satu tempat dengan Aldi." Jimmy tersenyum mengatakannya. Entah apa maksudnya, aku hanya diam tidak menanggapi. Tidak perlu ditanggapi, bukan?

"Jim, aku boleh tanya?" Dia mengangguk. "Kalau aku tambah suka, apa semakin merepotkan buatmu?" tanyaku tiba-tiba. Membuat Jimmy diam seketika, berpikir.

"Entahlah, sejauh ini tidak pernah merepotkan." Tidak pasti. Aku mandapat jawaban yang mengambang.

Aku berpikr, apa aku sebegitu menyedihkannya?

"Jim, tentang rasa, apa yang akan kamu lakukan? Mau kamu sematkan atau mau kamu arsipkan, mau kamu genggam atau mau kamu buang, mau kamu pegang atau mau kamu tendang?" Aku bertanya dalam satu tarikan napas, takut sekali membayangkan jawabannya.

Jimmy berpikir lama. "Aku tidak tau. Tidak aku genggam, tapi juga tidak mau aku lepas. Intinya, sekarag aku mengikuti alurnya saja."

Aku tidak paham betul apa maksudnya. Tapi yang aku tahu, aku bisa kembali menunggu. Tak apa. Bukan masalah bagiku, selama dia jelas kapan akan pergi. "Jangan pernah lupa, bilang jika ingin pergi." Kataku kembali mengingatkan. Dia tersenyum mengangguk.

^^

Langgeng, tanpa susah tanpa senang.

Itu yang dia definisikan tentang kami. Aku sudah pernah bilang kan, Jimmy itu orangnya unik dan berbeda. Dia punya pemikiran sendiri, yang terkadang aku sendiri tidak memahami. Tidak ada yang berubah. Sama seperti yag dia katakan, langgeng, tanpa susah maupun senang.

Tapi tak apa, sekali lagi bukan masalah bagiku. Selama dia jelas kapan hendak pergi. Lagi pula, seorang Jimmy tetap menyenangkan, meski lebih menyebalkan seperti biasa. Tidak ada yang aku khawatirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I'm TiredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang