"Ikut gue!" Gama menyeret paksa Marisa yang sedang asik mengobrol dengan Gugun di halte Bus terdekat dari sekolahnya.
Gugun menghentikan langkah keduanya. "Marisa balik sama gue."
"Gue nggak ada urusan sama lo."
Marisa memyimpulkan senyum manis kepada Gugun sebelum ia menaiki motor sport milik Gama. "I'm okay Gun."
Hanya itu yang di dengar Gugun sebelum motor hitam Gama melesat membelah macetnya perkotaan. Dia dan Marisa tidak tahu kemana motor ini berhenti, yang jelas Marisa tidak mungkin di antar pulang kerumah dan tidak juga di buang di sembarangan jalan.
Caffe milik Toza, adalah tujuan akhir motor Gama. Sudah dua tahun Marisa tidak menginjakkan kakinya disini lagi. Suasananya masih sama. Interiornya juga.
"Marisa?!" Toza menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. Dia tidak percaya Gama akan membawa gadis itu kembali. "Kalian udah baikan?" Tanya Toza yang di beri senyuman miris milik Marisa.
"Bukan urusan lo, To."
Toza menjitak kepala Gama. "Sopan dikit, gini gini gue lebih tua dari lo." Toza mengalihkan pandangannya pada Marisa. "Sehat, Sa? Udah lama nggak mampir."
"Hehe. Iya ka, aku sibuk belajar masak sama oma." Dusta Marisa.
"To, minuman kaya biasa. Gue mau ngobrol sama dia."
Toza segera meninggalkan kedua temannya. Dia tahu ada pembahasan yang sangat penting dan tidak seharusnya di dengar olehnya.
"Batalin." Ucap Gama setelah pesanan keduanya sampai di meja.
Marisa terus mengaduk es krim alpukat tanpa berminat menatap Gama maupun menyahutnya.
"Lo denger nggak sih!"
Marisa hanya mengangguk.
"Bisu lo?!"
Marisa mematap mata Gama dengan berapi api lalu menghentak tangannya dimeja. "Apa salahnya sih Gam. Gue kurang apa buat lo?!"
Gama terdiam. Marisa bisa melihat tangan calon tunangannya itu mengepal sempurna seakan siap untuk melayangkan tonjok kepada lawannya.
"Lo tahu kan, setelah pertunangan itu pasti ada pernikahan."
Marisa tersenyum kecut. "Bahkan gue nggak mikir sejauh itu Gam."
"Yaudah batalin."
"Iya kalau lo nggak suka tinggal cerai kok Gam, gampang. Lo nurut aja, kalau udah nikah itu urusan kita bukan keluarga." Gama lagi lagi terdiam. Dia tidak bisa menebak apa yang di rencanakan perempuan di depannya ini.
"Busuk banget hati lo sampai sampai mikir kesitu."
Marisa tertawa hambar. "Lo yang minta Gam." Ia segera bangkit dari duduknya lalu merogoh kantong seragam yang berisikan sejumlah uang. "Gue nggak mau punya hutang sama lo." Beberapa puluh ribu ia taruh diatas meja sebagai bayaran dari es krim yang bahkan belum dia cicipi.
"Lho, Sa. Udah mau pulang? Gama mana?" Tanya Toza yang melihat Marisa melewati meja kasir yang ada di dekat pintu keluar.
Ia tersenyum manis kepada sang pemilik kedai sebelum menarik gagang pintu untuk keluar. "Kapan kapan aku kesini lagi Ka. Gama masih mau disini katanya."
Toza mengangguk dan keluar dari area kasir untuk mengantar Marisa keluar. "Hati hati, Sa."
Marisa pergi berjalan kaki sedikit untuk mencapai halte bus terdekat. Diantar pulang Gama? Melihat wajahnya saja saat ini mampu mendidihkan darah Marisa.
Bunda Hana
'Bunda mau masak macaron. Bantu bunda masak ya.'Marisa tersenyum kegirangan. Dia bahkan meloncat loncat saking gembiranya. Macaron adalah makanan yang Marisa sukai dan memasak dengan chef ternama adalah keberuntungannya. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini.
'Risa otewe bun.'
Sebuah taxi di stopnya. Dari kedai Toza tidak ada bus yang menuju rumah Bundanya Gama. Mau tidak mau harus menggunakan taxi yang sudah pasti uangnya terkuras banyak hari ini. Padahal, Marisa sudah memiliki tujuan untuk menyisikan uang jajannya agar bisa menambah modal membuat toko kue kecil kecilan.
×××Gama In Love; KTH×××
"Bunda emang hebat banget kalau soal masak memasak." Puji Marisa. "Pantas saja om Haris betah sama bunda."
Hana mengelus surai halus milik calon menantunya. Pikirannya terus mengasihani gadis di hadapannya ini. Beliau sangat tahu bahwa Gama sangat tidak menyukai Marisa. Entah masalah apa yang membuat pertemanan keduanya hancur.
Melihat Marisa dengan Gama yang saling bejauhan membuatnya rindu masa masa mereka main bersama. Hana bahkan rindu Marisa yang memukuli putranya karena nakal.
"Ngapain lo disini?!" Gama muncul tiba tiba dan bertanya dengan nada sinis.
Marisa menghentikan acara mencicipi macaron hasil tangannya dengan bunda Hana. Dia mengambil salah satu kotak bekal yang sebelum di cuci dipakai untuk makan siangnya di sekolah.
"Bun, Risa bungkus ya. Aku lupa kalau ada janji sama mama." Dusta Marisa. Dia hanya ingin keluar dari lingkaran Gama saat ini. Melihat wajah tidak bersahabat dengan tutur kata yang menohok membuat hati Marisa sakit.
"Karena Gama ya?" Tanya Hana.
Reflek Marisa menggeleng menandakan bukan itu yang dia maksud, meskipun kebenarannya memang itu yang di terjadi.
"Gama, sama cewek tuh ngomongnya yang lembut. Jangan begitu, nggak baik." Hana hanya ingin menahan Marisa lebih lama dirumahnya.
"Bunda nggak tau aja busuknya dia kaya apa."
Lap dapur sukses mendarat di wajah Gama. Hana sangat kesal dengan prilaku anaknya yang satu itu.
"Risa pamit ya bun."
Tidak ingin berlama lama, Marisa segera keluar dari rumah Hana setelah berpamitan dengan sang pemilik.
"Liat tuh calon menantu bunda pulang gara gara kamu."
"Aku sih nggak mau sama dia."
"GAMA!" Bentak Hana. "Kalau kaya gini terus besok aja tunangannya."
