Gama Adiwiguna, seorang mahasiswa Arsitektur dari salah satu universitas terbaik di Indonesia. Tampan dengan perawakan yang putih tinggi. Memiliki otak yang cerdas serta terlahir dari keluarga seorang pengusaha sukses.
Laki-laki yang banyak di idam-idamkan oleh banyak perempuan sedang duduk di ruang tamu keluarga Martin dengan setelan Jas. Ditemani dengan kedua orang tua dan adik perempuannya, kini Gama sudah resmi mendapat status baru sebagai Tunangan dari Marisa Martin.
Semua nampak bahagia kecuali Gama. Laki laki itu memilih pergi keluar mencari angin segar. Kakinya sampai di kursi kolam renang keluarga Martin. Ia terus menunduk termenung memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Gama tidak sengaja melihat Marisa yang terus berjalan kesana kemari dengan telepon yang ada di daun telinganya.
Sedangkan Marisa tidak tahu jika dirinya sedang di pandangi oleh Gama. Dia terus menunggu panggilannya terjawab oleh kakek Tjandra.
Sekali lagi.
Marisa mencoba menelepon untuk ke tiga belas kalinya. Berharap panggilannya kali ini terjawab.
Tut . . . Tut . . . Tut . . .
"Ayo dong Kek, jawab." Marisa bermonolog.
"Seratus kali telepon, nggak akan ada hasilnya. Kakek lagi perjalanan bisnis ke Jepang."
Ia melihat Gama sudah berdiri menyender pada tiang besar rumahnya dengan kedua tangan masuk kedalam saku celananya.
"Ngapain lo disini?" Dia ingat betul bahwa sedari tadi ia hanya seorang diri disini.
Marisa menurunkan ponselnya lalu mematikan layar ponselnya. Dia sangat gugup karena Gama sangat tampan malam ini. Terlihat sangat berwibawa dengan jas yang ia pakai. Dia benar benar terpanah dengan pesona milik Gama.
"Udah?! Atau masih ada yang kurang?" Tanya Gama
Marisa memicingkan matanya. Dia tidak mengerti maksud dari pembicaraan Gama. Dia hanya memohon untuk tidak berdebat dengan Gama lagi. Malam ini terlalu indah untuk di bumbui sakit hati dari ucapan Gama.
"Lo jago banget kalau urusan hancurin hidup orang, Sa."
Gadisnya kini memberikan tatapan datar kepada Gama. Laki laki itu bahkan tidak bisa mengartikan raut wajah Marisa. "Cukup gue, Sa. Ayah sama Bunda gue jangan juga lo hancurin hidupnya." Pinta Gama sebelum ia pergi melangkahkan kakinya menjauhi Marisa.
Melihat Gama pergi, Marisa meraih lengan Gama sebelum laki laki itu melangkah pergi lebih jauh. "Saat lo tau kebenarannya, jangan pernah tarik semua kata kata yang pernah lo ucapin."
"Nggak akan." Gama melepaskan paksa tangan Marisa.
"Ini terakhir, Gam." Laki laki itu menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat Marisa. Ia tidak mengerti terakhir apa yang dimaksud Marisa.
Bukannya memberi jawaban lebih, Marisa malah pergi meninggalkan Gama. Dia memasuki ruang tamu dan menemukan kedua keluarga besarnya.
"Marisa pamit naik ya Om, Tante. Seminggu lagi Marisa akan menghadapi ujian." Dia pergi berlalu tanpa ingin mendengar jawaban dari semua orang yang ada di ruang tamunya.
Ia memang benar pergi keruang belajarnya tapi tidak untuk belajar. Gadis itu membuka seluruh gaun cantiknya mengganti dengan piyama tidur.
Malam ini, Marisa hanya ingin tidur. Pikirannya terus berputar tentang kejadian yang membuat persahabatannya dengan Gama hancur. Menyakitkan. Marisa menangis dengan kedua mata tertutup. Tuduhan Gama lebih menyakitkan dari luka luka masa lalu yang ia dapatkan.
××× GAMA In Love; FOUR×××
Setelah hari pertunangan, Marisa benar benar giat belajar. Dia bahkan tidak membiarkan Gugun istirahat barang satu menit. Saat jam kosong, Marisa tidak membiarkan Gugun tidur di mejanya. Saat jam istirahat, Marisa tidak juga membiarkan Gugun menghela nafas setelah makan. Bahkan saat pulang sekolah, Marisa juga mengikuti Gugun pulang kerumahnya untuk ikut belajar dengannya sampai larut malam. Dia bahkan rela menghabiskan uang sakunya untuk naik taksi. Larut malam, bus sudah tidak lagi beroperasi.
Dari semua yang telah ia lalui, semua ini bukan karena Bunda Hana yang ingin Marisa berada di kampus yang sama dengan Gama. Bukan juga karena papa Marisa yang ingin putrinya lulus sebagai sarjana hukum di kampus milik keluarga Adiwiguna yang memang terkenal sebagai kampus terbaik. Ia hanya ingin mewujudkan mimpinya sebagai seorang pemilik toko kue. Jika di beri lebih, dia ingin memiliki lebih dari toko kue mungkin seperti caffe besar.
Tataboga, dari semua jurusan yang ada Marisa memilih sesuai dengan keahlian dan mimpinya.
Menjadi mandiri dan kuat adalah keinginan Marisa. Dia tidak mau bergantung kepada Papa dan Mamanya, dia hanya ingin mengandalkan dirinya sendiri dan berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Menjadi kuat bukan karena Marisa ingin ditakuti semua orang. Ia hanya ingin percaya pada dirinya sendiri agar tidak ada yang mampu merendahkan dirinya.
Karena dia kaya.
Dia ingin mematahkan ucapan ucapan itu. Marisa ingin membuktikan dirinya layak dan berdiri karena kakinya sendiri bukan mendapat dukungan dari kedua orang tuanya.
"Deg-degan nggak lo, Sa?" Tanya Nata
"Iya, Nat. Gue takut. Cuma gue yang bodoh dari kalian bertiga."
Charllote meraih tangan satu persatu temannya. Mulai dari Gugun, Nata lalu Marisa. Dia menggenggam ketiga lengan temannya.
"Kita bisa jika bersama." Ucap Charllote.
Nata dan Gugun ikut menyakinkan Marisa dengan tatapan keduanya.
Berhasil.
Marisa kembali percaya diri. Dia yakin bahwa usahanya seminggu ini pasti akan membuahkan hasil yang baik. Matematika, dia sudah mengerti berkat Gugun. Dia tidak takut lagi. Nata, Charllote dan Gugun ada bersamanya.
Benar. Bersama akan lebih baik.
"Yuk!"
Marisa dan ketiga temannya memasuki ruang kelas untuk mengikuti ujian hari pertamanya. Dia bahkan bersyukur Gama tidak menghubunginya dan tidak menunjukan diri. Marisa jadi bisa memfokuskam dirinya pada pelajaran.